I La Galigo Dalam Pentas Tari dan Musik

Senin, April 25, 2011

Apa yang tidak bisa dipandang oleh mata, dapat dilihat oleh hati. Apa yang tidak bisa didengar oleh telinga, dapat ditangkap oleh hati. Apa yang tidak bisa disentuh tangan, dapat diraba oleh hati. Jika semua perasaan dari hati itu tumbuh subur, maka itulah seni.



Menyaksikan I La Galigo


Dari atas panggung megah itu, saya bagaikan seekor semut di tengah kerumunan masyarakat yang menyaksikan pementasan teater tari dan musik yang berjudul “ I La Galigo, Berlabuh di Makassar” pada hari Sabtu-Minggu, 23-24 April 2011 di Benteng Fort Rotterdam. Ribuan orang berbondong-bondong untuk menyaksikan karya seni arahan sutradara Robert Wilson yang merupakan salah satu dari tiga sutradara terbaik di dunia. Robert Wilson juga yang menjadi konseptor bagi tata cahaya dan desain panggung. Pertunjukkan ini juga tak lepas dari tangan Rahayu Supanggah sebagai penata musik, Rhoda Grauer yang mengadaptasi teks dan dramaturgi, serta Restu I. Kusumaningrum sebagai penata artistik. Tak lupa juga para seniman yang memerankan lakon dalam teater I La Galigo.

Sebelum menonton pertunjukkan teater, para pengunjung akan memasuki musium yang memajang benda-benda kebudayaan Sulawesi Selatan dan dokumentasi pertunjukan I La Galigo yang sebelumnya telah diselenggarakan di beberapa negara.

I La Galigo adalah epos dengan predikat naskah terpanjang di dunia bahkan melebihi Mahabrata. Sebuah cerita yang rumit, penuh filosofis, dan merupakan karya budaya asli dari masyarakat Sulawesi Selatan.

Pementasan teater ini dimulai dengan masuknya Puang Matoa Saidi, seorang bissu ( pendeta Bugis ) yang dikeramatkan oleh masyarakat Sulsel. Beliau lalu mulai ma’sureq dengan bahasa bugis. Lampu sorot memantulkan cahaya kepada tubuh sang Bissu yang mulai bercerita.

Puang Matoa Saidi
* dulu saya hanya bisa menyaksikan beliau di TV sekarang saya sudah melihatnya secara langsung.


Lalu masuklah pemain Sindrili. Mereka kemudian menduduki tempat yang agak menjorok di belakang panggung. Perlahan suara keso-keso mulai digesek. Bunyinya pelan dan lirih. Bunyi keso-keso menjadi penanda dimulanya prolog dari pementasan I La Galigo. Satu-persatu isi dari dunia tengah akan diakhiri.

Pemain Sindrili
*musik yang dimainkan sungguh luar biasa


Para lakon mulai berjalan dengan menenteng gerabah, kecapi, dll. Ada pula lakon yang menggambarkan kehidupan dunia bawah. Ada anak kecil yang digendong serta seorang lakon yang melompat-lompat. Tak ketinggalan para binatang juga.


pengusiran dunia tengah dari adegan Prolog


Lambat laun alunan bunyi kecapi mulai dipetik, gendang mulai ditabuh, puwi-puwi mulai ditiup dan gesekan keso-keso semakin dipercepat. Bunyinya sungguh memilukan. Dada saya serasa teriris-iris mendengarnya.

Kemudian muncul I La Galigo yang mulai menari dengan gemerincing lonceng di kakinya. Berhubung ini adalah teater tari dan musik, maka sang I La Galigo maupun lakon yang lain berbicara lewat gerakan tari dan ekspresi tubuhnya. Kesemuanya itu didukung dengan bantuan musik dari pemain sindrili itu. Tak lupa juga yang menjadi bagian terpenting sekaligus membuat menarik adalah tata pencahayaan lampu yang menghidupkan pementasan ini.

Alunan musik Sindrili pun terhenti. Sang Bissu pun ma’sureq kembali. I La Galigo diperkenalkan kepada penonton.

Adegan pun mulai memasuki episode awal yaitu penciptaan dunia tengah. Muncullah Datu Patotoqe, dewa tertinggi dunia atas yang mengutus putranya Batara Guru untuk turun ke dunia tengah. Guru ri Selleq, dewa dunia bawah, memerintahkan putrinya We Nyiliq Timoq naik ke dunia tengah. Karena mereka keturunan dewa, Batara Guru dan We Nyiliq Timoq menjadi penguasa di kerajaan Luwuq. Sindrili terus mengalun. Kadang diisi dengan nyanyian rakyat atau nyanyian yang bersahut-sahutan.


