Nembak Itu...

Sabtu, Oktober 04, 2014

"Kamu itu kalau suka sama orang keliatan banget ya..."

Itu kata sebagian besar teman-teman saya. Mereka-lah teman curhat sekaligus saksi mata ketika cinta itu merekah dan kemudian layu sebelum berkembang. Sebagian menganalisis bahwa kelayuan cinta itu datang karena sikap saya yang open body position alias ekspresif. Contohnya, kalau si doi cuma jaraknya 5 meter, oh betapa suara saya sengaja dibesar-besarkan, ketawa paling keras supaya dia memperhatikan. Saya melakukan itu bukan tanpa maksud, saya ingin dia tahu kalau saya ada. Sayangnya, bagi dia itu dianggap sebagai gangguan, sikap yang annoying

Itu jaman belum ada media jejaring sosial. Ketika media jejaring sosial menjadi primadona seperti saat ini, maka bentuk ekspresi saya juga mengikuti medan. Kalau bukan saya chat duluan, komen duluan, posting lagu yang ada kisahnya tentang kami, atau posting-posting centil lainnya. Oiya, saya juga berteman dengan semua media sosialnya. Ah, sayangnya doski tak pernah merespon balik setiap postingan itu, bukan karena saya tak setinggi Heidi Klum, tapi karena memang doski gak kenal sama saya *gubrakkk...

Teman-teman saya selalu menyerang saya dengan argumennya (tentu setelah mendengar curhatan saya yang itu-itu saja: doski kabur karena takut saya terlalu agresif. Garis bawahi, agresif disamakan ekspresif padahal makna dari kedua kata ini berbeda, mungkin salah saya juga sih jatuh cinta sama cowok yang kurang baca kamus dan tesaurus) bahwa saya haruslah kalem bagai lelembut, hanya boleh mengirim sinyal tidak boleh mengungkapkan secara tegas dan lugas. Amdya, salah seorang karib saya berkata, "Kau harus memikirkan cara bagaimana dia bisa melihatmu dari antara banyak orang. Kau memberinya perhatian dengan cara tidak memberinya perhatian". Amboi, betapa susahnya nasehat-nasehat itu dipraktekkan. Masalahnya, orang yang menjadi object of affection itu begitu jauh dari jangkauan. Satu-satunya untuk mendekatinya adalah dengan membuatnya tahu. Nah loh!

Tapi saya selalu punya pembelaan bagi semua nasehat-nasehat bijak teman-teman saya itu. Kukatakan pada mereka bahwa I'm not every woman, yang puas sebagai objek kasih sayang cowok-cowok, yang terbiasa dipuja, yang terbiasa dikejar-kejar. Saya-lah yang memilih dia, maka sayalah yang memujanya, dan mengejarnya. Meskipun saya tahu resiko selalu lebih besar bagi orang yang mencintai lebih dulu. Lagipula, kan tidak setiap hari kita jatuh cinta. Maka, saya akan merayakannya dengan penuh sukacita. Dan jika cinta itu tidak berbalas atau berakhir sendu, mengutip sahabat saya Tirta," Ah, itu masalah nanti..." yang penting momen bahagia itu (alias keracunan dopamine) dinikmati dulu. 

***

Suatu ketika saya membaca salah satu buku yang membahas tentang psikoanalisa Jung. Jung adalah salah satu pacar intelektual saya (saya jadi playgirl memang kalau soal ilmu, Jung ini salah satu korbannya :p) dan saya tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Jung mengatakan bahwa setiap manusia memiliki aspek feminim dan maskulin dalam dirinya. Jadi, laki-laki memiliki aspek feminim dalam dirinya sementara perempuan juga memiliki aspek maksulin dalam dirinya. Jung menyebut aspek feminim dengan sebutan anima dan aspek maskulin dengan sebutan animus.

Anima bagi pria nampak dalam sifat-sifat seperti membimbing, melindungi (see, itu bukan sifat animus pemirsa), atau tahan derita. Hai kaum lelaki, jika kau tahan dalam rasa sakit dan penderitaan sesungguhnya aspek anima-mu yang sedang mengambil peran. Sementara animus pada perempuan salah satunya muncul melalui inisiatif. Nah, disinilah letak kesalahan masyarakat kita. Mereka menganggap bahwa perempuan seharusnya tidak memiliki inisiatif karena inisiatif seharusnya hanya milik lelaki. Inisiatif bisa muncul dalam banyak hal: hubungan dengan sesama, pekerjaan, belajar, dan tentu saja dalam persoalan cinta. 

