Orang Besar

Rabu, April 20, 2011


BRAAKKK...

Naskah puisi yang sudah dijilid itu dibanting ke atas meja. Orang Besar memandang penuh remeh. Aku dan temanku hanya mampu diam sambil senyam-senyum. Tidak bisa membela karya kami yang dihina.

" Puisi macam apa itu. Terlalu dipaksa-paksakan. Saya ini kritikus sastra dek, sudah sering saya membaca berbagai macam puisi, jadi saya tahu,”ucap Orang Besar sambil melihatku

Aku menelan ludah. Orang Besar kembali mengambil naskah itu. Mengeluarkan komentar. Katanya ini saran. Tapi di telingaku terdengar mirip celaan.

" Saya kan masih awam. Sangat pemula di dunia per-puisian," ujarku membela diri. Masih kupasang senyumku. Mencoba mempertahankan harga diri.

" Logikanya dimana ini? Puisi itu harus logis. Kalau logis baru bisa dirasa, "ujar Orang Besar menggurui. " Coba saya tanya kamu logika dasar, satu tambah satu berapa ?"

Aku terkesiap. Logika dasar? Ya ya ya...pernah dipelajari waktu ikut pra pengkaderan dan pas kuliah Dasar Logika. Tapi ingatan tentang itu menguap entah kemana .

" Dua, Bang...," ujarku tidak yakin.

" Iya, kalau dihitung pakai fisika. Kalau dihitung pakai sosial berapa ? Lihat itu, logika saja tidak tahu. Baru mau sok-sok bikin puisi. "

Aku senyam-senyum lagi sambil memfilter ucapannya yang bisa dijadikan saran. Orang Besar kembali melanjutkan celotehannya.

" Hey dek, kamu siapa sih, berani-beraninya mewakili suara perempuan di dunia? Kamu bisa wakili rasanya para lesbian? Kamu bisa wakili perasaan para pelacur?," tanyanya dengan suara meninggi.

" Saya hanya mengandaikan kalau saya jadi mereka...," ujarku pelan.

" Tidak bisa. Tahu darimana kamu kalau perempuan Indonesia itu menderita? Hah??? Eh, di Bugis itu raja-rajanya banyak yang perempuan. Pahlawan-nya juga banyak yang Perempuan. Sawerigading saja pergi berlayar atas restu We Tenri Abeng. Laki-laki Bugis itu tidak bisa meninggalkan rumah tanpa izin Ibunya. Lihat, betapa tingginya Perempuan ditempatkan. Sedikit saja dapat pengetahuan dari Barat sampai bilang perempuan Indonesia itu menderita. Lihat Amerika, katanya maju tapi tidak ada perempuannya yang jadi presiden. Lihat Indonesia, ada kok presidennya yang perempuan. Negara-negara Asian dan Islam juga banyak yang pemimpinnya Perempuan. Coba dimana menderitanya Perempuan? Pengetahuan sejarahmu itu masih dangkal. Saya juga liat kamu ini berpikirnya suka lompat-lompat. Tidak punya alur. Coba kalau menulis itu pakai otak ya...," cerocos Orang Besar.

Aku menelan ludah.
Dalam hati aku berpikir sambil bertanya-tanya untuk apa ada feminisme di dunia kalau hidup Perempuan baik-baik saja. Untuk apa ada Emansipasi perempuan di Indonesia kalau hidup perempuan Indonesia baik-baik saja. Untuk apa para buruh di Kima berdemo kalau hidup mereka baik-baik saja. Untuk apa perempuan takut pulang malam kalau mereka bisa diperkosa? Bagaimana nasib perempuan di Afganistan yang dihukum dengan kejam dan tidak manusiawi oleh suaminya? Atau tidak bisa keluar rumah kalau tidak dengan muhrim-nya? Benazir Bhutto pun harus dituduh korupsi supaya ia ditendang dari kursi Perdana Menteri Pakistan. Lalu, berapa banyak anak muda zaman sekarang yang tahu mengenai Coliq Pujie atau Opu Daeng Risaju ? Ya, pengetahuan sejarahku memang dangkal.

Orang Besar masih berceloteh. Kali ini ia mempertanyakan kualitas editor puisi kami sembari membanding-bandingkan dengan dirinya. Mungkin ini juga alasan kuat mengapa ia kejam. Merasa lebih senior dari si Editor, sastrawan muda yang sudah go international.

“ Seorang penyair yang baik belum tentu menjadi seorang editor yang baik. Seorang Tukang Masak yang baik belum tentu menjadi Tukang Makan yang baik begitu juga sebaliknya. Coba saya yang jadi editornya. Kalian bisa didukung oleh pemerintah,” ujarnya.

Eh, tadi kan dia menghina karya kami. Kok sekarang seolah-olah membuka pintu surga. Orang Besar masih terus meronrong puisi kami. Giliran temanku yang kena.

“ Hey, dek apa sih bedanya tangis dengan tangisan ?”

“ Kalau tangisan lebih dramatis Bang, “ ujar temanku lugu.

Orang Besar mendengus. Lalu bangkit berdiri sambil membawa Tesaurus dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

“ Saya suka mencari kata-kata dalam kamus. Coba kita lihat arti kata tangis dan tangisan," setelah mendapati dua kata itu, Orang Besar membacakannya. Ia terus berkicau mengenai bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Hampir tiga jam aku dan temanku berada dalam kuasa Orang Besar. Niatan kami semula untuk memintanya sebagai komentator di antologi puisi kami kandas sudah. Ia menolak mentah-mentah.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, temanku lalu berkata.

" Setidaknya kita masih dapat buku gratis, " katanya sambil memandang buku novel karangan Orang Besar yang diberikan kepada kami.

Aku tersenyum sinis mendengar perkataan temanku. Ingatanku lalu beralih kepada seorang mahasiswa yang begitu terpesona pada Orang Besar jauh sebelum kami bertemu dengannya, “ Kata Orang Besar semua puisi adalah puisi kalau penulisnya mengatakan itu adalah puisi. Terserah apapun isi puisinya. Asalkan penulisnya mengatakan itu adalah puisi.”

Ternyata orang besar tidak semua yang berhati besar.






PS : coba-coba bikin cerpen lagi. ^^

You Might Also Like

1 comments

  1. haha...
    jika kamu menganggapx kejam, km tdklah salah
    jika kmu menganggapx gila, kmu bukn yg pertama...

    btw sy punya tesaurus & kamus bsar bhs indonesia dlm format pdf, nanti sy kirim via email

    Pai

    BalasHapus