Datu Pattoqe, dewa tertinggi dunia atas


Episode kedua bercerita tentang kelahiran si kembar emas, Sawerigading dan We Tenriabeng. Sawerigading yang ditakdirkan menjadi raja pejuang besar lahir dengan baju zirah lengkap. We Tenriabeng, saudara perempuannya, ditakdirkan menjadi pendeta sehingga ia terlahir dengan peralatan lengkap upacara bissu. Keduanya ditakdirkan akan saling jatuh cinta sehingga untuk menghindari hal itu, kedua kembar emas dipisahkan sejak lahir. Visualisasi adegan di episode ini sungguh memukau. Proses bersetubuh dan kelahiran mampu membuat kesan erotis sekaligus sakral. Gerakan tubuh menjadi bahasa yang dimengerti. Setidaknya bagi saya entahlah bagi orang lain.

Adegan episode ketiga menggambarkan Sawerigading yang pergi menjelajahi dunia. Kemudian masuk episode keempat, dimana pertemuan terlarang antara Sawerigading dengan We Tenriabeng. Keduanya saling jatuh cinta. Namun seperti sudah diduga mereka tidak boleh menikah. Dengan tarian, iringan musik , serta ekspresi para lakon, episode keempat sukses menghantarkan perasaan sedih dan terluka dari bahasa tak terucap di antara Sawerigading dan We Tenriabeng. Nyanyian pengiringnya pun sungguh memilukan bagi yang mendengarnya.

Episode kelima bercerita mengenai kebingungan dan keputusasaan Sawerigading karena tak bisa menikahi saudaranya. Di Adegan Keenam, We Tenriabeng muncul menghentikan kekacauan yang dibuat Sawerigading seraya memberi solusi bagi hubungan terlarang mereka. We Tenri Abeng pun menyuruh Sawerigading untuk menikahi Putri Cina yang ditakdirkan menjadi istrinya.

Sawerigading dan We Tenriabeng
*adegan favoritku, saya hapal sedikit tarian We Tenriabeng di dalam adegan ini


Episode ketujuh menggambarkan Sawerigading yang dibantu oleh para dewa menebang pohon terbesar dan paling suci di dunia, Welenrennge, yang kemudian tenggelam ke dunia bawah dan muncul sebagai armada kapal. Sawerigading bersumpah tidak akan kembali ke Luwuq sebagai balasan karena memotong pohon suci. Si Kembar mengucapkan perpisahan dengan janji walaupun mereka tidak bisa bersama, kelak anak-anak mereka dapat bersatu. Sawerigading kemudian berlayar dengan armada kapalnya sedangkan We Tenriabeng naik ke dunia atas sebagai tahap akhir dari perubahannya menjadi pendeta bissu. Air mata We Tenriabeng jatuh dari langit mengiringi kepergian Sawerigading.

Adegan Sawerigading ingin menebang Pohon Welenrennge. We Nyiliq Timoq ( baju kuning ), Batara Guru ( baju merah ), Pendeta Bissu ( baju putih ), dan para lakon yang memerankan hewan


Sawerigading
*Kisah cintanya romantis, tragis, dan sadis


Adegan delapan menceritakan Sawerigading yang terpesona dengan kecantikan We Cudaiq yang serupa dengan We Tenriabeng. Sawerigading pun mengirimkan lamaran padanya. Namun, karena dayang-dayang We Cudaiq salah mengira Sawerigading sebagai pria yang jelek, kotor, liar, kasar, dan jorok, maka sang Putri menolak lamaran itu. Untuk mengembalikan harga dirinya, Sawerigading pun bertempur. Hampir semua orang di kerajaan itu terbunuh. Ayah We Cudaiq kemudian meyakinkan putrinya untuk menikah dengan Sawerigading. We Cudaiq setuju asalkan semua orang yang telah mati di kerajaan dipulihkan. Pernikahan itu tidak dirayakan. We Cudaiq tidak sudi menerima Sawerigading pada siang hari atau melihat wajahnya.

Seperti yang pernah kita baca mengenai bagian ini, We Cudaiq melipat dirinya dengan tujuh sarung, terkunci di belakang tujuh gerbang yang dijaga ketat, dan menolak untuk bertemu Sawerigading. Singkat cerita, Sawerigading dapat menembus penjagaan. Mereka berdua menikmati petualangan malam itu, hingga akhirnya We Cudaiq hamil. Setelah melahirkan, We Cudaiq memerintahkan untuk membuang bayi itu ke sungai dan umpan anjing-anjing. Sawerigading lalu mengambil putra itu, I La Galigo, dan membesarkannya. Itulah cuplikan adegan kesembilan.

