Angin Puting Beliung

Jumat, Maret 06, 2020

Kami bertengkar.

Pertengkaran yang tidak diprediksi. Ia sedang kasmaran. Siapa yang bisa menyalahkan orang yang lagi dimabuk asmara? Disitulah kulihat cinta berubah menjadi obsesi. Disitulah aku melihat cinta yang membebaskan berubah menjadi penjara kepemilikan. Semuanya demi ego dan pembuktian diri.

Temanku ini, padanya aku bertekad untuk menemani perjalanannya. Namun, cintanya membuatnya buta. Di tengah medan pertempuran, dia telah salah melangkah. Ia menyalakan bom yang mencelakakan kami semua. Ini menyakitkan karena justru di saat kami seharusnya saling mendukung satu sama lain. Ada banyak beban tugas tak masuk akal, penolakan, dan keadaan tak terduga yang terjadi. Kami berada di dalam pusaran angin puting beliung yang dahsyat. Dan temanku ini membakar lumbung persediaan semangat kami. 

***

Aku marah padanya tapi sekaligus sedih untuknya. Aku kecewa mengapa ia melakukan hal itu. Tapi aku mengerti mengapa ia melakukan itu. Aku terjebak di antara area abu-abu yang membuat tatanan moralku kacau. Aku menjadi tidak konsisten terhadap nilai-nilai yang kupegang. Aku merasa ini kasih, tapi sisi lain diriku mengatakan aku salah menafsirkan kasih itu. Aku bingung harus bagaimana. Mungkin ada yang tidak benar dengan caraku mengasihi. Aku bisa salah. Aku harus mengulang semuanya dari awal.

Kami pernah berbagi cerita bersama dan menangis bersama. Tapi, kasih persahabatan bisa dikalahkan dengan kasih asmara. Mungkinkah sebenarnya aku atau dia tidak benar-benar bersahabat? Mungkinkah kami hanya menggunakan satu sama lain sebagai tempat sampah? Saling curhat tentang hubungan asmara yang tidak diterima dunia dengan orang yang bisa menerimanya rasanya seperti menemukan cahaya dalam gelap. Aku bertanya-tanya, jika aku yang berada di posisinya, apakah aku akan melakukan hal yang sama? Apakah aku akan mengorbankan teman-temanku yang bersamaku sejak semula dan memilih orang yang katanya "kekasih" ini sebagai tujuan hidup? 

Aku ingat Simone de Beauvoir menulis bahwa dalam mencintai laki-laki dan perempuan berbeda memaknainya. Bagi laki-laki, mencintai berarti ekspansi atas kepemilikan. Ini berasal dari pandangan bahwa perempuan adalah obyek atau milik kepunyaan yang menjadi tanda pada status sosial (semakin banyak semakin kaya/kuat/manly). Penaklukkan adalah segalanya. Laki-laki tidak berhasrat pada perempuan yang sudah didapatnya. Mereka tidak akan memancing di kolam yang ikannya sudah didapat. Mereka berhasrat menaklukkan yang belum didapat, yang merupakan yang diincar kalau perlu oleh banyak lelaki. Perempuan seperti sebuah bola yang diperebutkan 21 pria dalam pertandingan sepakbola. 

Sementara itu, perempuan dalam mencintai berarti meleburkan seluruh eksistensinya kepada lelaki yang dicintainya. Jika pada pria, cinta adalah penaklukkan, maka pada perempuan cinta adalah devosi. Tentu, perempuan juga memiliki hasrat untuk ditaklukkan. Mereka juga ingin mengontrol lelakinya. Menjadi pengganti ibu mereka. Seperti ada semacam kemenangan manakala bisa mengubah bad boy menjadi good boy. Maka dimulailah permainan cinta itu, tarik-menarik kekuasaan. Saling takluk dan menaklukkan. Sekilas memang tampak adil dan setara. Tetapi, apakah itu memanusiakan manusia?

You Might Also Like

0 comments