Susahnya Bersikap Adil

Rabu, Juli 10, 2013



Pernah suatu ketika saya menjadi moderator untuk acara workshop sebuah film berskala nasional yang berlokasi di kampus. Workshop tersebut mendatangkan sutradara dan beberapa pemain dari film  itu. Salah seorang pemainnya berdarah indo dan tampak seperti tak fasih berbahasa Indonesia. Selain aksen-nya yang englishman perawakannya juga mendukung, ganteng abis-lah pokoknya. 

Seperti layaknya workshop tentu saja sebagai "penengah" antara hadirin dan yang punya hajatan, saya akan bertanya seputar pembuatan film itu. Ada satu moment yang sebenarnya bikin saya gerah sama si bintang indo-ganteng-abis ini. Waktu saya bertanya dalam bahasa Indonesia ke dia, dia berlagak seolah gak ngerti dengan pertanyaannya (atau bahasanya) padahal saya sudah berbahasa Indonesia yang baku loh. Sampai salah satu sutradara yang konon saudara jauhnya bilang, "Dia gak tinggal di Indonesia jadi bahasa Indonesia-nya gak lancar". Akhirnya, saya bertanya dengan bahasa Inggris, and guess what dia menjawabnya dengan bahasa Indonesia yang.......lancar.

So, I was thingking at the moment kayaknya saya dikerjain deh. Mentang-mentang saya masih mahasiswa, belum pernah liat saya bakar ban atau lempar mortir di mukanya ya?. Kejadian itu berulang terjadi setiap tiba sessi saya bertanya ke dia. Tapi apa yang terjadi? Karena dia ganteng, jadinya dimaafkan. Malah saya ngebet foto-foto sama dia seusai acara. Setelah itu saya lama berpikir. Sepertinya ada sesuatu yang salah, yang tidak pada tempatnya. 

Pikiran itu lantas semakin menguat ketika saya sudah menonton film The Help, film yang mengangkat isu rasial di Amerika. Kadang-kadang kita menjadi lembek pada orang-orang yang memiliki kriteria fisik yang rupawan meskipun sebenarnya sifat, kelakuan, atau tabiatnya tidak secakep wajahnya. Sebaliknya kita juga kadang memandang sebelah mata orang yang memiliki kriteria fisik yang tidak mainstream dengan konstruksi cantik atau ganteng dalam masyarakat. Satu saja tindakan mereka yang salah sudah membuat kita men-judge tanpa ampun. Melihat mereka datang dengan pertolongan membuat kita sudah curiga setengah mati. Sebaliknya mereka yang punya penampilan oke ini malah sering membuat hati kita teriris-iris dengan perlakuannya. Anehnya kita baik-baik saja menerima, cenderung mendiamkan dan membiarkan.

Saya paling suka kata-katanya Pramoedya Ananta Toer yang dituangkan dalam buku Bumi Manusia. Beliau mengatakan,"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Bersikap adil memang bukan hanya sebatas tindakan namun juga dalam bentuk pikiran. Kadang-kadang secara tidak sadar kita juga sering menjadi korban ketidakadilan dalam bentuk pikiran. Kau dinilai sebatas darimana kau berasal, apa pendidikanmu, siapa orang tuamu, dan sebagainya. Lalu jika kau memenuhi kriteria tertentu kau akan diterima dengan welcome bahkan berlebihan, tapi jika kau tidak mencapai kriteria itu kamu mungkin diterima tapi perlakuannya akan berbeda. Katakanlah begini, dalam sebuah kunjungan di kedutaan, manakah yang diterima dengan lebih ramah? mahasiswa dari UI atau mahasiswa dari Unhas? atau penulis dari tanah air dengan penulis dari mancanegara? Bahkan dalam sidang PBB, presiden dari negara-negara berkembang dengan presiden dari negara-negara adidaya beda perlakuan dan tempat duduknya. 