Namun anehnya, inisiatif yang dimiliki perempuan pada hal-hal lain tidak diganggu-gugat seperti dalam persoalan cinta. Perempuan sah-sah saja berinisiatif membantu pekerjaan temannya di kantor atau memiliki inisiatif sebagai pelajar yang aktif dan kreatif di kelas. Tapi, inisiatif itu jangan sekali-kali digunakan kalau menyangkut soal cinta. Jika kau seorang perempuan yang sedang jatuh cinta, kau sebaiknya mengubur inisiatif-mu untuk menghubungi cowok itu. Tahanlah sakit rindumu. Tunggu saja dia yang menghubungimu lebih dulu. Kemudian, dalam penantianmu kau mendengar cowok itu sudah jadian dengan cewek lain. Lalu, meranalah engkau. Inisiatif pada perempuan selalu coba dihilangkan dengan nilai-nilai sehingga tanpa sadar kita dibuat bergantung dengan keputusan yang dibuat laki-laki. 

Ini yang tidak bisa saya terima. Jika saya mencintai orang itu maka orang itu berhak tahu kalau saya mencintainya. Terserahlah dia mau membalas atau menolak perasaan itu. Saya menyebutnya dengan istilah "memperjuangkan perasaan". Kebahagiaan saya bukan bergantung pada penerimaan dia, tapi ketika dia tahu. Memang sih, kalau ditolak juga jadi sedih. Tapi, cukuplah itu membuktikan bahwa dia sebatas obyek kasih sayang, bukan untuk menjadi pasangan hidup. It takes two people to play tanggo, right? 

***

Suatu ketika, saya pernah naksir berat pada seseorang. Karena tak dapat menahan perasaan lagi, saya ingin mengutarakan maksud hati saya padanya. Akan tetapi, niat itu tampaknya sangat tergesa-gesa.  Saya mengutuk diri karena kadang sangat impulsif. Meski dimabuk asmara, tapi logika saya menolak larut di dalamnya. Saya kemudian meminta pendapat orang-orang yang punya banyak pengalaman dan logikanya lurus untuk meminta second opinion. Bertanyalah saya pada Eyang. Saya menceritakan isi kepala dan hati saya pada Eyang. Bagaimanapun Eyang adalah orang yang sudah kenyang makan asam manis kehidupan. Dan inilah kata-kata beliau pada saya:

"Tidak apa-apa kalau kamu mau bilang sama dia. Tapi kamu yakin sudah kenal orangnya?"

Saya menelan ludah, menggeleng.

"Kalau dia orangnya dalam, dia akan menghargai perasaanmu. Tapi kalau tidak, dia akan mengolok-olok perasaanmu itu, diceritakanlah pada banyak orang seolah itu adalah lelucon. Resiko memang lebih besar jika kau mengatakannya, nduk. Tidak semua orang, laki-laki atau perempuan siap menerima kejujuran seperti itu".


Sayangnya, saya hidup dalam masyarakat yang tidak mendukung inisiatif pada perempuan yang sedang jatuh cinta. Kami memang dibuat menunggu. Singkat cerita, saya urung menyampaikan maksud hati saya padanya. Biarlah, suatu saat nanti dia tahu sendiri. Kalaupun dia tahu tapi tak berbuat apa-apa...biarlah. Cinta seharusnya memang membebaskan.

Jika kau masih penasaran, apakah saya pernah menembak seseorang? saya akan tersenyum dan berkata, " Tidak pernah. Tapi....saya pernah menyampaikan perasaan saya padanya."



Sesungguhnya meminta seseorang menjadi pacar kita dengan hanya ingin membuatnya tahu bahwa ada orang yang menyayanginya itu beda, saudara.


You Might Also Like

2 comments

  1. Saya tipe yang menikmati dikejar-kejar dan dipuja ;p Hahaha

    BalasHapus
  2. hahaha...no problem kak....tulisan ini tidak mengandung oposisi biner kok :p

    BalasHapus