Ular dan Perempuan

Kamis, Februari 23, 2017

Kemarin saya menemukan sebuah cerita di Twitter. 

Seorang perempuan menemukan ular yang terabaikan di jalan. Ular itu kelaparan dan terluka parah karena ditabrak mobil. Perempuan itu jatuh kasihan dan akhirnya membawa Ular itu pulang ke rumah. Ia memberi Ular itu makanan, pakaian, dan tempat berteduh yang nyaman. Ia merawat Ular itu dengan kasih sayang sampai sembuh. Setelah melalui serangkaian peristiwa bersama, Ular itu membalas kebaikan si Perempuan dengan mematuknya. Racun Ular yang mematikan seketika melumpuhkan si Perempuan. Di atas tempat tidurnya sembari menanti ajal, Perempuan itu berkata kepada si Ular: 

“Setelah apa yang saya lakukan, kenapa kamu mematukku?” 

Ular itu menjawab dengan tenang: 

“Ketika kamu memilih saya, kamu sudah tahu bahwa saya adalah Ular.” 

 ***

Saya dan kalian yang membaca tulisan ini mungkin pernah mengalami atau menjadi saksi dari hubungan seperti di atas. Kisah-kisah di atas selalu bermula dari laki-laki “bermasalah” yang bertemu dengan perempuan “baik-baik” yang punya cita-cita membawa si laki-laki ke jalan yang benar alias mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Persoalannya, tidak semua kisah-kisah itu berakhir happy ending. Seringkali kita yang menjadi perempuan yang dipatuk Ular, meringkuk dalam kekecewaan dan rasa sakit hati. Sebaliknya, kita mungkin yang menjadi si Ular, tipe manusia keras hati yang tidak saja mengambil keuntungan dari kebaikan orang lain, tapi juga menganggap mereka adalah korban balas dendam dari luka masa lalu. 

Saya masih menganalisis, apakah sebagai manusia, kita bisa sesakti itu mengubah orang? Apakah kita sanggup menjadi pahlawan yang memperjuangkan seseorang? Apakah kita bisa menjadi satu-satunya alasan seseorang berubah? Apakah kita bisa menyembuhkan hati yang terluka atau memadamkan dendam yang tak kunjung padam? 

Pada satu titik, saya menyadari pula bahwa mustahil seseorang berubah hanya karena orang lain. Sekalipun ada yang beralasan bahwa ia melakukannya untuk seseorang, tapi saya pikir jika hanya alasan temporer seperti itu maka kapan saja setiap orang bisa berubah menjadi ular, kembali ke nature-nya. Hanya si Ular sendiri yang bisa mengubah dirinya menjadi manusia. Hanya atas kehendaknya sendiri maka ia melakukan perubahan radikal pada dirinya, sebuah metanoia. Dan metanoia hanya bisa terjadi ketika seseorang mau membuka diri, berdamai dengan dirinya, dan mengampuni. 

Tapi bukan berarti Ular tak patut dikasihi. Setiap orang memiliki keindahan dalam jiwanya. Saya teringat dongeng klasik Beauty and The Beast. Ketulusan Belle membebaskan Beast dari “kutukannya”. Namun, semuanya diinisiasi dari Beast sendiri yang mau membuka hatinya untuk Belle. Jika tidak, maka relasi seperti Ular dan Perempuan itu akan terjadi. Relasi yang mengambil keuntungan dari kebaikan dan ketulusan orang lain. Relasi yang dianggap wajar karena sebagai korban dari kesalahan orang lain kita berhak memperlakukan orang lain sebagai tumbal kekecewaan kita. Relasi yang tidak memanusiakan.

***

Udah ah, mau nge-scroll postingannya Lambe Turah lagi. 

You Might Also Like

0 comments