Pelajaran tentang Hubungan Romantis

Sabtu, Maret 28, 2020

Kata Kak Emma, orang yang sedang jatuh cinta takut pada dua hal: takut ditolak dan takut kehilangan. 

Seorang senior memperkenalkan kami. Namanya Ra. Secara akademik, ia sangat outstanding. Kami sebaya. Namun, ia sudah mengantongi dua gelar master dan PhD. Kami berdua memiliki ketertarikan pada ilmu pengetahuan, suka membaca, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tampaknya kami bisa menjadi pasangan intelektual yang serasi, menurut hemat senior saya itu. Maka kami pun berkenalan. Jarak yang membentang di antara kami pun tak menjadi soal. Kami memulainya sebagai teman biasa. Selama kurang lebih 6 tahun, aku dan Ra hanya sesekali ngobrol dan berkirim ucapan selamat ulang tahun via Facebook. Semuanya berjalan smooth, tanpa tahu suatu saat akan bertemu secara fisik. 

Lalu tibalah waktunya. Semuanya tidak terduga. Waktu itu, Ra sedang melakukan riset disertasinya di Indonesia dan berkunjung ke Jogja. Seorang kawan membagi info bahwa ada diskusi dan dia menjadi pembicaranya. Aku ragu untuk datang. Kalau Ra memang menganggapku temannya, kenapa ia tak memberi kabar kalau akan datang ke Jogja? Namun, rasa ragu itu kalah dengan rasa penasaran. Maka, aku berangkat juga menuju kampus tempat diskusi itu dilaksanakan. 

Kami akhirnya bertemu. Ra langsung mengenaliku. Kami pun berjabat tangan dan ngobrol ringan. Dia akan kembali ke Jakarta keesokan harinya. Aku sendiri juga akan ke Jakarta. Sayangnya, kami beda pesawat. Pertemuan itu ditutup dengan kesepakatan untuk saling berkabar lagi setibanya di Jakarta. Siapa tahu ada momen untuk bertemu lagi. 

Seperti sedang berada dalam film, kami sepakat bertemu lagi. Ada beberapa temanku yang juga ikut dalam pertemuan itu. Ra menjadi pusat perhatiannya. Kami banyak ngobrol tentang dunia aktivisme. Dia adalah seorang marxist muda yang militan. Namanya sedang naik daun di dunia intelektual kaum muda Indonesia. Aku sendiri hanya beruntung mengenalnya jauh sebelum dia tenar. Aku melihatnya sebagai seseorang yang memiliki visi dan misi yang sama. Tampaknya, aku menemukan kamerad-ku. 

Pertemuan malam itu berakhir sekitar pukul 9 malam. Aku masih belum puas ngobrol maka kutawari ia untuk ngobrol di lobby hotel tempatku menginap. Aku sempat takut Ra menolak ajakanku. Di luar dugaan, dia setuju. Kami ngobrol hingga pukul setengah 1 malam. Pertemuan di Jakarta bermuara pada chatting yang kami lakukan. Aku harus kembali ke Jogja untuk bekerja. Dia harus melakukan penelitian lapangan. Di sela-sela itu, kami ngobrol via chat. Mulai dari hal-hal yang remeh temeh hingga diskusi intelektual. Kami bertukar pikiran. Kami mengeluarkan keresahan-keresahan yang ada di hati sebagai intelektual muda. Rasanya waktu itu menyenangkan dan semua hal menjadi bermakna. Hubungan itu kira-kira berjalan selama hampir satu tahun.

Namun, diam-diam aku menyimpan resah. Kami ini sebenarnya apa. Tentu dalam perjalanannya, aku membutuhkan kepastian. Lalu, aku mulai menganalisis dan curhat pada sahabatku, Annisa. Annisa mendengarkan ceritaku dengan seksama. Ia kemudian memberi tahu pengetahuan yang sama sekali baru buatku. Menurut Annisa, laki-laki memiliki strategi dalam mendekati perempuan untuk kemudian dijadikan pasangannya. Bagi mereka, perempuan adalah sekumpulan ikan di samudra yang luas. Strategi itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah strategi jaring pukat harimau. Bagai nelayan yang menangkap ikan dengan pukat harimau, maka semua ikan diterima di dalam jaringnya. Dalam tahap ini, mereka menerima semua cewek yang mendekati atau mendekati semua cewek yang mereka sukai. Menurut Annisa, aku sudah masuk di level ini. Strategi kedua adalah tahap menstabilkan api. Sudah tak ada lagi pengejaran berlebihan. Hubungan asmara berada dalam api yang stabil. Setelah masuk dalam tahap ini, dimulailah seleksi. Proses seleksi tentu berdasarkan preferensi yang dipengaruhi oleh pengalaman, konstruksi gender, impian masa kecil, keinginan mencari yang mirip “Ibunya”, dan fantasi seksual yang referensinya berasal dari film porno dan media populer lainnya. Dalam penjelasan yang berperspektif ekonomi-politik, mereka mulai melakukan seleksi berdasarkan kebutuhan dan kepentingan. Maka, perempuan yang paling dekat dengan kebutuhan mereka atau memiliki kapital yang paling banyaklah yang akan menang. Teori ini sudah diuji Annisa dengan metode in-depth interview pada 10 laki-laki dari 3 kota berbeda di Pulau Jawa. Aku sendiri menanyakan hal ini pada Daddy. Dengan bahasa yang sederhana, Daddy menjelaskan padaku. Girls, teori ini nyata adanya. Namun, tidak hanya laki-laki saja yang memakai strategi ini. Perempuan juga ternyata mempraktekkan hal yang sama (kita akan bahas di lain kesempatan).

