Ada Waktu Untuk Menjahit

Jumat, Juni 08, 2012



Selain matematika, mata pelajaran keterampilan adalah salah satu pelajaran semasa SD yang membuat saya ketar-ketir. Bukannya saya tidak bisa menyulam atau menjahit, tapi karena gurunya streng, saya dan teman-teman selalu terbebani ketika mengikuti mata pelajaran itu. Saat memasuki kelas 6 SD, pelajaran keterampilan yang tadinya hanya menyulam untuk anak perempuan biasanya diganti dengan pelajaran memasak. Sedangkan anak laki-laki umumnya membuat prakarya. Namun, pada saat itu kurikulum berganti. Anak perempuan disuruh membuat celana dengan menggunakan mesin jahit sedangkan anak laki-laki gantian yang menyulam. Penderitaan itu pun resmi dimulai.

Saya mati-matian belajar menggunakan mesin jahit dengan benar. Mesin jahit milik Oma adalah kelinci percobaan saya. Dengan usaha tanpa henti, saya akhirnya bisa menjadi satu dari 5 orang yang berhasil menyelesaikan jahitan celana-nya paling cepat. Tentu usaha itu berhasil setelah mematahkan 3 jarum mesin dan membuat mesin jahit Singer kesayangan Oma rusak sampai sekarang. Kalau mengingat kembali kejadian masa terakhir saya di SD itu, saya hanya bisa tertawa.

Yang mau saya katakan adalah, menjahit sesuatu itu tidak mudah. Jika tanpa ketelitian, kehati-hatian, dan ketekunan tentu hal itu mustahil terjadi. Kalau bukan kain kita yang rusak mungkin jari-jari kita yang ikut terjahit. Menjahit baju harus seperti menjahit luka. Harus rapi. Kalau tidak, akan ada bagian yang bolong atau darah akan terus merembes.

Di kitab suci tertulis, ada waktu untuk merobek ada waktu untuk menjahit. Semua luka yang terjadi berlangsung sangat cepat. Sehingga kita tidak punya waktu untuk melindungi diri. Tidak ada persiapan untuk mempertahankan diri. Satu kalimat pendek "sudah tidak lagi" bisa merobek semua harapan dan doa yang pernah dipanjatkan. Selayaknya orang yang baru mendapatkan luka, rasa sakitnya belum terasa. Luka yang merah, basah, dan masih menganga belum memberikan efek. Efek itu akan muncul beberap waktu kemudian. Merambat dan menikam setiap saat. Tak ada pilihan lain selain menjahitnya segera. Sebelum kita kehabisan darah dan mati.

Menjahit adalah menyatukan bagian-bagian yang terpisah menjadi utuh kembali. Kancing yang putus, baju yang robek, celana yang rusak resletingnya, hati yang patah, luka yang menganga, dan kenangan yang menghantui harus disatukan kembali agar utuh. Prosesnya menyakitkan, bagaimana jarum itu menusuk dengan benang yang menyambung segala bagian. Saya pernah mengalami rasa sakit ketika salah satu bagian tubuh saya dijahit. Berkat bantuan obat bius saya tidak merasa sakit sedikit pun, begitu biusnya hilang, rasa sakit itu itu menghantam dengan telak. Dalam hidup kita, proses jahitan Yang Mahakuasa tidak memakai obat bius.

Ketika saya menyerahkan diri saya untuk dijahit oleh Tuhan, saya siap dengan segala rasa sakit yang akan datang. Saya siap apabila saya tidak punya kekuatan lagi untuk membendung airmata. Saya siap jika saya harus mengorbankan apa yang saya miliki demi kebahagiaan orang lain. Meski bibir saya mengatakan siap, hati saya masih belum rela. Oleh karena itu, Tuhan yang Mahakuasa berhati-hati menjahit saya dengan ketelitian, kehati-hatian, dan ketekunan karena saya adalah salah satu "jenis" jahitannya yang istimewa.


Dan proses penjahitan itupun dimulai.



You Might Also Like

0 comments