Tahun-tahun berlalu,We Cudaiq yang kesepian merindukan putranya. Ia kemudian mengetahui jika anaknya telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Maka diselenggarakanlah sabung ayam untuk menarik perhatian suami dan putranya. Itulah adegan pada episode kesepuluh ini. Saat pertemuan itulah, We Cudaiq melihat wajah Sawerigading yang sebenarnya dan kemudian jatuh cinta setengah mati padanya. Reuni keluarga pun terjadi.

Epilog dari pementasan I La Galigo adalah kembalinya Sawerigading ke Luwuq. Dengan demikian ia telah melanggar sumpahnya. Permintaan si kembar untuk saling berjumpa dikabulkan. Tiba-tiba suara Patotoqe memberitahu bahwa semua dunia tengah akan dibersihkan. Semua keturunan dewa harus kembali ke dunia atas dan dunia bawah. Sawerigading menjadi penguasa dunia bawah dan We Tenriabeng menjadi penguasa dunia atas. Setelah beberapa generasi, putri Sawerigading dan putra We Tenriabeng akan dikirim ke dunia tengah. Mereka memenuhi sumpah orang tuanya, menikah, dan menjadi penguasa dunia tengah. Gerbang yang menghubungkan dunia atas dan dunia bawah ditutup. Para dewa tidak akan campur tangan dalam urusan manusia. Sepasang manusia menentukan jalan hidup mereka sendiri di dunia baru tanpa dewa.


Kejutan I Laga Ligo


Dengan dua tiket di tangan saya bisa menyaksikan pertunjukan yang berdurasi 2,5 jam ini sebanyak dua kali yaitu pada saat gladi bersih, Jumat ( 22/04/2011 ) dan hari Minggu ( 24/04/20110 ). Tiket Titanium jatah-nya Mami dan tiket Platinum yang saya beli dengan susah payah. Ujung-ujungnya saya malah menggunakan tiket Titanium untuk akses eksklusif duduk di barisan depan dan menonton gladinya.



Panggung megah yang di-set di halaman Benteng Fort Rotterdam



tetap stay biarpun hujan saat nonton gladi bersih-nya


Bersama Kak Dwi Ananta Sari. Kami berdua sama-sama penggila sejarah dan sudah janjian sejak lama untuk menonton pertunjukan I La Galigo.



Salah satu bagian Sureq La Galigo yang dipamerkan di ruang Chapel, Benteng Fort Rotterdam


seorang gadis kecil sedang membaca lontara dalam Chapel


Walaupun begitu hebohnya pertunjukan I La Galigo di Makassar, namun ternyata ( sedihnya ) hanya sedikit masyarkat yang mengetahui tentang I La Galigo. Semoga pengenalan budaya seperti ini tetap ada dan mampu membuat masyarkat yang tadinya tidak tahu atau hanya sekedar ikut tren menjadi tahu dan mulai menjaga warisan dunia yang tak ternilai harganya ini.





Meike Lusye Karolus
*yang mengaku mirip We Tenriabeng tapi dipanggil We Cudaiq ^^

You Might Also Like

6 comments

  1. Tulisannya bagus sangat detail. Saya tak bisa menulis detail, sebenarnya malas yang berperan besar :p

    Jangan lupa bila ada waktu luang mampir ketanah Luwu’ ketempat cerita ini bermula. Kunjungi istana kedatuan Luwu’ di Palopo (promosi)

    nb: pemenggalannya “I La Galigo” sayang :)
    nb: dm ka email ta, pai mau kirimkan tesaurus, dinosaurus apalah namanya itu :p

    BalasHapus
  2. Makasih kak..

    Ayo mi kak..sama-sama ki belajar nulis detail, siapa tahu suatu saat kita berdua kayak Yasunari Kawabata dapat nobel sastra *tapi nda pake acara bunuh diri ji..hehhee...

    Mauuu...nanti kk dwi jadi guide-ku ya...mimpiku itu pengen keliling sulawesi selatan mengunjungi daerah-daerah bersejarah disini...

    Sipp..sipp..nanti saya dm ki..^^

    BalasHapus
  3. Keren sekali tata pangggung dan cahayanya. Kecewa tdk nonton -______-"

    BalasHapus
  4. Mudah-mudahan tahun depan ada lagi sayang..^^

    BalasHapus
  5. mendeskripsikan sebuah cerita sejarah sangatlah tidak gampang, tapi membaca tulisan Meyke membuat sejarah itu terlihat hidup. dan napas epos I Lagaligo hadir dalam tulisan ini...

    keren Meyke...

    BalasHapus