Hujan, Bulan Purnama, dan Luka

Selasa, Februari 03, 2015

Untuk Kak Emma yang pasti merindukanku,


Aku teringat dengan kalimatmu yang mengatakan bahwa ilmu sangat dekat dengan kesombongan. Ya kak, pengetahuan memang menggiurkan sampai-sampai Hawa berani memakan buahnya. Pengetahuan memang lezat sampai-sampai kita berlomba-lomba mengejarnya sampai ke negeri seberang. Namun, aku ngeri sesungguhnya melihat kesombongan pengetahuan karena membuat kita lupa pada keadaan asali kita yaitu keadaan dimana kita mengenal segala sesuatu apa adanya, tak kenal baik maupun buruk. Tapi, di lain sisi, aku juga ikut merasakan anugerah pengetahuan. Pengetahuan sesungguhnya membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuannya. Ia sesungguhnya menyibak keadaan asali kita itu. Persoalannya kini mampukah kita melihat keadaan asali itu dengan telanjang? Dengan rendah hati? Tanpa kerendahan hati, pengetahuan menjadikan kita ular di Taman Eden.

Seminggu ini aku mendapat kabar dari Daddy bahwa Makassar dirundung hujan terus-menerus. Hujan sebagaimana kita ketahui selain memberi atmosfir kesedihan juga menghalangi berkah bagi yang bekerja di bawah lindungan matahari. Namun, aku juga tetap merasa bahwa hujan adalah berkah, setidaknya demi menyambut tahun baru Cina yang sebentar lagi tiba. Kupikir hujan punya bahasa dan setiap kita mencari arti dari tiap rintiknya.

Di Jogja juga hujan Kak Ems. Tapi lebih mudah mengatasi hujan di Jogja sebab kami membaca pola. Matahari akan terik-teriknya dari pukul 8 pagi sampai 12 siang. Hujan akan dimulai pada siang hari sekitar jam 2 ke-atas atau sore sekitar jam 4 ke atas. Biasanya berlangsung sampai sekitar pukul 9 malam. Lalu hujan reda dan menyisakan bau hujan dan lembab yang dingin. Sangat nyaman buat tidur. Kadang hujan juga turun menjelang waktu sholat subuh. Jika kami akan keluar kami hanya melihat awan dan menyesuaikan dengan perkiraan waktu hujan akan turun. Itulah sebabnya aku betah berada disini. Aku lebih mengenal alam. 

Sekarang adalah fase bulan purnama. Kita masih melihat bulan yang sama kan kak? Purnamanya sudah sangat terang disini bahkan awan mendung tak mampu menyelubungi cahayanya. Kau tahu kak Ems, bulan purnama bisa kita nikmati selama 14 hari. Aku mengetahuinya bukan dari pelajaran ilmu bumi melainkan dari serial Mahadewa. Dewa Chandra mengalami 14 hari masa terang dan 14 hari masa gelap. Purnama dan Tilam. Umat Hindu akan mengadakan upacara pada kedua momen itu. Aku tahu karena aku memiliki teman-teman kos yang beragama Hindu dan kami senang ngobrol tentang dewa-dewi.

Kak Ems, aku berencana pulang awal bulan Maret. Itupun mungkin tak lama karena aku harus segera kembali ke Jogja. Kuharap kita bisa sleepover dan ngobrol yang sendu-sendu di kos-mu nanti. Sayang, tak sempat melihat purnama di kos lamamu. Mungkin kalau Kak Ems ke Jogja dan menginap di kos-ku kita bisa duduk berlama-lama, karena di depan kamarku ada taman dan di tengah-tengahnya ada semacam pohon “jambu” pengetahuan. Sudah pasti kita bisa melihat bulan purnama dan bintang-bintang di malam hari. Favoritku adalah melihat langit pukul 4-5 subuh. Perpindahan dari gelap menuju terang itu menakjubkanku kak, meski ada yang bilang makhluk halus justru paling banyak muncul di waktu tersebut bukan sebaliknya yaitu tengah malam. Aku jadi teringat Ayu Utami yang menulis “Jika kamu takut sesuatu, sesuatu itu harus diperjelas. Sesuatu itu harus dihadapi. Sesuatu itu harus diterangi.”

Berhubungan dengan itu, tadi aku bertemu dengan salah satu informanku yang –dalam proses wawancara itu – tanpa sengaja bercerita mengenai teknik pengobatan luka batin yang ia dapat ketika mengalami masa novisiat. Ia seorang mantan frater yang kemudian memutuskan menjadi orang biasa. Seketika aku merasa seperti Pilar. Hahaha…salah, lebih tepatnya temannya Pilar ataukah orang asing tak bernama yang kebetulan berpapasan dengan Pilar?

Setiap manusia pasti memiliki luka batin. Omong kosong kalau ada yang bilang tak pernah terluka. Umumnya luka batin bermula justru dari lingkungan terdekat kita dan biasanya melalui hal-hal kecil nan sepele juga. Informanku bilang untuk mengobati luka batin pertama-tama adalah masuk ke dalam luka itu. Kita harus menyentuhnya meskipun rasanya sakit. Dan bila rasanya sakit, biarkan sakit itu mengada. Sesuatu itu harus dihadapi, bukan? 

Menurutnya, salah satu bentuk kemelekatan yang paling berbahaya bagi manusia adalah kemelekatan pada luka batin itu. Lihatlah, betapa manusia sesungguhnya senang memelihara luka. Padahal luka batin jika dipiara akan mempengaruhi kita sampai ke masa depan. Terutama relasi kita dengan orang lain.Ia juga mengutip kata-kata St.Ignatius Loyola, “Salah satu ciri manusia yang merdeka adalah yang berani mengambil resiko”. Kupikir kita harus memulainya Kak. Menghadapi apa yang menakutkan kita apapun resikonya.

Menyembuhkan luka batin adalah tugas kita semester ini. Bagaimana menurutmu?



Love,

Mei


You Might Also Like

0 comments