Mari Siapkan Pelampung!

Selasa, April 17, 2012



Saya masih ingat ada pelajaran renang yang diadakan sebulan sekali di SD saya dulu. Saat itu sekolah saya belum memiliki fasilitas kolam renang seperti sekarang sehingga kami harus pergi ke kolam renang stadion Matoangin (sekarang bernama Stadion Mattalata) untuk bisa merealisasikan pelajaran berenang itu. Saya dan teman-teman saya tentu sangat senang. Ada yang menyiapkan pakaian renang, kacamata renang, dan papan pelampung dengan beraneka macam warna.

Seperti pelajaran renang pada umumnya, kami akan diajari bagaimana menahan napas dalam air sampai gaya dada dan punggung. Pak Guru mewajibkan kami untuk menggunakan pelampung supaya mencegah kami tenggelam. Karena tidak semua anak, termasuk saya, memiliki pelampung maka biasanya kelompoknya dibagi dua.

Bukan satu dua kali saya merengek meminta dibelikan pelampung oleh orang tua saya. Bukannya mereka tidak mampu, hanya saja mereka menganggap itu tidak terlalu perlu. Setiap saya minta dibelikan pelampung, Mami saya cuma bilang," Cita-citamu bukan jadi perenang kan?" persis jawaban yang sama ketika saya minta dibelikan kamera yang lebih canggih, " Cita-citamu bukan jadi photographer kan?"

Alasan utama saya meminta dibelikan pelampung karena saya tidak suka meminjam barang orang. Lagipula memang lebih aman berenang dengan papan pelampung. Selain itu, saya bisa bebas memakainya tanpa perlu pinjam dari teman. Sampai saat ini saya tidak memiliki pelampung. Bahkan setelah saya trauma dengan pengalaman berenang sekalipun.

Waktu berlalu, beda masa beda waktu. Suatu hari seorang teman saya datang dan memberi tahu bahwa ia sudah punya pacar baru. Saya kontan shock. Pasalnya, teman saya ini sudah memiliki pacar. Singkat cerita, teman saya ini sudah memiliki masalah dengan pacarnya, tapi enggan untuk memutuskan. Beberapa waktu kemudian ia bertemu dengan cowok cakep yang lebih segala-galanya dibandingkan pacarnya itu. Kontan teman saya ini langsung memutuskan hubungan dengan pacarnya beberapa hari setelah ia jadian dengan cowok ini. Kata teman saya, "Harus sedia payung sebelum hujan, harus sedia pelampung sebelum tenggelam, harus sedia pacar baru sebelum putus."

Beberapa orang yang saya kenal juga diantaranya pernah melakukan hal yang sama. Mereka sudah punya "pelampung" sebelum benar-benar membiarkan pasangannya tenggelam. Ketika kapal bernama "relationship" itu hampir karam, salah satu dari dua orang yang seharusnya bertanggung jawab menyelamatkan kapal itu malah mengambil jalan aman. Yang seorang berusaha memperbaiki kapal itu, sedangkan yang satunya sibuk cari pelampung. Hubungan percintaan tidak bisa diperjuangkan oleh satu orang. Ketika kapal itu benar-benar tenggelam seperti Titanic, orang itu pun ikut tenggelam dalam lautan luka dalam. Sedangkan pasangannya, bersama "pelampung"-nya selamat sampai tujuan.

Saya terlambat mengetahui konsep pelampung ini. Saya bisa membayangkan seringai puas dari wajah-wajah itu ketika melihat mantan pasangannya tenggelam bersama hubungan mereka. Ketika saya akhirnya berada dalam situasi itu, saya juga berharap memiliki pelampung. Bahkan jika seandainya pelampung itu dibeli, saya akan memaksa orang tua saya untuk membelikan satu untuk saya. Sayangnya, itu tidak terjadi.

Ketika hubungan saya karam, tak ada pelampung yang saya miliki ketika saya jatuh ke dalam lautan. Tapi Tuhan memang Mahakuasa. Ia tidak memberi saya pelampung, tapi Ia membuat saya dapat berenang.

You Might Also Like

0 comments