What If I Called "Jeaolusy"?

Minggu, April 15, 2012



Hujan.

Selain menjadi sahabat untuk merenung juga memancing kepedihan untuk bersama-sama berpesta dalam pergumulan. Cukup untuk membasahi ruang yang masih kosong. Ruang yang pernah ditinggali oleh pemilik sebelumnya. Dan ketika pemilik sebelumnya datang dengan ruang yang baru, kita sadar ada hal yang telah berpindah. Kepindahan yang sesungguhnya.

Pantaskah disebut kekasih bila dengan gampang melupakan perkataannya sendiri? Apalagi kalau perkataan itu mengandung janji. Dan betapa menikamnya bila kita tahu janji itu kemudian harus diingkar begitu saja. Seperti tidak pernah ada rasa disana. Dulu.

Maka dengan kekuatan yang tiba-tiba muncul entah dari mana, kepala ini bisa terangkat. Dagu masih menantang dan tatapan mata yang menatap lurus ke depan. Elegan meski di dalam mulai retak. Ada makhluk besar yang tiba-tiba berontak di dalam sana. Ada emosi besar yang bergelut disana. Tinggal mengetukkan palu pada dua pilihan: memadamkan api yang tersulut atau menyiramnya dengan satu liter bensin.

Sebuah kalimat pernah terucap dari seorang perempuan kuat yang telah melewati pergumulan hatinya, " bukan berarti kita kalah, tapi yang waras yang ngalah."

Sayup-sayup terdengar The Cranberries menyanyikan Linger,

"If you could return, don't let it burn, don't let it fade.
I'm sure I'm not being rude, but it's just your attitude,
It's tearing me apart, It's ruining everything. 
So why were you holding her hand? 
Is that the way we stand? 
Were you lying all the time? 
Was it just a game to you?  "

You Might Also Like

0 comments