Di masa itulah, aku mulai mengalami yang dinamakan fenomena diberi harapan palsu. Aku merasa ngambang. Aku merasa sendirian dalam hubungan ini. Aku memberi terus tetapi tidak pernah menerima. Dia tidak pernah benar-benar hadir untukku. Dia masih membalas chat tapi chat-nya seadanya dan hanya untuk tetap terkesan baik. Bagaimanapun kami dihubungkan oleh senior kami yang sama-sama kami hormati. Setelah kupelajari polanya dan diskusi dengan Annisa, aku menemukan bahwa Ra menjadikanku seperti ban serep. Dia memiliki target yang sesungguhnya, tapi belum dia dapatkan. Tampaknya, perempuan yang lebih ia sukai itu juga tidak memberikan kepastian. Maka, untuk mengobati kerinduannya, ia tetap meladeniku (dan mungkin juga para fans-nya yang lain) sebagai pengobat rasa sepinya. 

Lama-kelamaan aku tidak tahan juga. Aku harus mendapatkan kepastian. Jalan satu-satunya adalah mengungkapkan perasaan. Aku kini berhadapan dengan dilema yang sungguh klasik. Aku hidup dalam tatanan kultur patriarki yang akan memandang hina perempuan yang mengungkapkan perasaannya pada laki-laki. Di sisi lain, aku harus memperjuangkan perasaanku. Ditolak ataupun diterima, itu masalah lain. Aku membutuhkan penjelasan. Aku teringat Anthony Giddens dalam bukunya The Transformation of Intimacy bahwa ikhwal demokrasi berasal dari hal-hal privat yang diperjuangkan. Bagaimana bisa memperjuangkan hak-hak publik ketika hak-hak pribadi saja tidak bisa. Saat itu aku merasa seperti pejuang cinta yang heroik. Bagi pejuang, hanya ada dua pilihan: menang atau mati. Tidak ada kata menyerah atau kalah. 

Aku akhirnya mengungkapkan perasaanku. Berat untukku. Ada rasa malu dan takut. Tapi, aku menguatkan diri. Aku menyatakan aku menyukainya dan merasa hubungan kita selama setahun sudah cukup membuatku belajar mengenalnya. Lalu, aku menanyakan apakah ia memiliki perasaan yang sama padaku dan mau berelasi serius denganku. Ra menjawab bahwa ia berterima kasih aku memiliki perasaan padanya. Namun, Ra jujur mengatakan bahwa ia tidak memiliki perasaan yang sama padaku. Ia ingin berteman denganku saja. Ra mengakui bahwa ia menyukai perempuan lain yang ternyata sudah dekat dengannya setahun ini (hasil diskusi dengan Annisa terbukti). Tapi, dia sendiri juga galau karena sang Nona belum memberikan dia kepastian. Aku menghela napas panjang. Dengan ksatria aku menerima “kematian”-ku. Aku bilang kalau begitu aku tidak bisa lagi berhubungan dengan dia seperti kemarin-kemarin. Aku butuh jarak. Aku butuh waktu untuk menetralkan perasaanku dulu. Sebagai penutup, aku mengucapkan selamat dan sukses untuknya dan semoga ia berbahagia dengan perempuan yang dicintainya. Ra juga mengucapkan hal yang sama. Hubungan kami benar-benar berakhir.

Tentu setelah itu aku sedih luar biasa. Aku mendengarkan lagu-lagu patah hati. Untuk pertama kalinya, aku mengerti makna lagu November Rain-nya Guns N' Roses. Aku bisa merasakan Axl Rose meneriakkan jeritan jiwaku. Aku mengalami penolakan sekaligus kehilangan. Aku curhat pada Mami. Mami menghiburku. Beliau bilang, “Ya harus diterima kalau kita bukan menjadi pilihan hatinya”. Itulah saran cinta terakhir dari Mami. Aku menangis sepanjang minggu itu. Sampai semua rasa sakitku menghilang, aku tidak mau menjalin relasi dengan orang lain atau menjadikan orang lain sebagai rebound. Aku mau menyelesaikan dulu luka batinku. Jika aku siap, aku percaya aku akan jatuh cinta lagi. Dalam masa penyembuhan itu, aku menjalani hari-hariku dengan tetap beraktivitas seperti biasa. Bahkan bersama Annisa (yang juga mengalami patah hati), kami berkolaborasi untuk menuliskan pengalaman patah hati kami ke dalam jurnal ilmiah. Tujuannya, kami ingin berbagi pengetahuan dan menguatkan satu sama lain. 