Salah satu cara bersikap adil adalah mencoba adil. Meskipun ini sebenarnya nyaris mustahil mengingat manusia suka menilai atau melekatkan diri pada nilai-nilai tertentu. Waktu sekolah dulu, kadang-kadang saya yang notabene pribumi sering diejek karena memiliki kulit lebih gelap ketimbang teman-teman saya yang beretnis Tionghoa (belakang waktu kuliah saya malah dikira orang cina karena putih, hmm karma does exist, huh?). Sedangkan dengan sesama bangsa sendiri, kadang dinilai dari mana kau berasal, "Ohh...dari Makassar? wahh, suka ricuh disana ya? atau "ohh...anak Unhas? suka tawuran ya?".

Menjadi korban ketidakadilan pasti pernah dirasakan oleh semua umat manusia. Mungkin hanya kadar ketidakadilannya yang berbeda-beda. Tapi menjadi penonton ketidakadilan juga sama tidak enaknya. Salah seorang teman kuliah saya yang (katanya) cantik jelita, -sebut saja A- semena-mena dengan teman kuliah saya yang lain,-sebut saja B-. A memaksa B untuk mengerjakan tugas kuliah sekaligus menyontek jawaban final test. Si B ini tak mampu membela dirinya sedangkan A semakin diatas angin. Ketika B menunda memberikan pekerjaannya untuk dicontek, A memaki-maki B di dalam kelas. Tebak pemirsa....tak ada satu pun teman angkatan saya yang membela B. Ada pembiaran disitu. Sayangnya saya tidak berada di kelas itu karena beda prodi. Kalau saya melihatnya sendiri sudah pasti akan saya tegur si B...atau mungkin cuma duduk diam tak mampu melakukan apa-apa. Sungguh menjadi pahlawan pembela keadilan itu tidak mudah, kawan.

Saya pun jadi ragu apakah saya mampu melawan ketidakadilan. Apakah saya memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan? Apalah saya mampu bersikap adil baik dalam tindakan maupun pikiran?

Mungkin saat ini saya belum mampu tapi saya mau belajar. Belajar untuk mengubah sikap saya. Setidaknya saya mau belajar memperlakukan sesama manusia tidak dengan berlebihan. Ingin rasanya mengulang kejadian si bintang -film -ganteng -abis- yang -mengerjai- saya- tapi -saya -tetap -mau -minta -foto -sama -dia dengan sikap siapa elo-siapa gue.

Lain kali saya akan memperlakukan manusia dengan tidak berlebihan. Mungkin istilah kaum sosialis "sama rata, sama rasa" bisa dipraktekkan disini.





PS : waktu ketemu Sapardi Djoko Damono saya cuma mampu memandangi punggungnya dari kejauhan dan itu sudah cukup. 

You Might Also Like

5 comments

  1. Saya memperlakukan saja orang-orang seperti yang ingin orang-orang memperlakukan saya. Apakah itu adil? Mungkin belum tapi benar kata Meike setidaknya kita belajar dan mau untuk dapat berlaku adil.

    btw waktu ketemu Pak Sapardi saya melakukan "pendekatan" yang agresif :p minta foto dan ttd, ngajakin ngobrol, sksd dengan istrinya :p hahaha

    BalasHapus
  2. yang tak adil di muka bumi ya pasti bakal diadili sama Tuhan di hari akhir..

    BalasHapus
  3. kak dwi : betul kak....dan kalaupun dijahati orang tetap saja baik2kin...Tuhan mi saja yang balas.

    hehe, how lucky you are...saya ktmu ji beliau lagi duduk di belakang cuma takut k tegur...hehe..tapi saya berhasil bersikap "natural" waktu ada Benzbara...hehe..


    pyonk : aminnn.....

    BalasHapus
  4. waktu saya di MOS di jogja, saya jd bulan2an panitia. Mereka blg: hei, maba ini asli MAkassar. pasti dia jago bikin rusuh ya.

    malunya minta ampun.
    dan kezaliman ini tdk akan pnh sy lupakan.

    slm kenal.

    BalasHapus
  5. Maya : saya juga punya pengalaman yang bikin sakit hanya karena saya berasal dari Makassar. Mereka di luar sana cuma melihat dari layar TV, dan memang sengaja di konstruk sedemikian rupa seperti itu sehingga membuat kota kita ini jadi sangat bar-bar. aneh ya, padahal pembangunannya makin gencar...

    salam kenal

    BalasHapus