Namun, hidup selalu punya kejutannya sendiri. Beberapa waktu kemudian aku mendapat berita tak terduga. Kabar itu datang dari sahabatku Tedtod. Tedtod bercerita bahwa gadis yang disukai Ra adalah temannya saat masih di Belanda. Gadis itu juga idola di kalangan intelektual muda Indonesia. Sama-sama memiliki kepedulian kepada kemanusiaan dan aktivisme. Gadis itu cantik sekali. Aku bisa melihat bahwa wajar saja Ra memilih dia. Aku menerima bahwa modal sosial gadis itu lebih banyak. Tidak apa-apa. Semua orang berhak untuk mendapatkan kebahagiaannya. Kelak Tedtod memberi tahuku bahwa gadis itu akhirnya tidak bersama dengan Ra. Ia memilih menikah dengan orang lain. 

Dua tahun kemudian, aku bertemu Ra di suatu konferensi akademik. Perasaanku padanya sudah netral. Kami bertemu tidak sengaja. Ia terlihat canggung dan salah tingkah. Kami sempat ngobrol sebentar, tapi rasanya sudah berbeda. Kami seperti dua orang asing. Ia bahkan beberapa kali menghindariku. Semuanya sudah jauh berbeda. Aku mencoba bersikap seperti teman lama. Tapi, Ra sudah tidak bisa biasa lagi. Mungkin inilah kesedihannya, kita pernah tidak saling mengenal, lalu berhubungan, lalu kemudian berpisah, dan menjadi dua orang asing kembali. 

***

Aku mengenang peristiwa itu sebagai pelajaran tentang hubungan romantis. Kadang di kelas aku membagikan pengalaman ini dengan mahasiswa-mahasiswaku. Aku bisa relate dengan perasaan mereka yang jatuh bangun dengan cinta. Ya, jatuh cinta memang bukan pilihan. Itu seperti peristiwa kecelakaan. Akan tetapi, memilih untuk berelasi adalah pilihan sadar dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan konsekuensi. Tak ada relasi yang tanpa penderitaan. Seperti kata Alain de Botton, "It is normal that you are suffering. Life is suffering". Ide berelasi tanpa menderita adalah khayalan. Penderitaan itu terjadi karena kita adalah manusia yang punya kelebihan dan kelemahan. Justru karena kita manusia maka relasi kita tidak sempurna dan kita harus mengakui dan menerima itu. Memutuskan berelasi dengan seseorang adalah seperti memilih penderitaan dari penderitaan yang ada. Setiap kisah cinta hanyalah awal karena selanjutnya adalah proses dan keterampilan untuk sampai pada tindakan cinta.

Peristiwa itu juga mengajariku untuk menguji apakah intensiku tulus untuk mencintai seseorang atau tidak. Kadang kita silau dengan seseorang karena hal-hal yang melekat padanya. Hasrat pada keindahan adalah manusiawi, namun hal itu harus diuji dengan kebenaran. Apakah kita siap menerima bahwa orang yang dipuja dan dipandang wow oleh orang banyak ternyata memiliki sisi-sisi yang ternyata membuat kita kecewa? Apakah kita mencintai seseorang karena "dia" dengan segala kelebihan dan kekurangannya atau karena dia merupakan piala yang diperebutkan banyak orang. Kita pun cenderung menjadikan pasangan kita sebagai pemuas kebutuhan. Hubungan itupun tak lepas dari saling bertransaksi. Tampaknya memang adil dan setara, tetapi apakah itu memanusiakan manusia?

Hal lain yang juga menyakitkan dan membuatku merasa terkhianati adalah kenyataan bahwa banyak intelektual dan aktivis laki-laki yang mempelajari teori anti penindasan tapi ternyata (sadar atau tidak) tetap mempraktekkan penindasan. Banyak juga yang membaca teori feminisme dan mendukung gerakan perempuan tetapi masih patriarkal dan tak mau melepaskan privelese yang diberikan padanya. Melepas privelese, berarti tidak menjadi "laki-laki". Banyak yang akhirnya memilih tetap menjadi "laki-laki" daripada menjadi manusia. Akibatnya, meskipun mereka berbicara tentang kemanusiaan, mereka tidak bisa relate dengan penderitaan kemanusiaan yang sesungguhnya. 

Pada akhirnya, aku sampai pada suatu pertanyaan: bagaimana kita bisa berbicara tentang cinta, jika kita tidak tahu caranya mencintai?

You Might Also Like

0 comments