Cinta, Komedi

Jumat, Februari 24, 2017


*www.pinterest.com

Saya teringat sebuah komedi tentang seorang perempuan yang sedang jatuh cinta. Yah, setidaknya sih dia berpikir demikian. 


 *** 

Ada seorang perempuan yang menyukai seorang laki-laki yang ia tahu pasti tidak mungkin ia gapai. Perempuan itu awalnya tidak berpikir untuk menyukai laki-laki itu. Namun begitulah cinta, terjadi tanpa diduga. Laki-laki itulah yang menghidupkan api asmara sang perempuan yang telah lama padam. Walaupun perempuan itu tahu laki-laki itu tak mungkin dimiliki karena ia adalah milik semua orang, perempuan itu ingin laki-laki itu tahu bahwa ia ada dan mengasihinya. 

Suatu ketika, ia mendapat sebuah momen untuk menyatakan perasaannya. Laki-laki dan Perempuan itu akan bertemu dalam sebuah kegiatan. Perempuan itu berencana memberinya sebuah hadiah yang secara tersirat merupakan pernyataan rasa cintanya. Maka, ia menunggu hari tersebut dengan berdebar-debar. Waktu itu, ia masih dalam kondisi pasca operasi gigi bungsu yang membuat rahangnya masih kram. Tapi ia tak mundur selangkah pun. Sepulang dari kantor ia singgah sebentar ke rumahnya, menaruh berkas-berkas pekerjaannya, berganti tas ransel dengan tote bag yang santai, dan langsung meluncur ke Mall terdekat. Gerimis tak membuatnya patah arang. Hari esok adalah hari yang dinantikannya. Itulah satu-satunya kesempatannya untuk menunjukkan eksistensinya. 

Sesampainya di Mall, perempuan itu bingung sendiri. Apa yang harus diberikan pada lelaki cerdas seperti pujaan hatinya itu? Baju kaos? Hmm…kok gak terkesan intelek ya. Album musik? Tapi toko kaset sudah tidak ada di Mall (Kelak ia tahu laki-laki itu menyukai lagu-lagu dari Kla Project). Perempuan itu gundah gulana. Hadiah ini haruslah berkesan, pikirnya. Hadiah ini haruslah menjadi statement dari perasaannya. Hadiah ini harusnya bermakna sekalipun ia harus membangun seribu candi (eaaaaa). 

Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan akan membeli sebuah buku. Ia memang senang memberi orang hadiah buku. Perempuan ini ingin meniru kebiasaan Pak Hoegeng yang kalau kemana-mana selalu memberikan oleh-oleh berupa buku pada orang-orang. Pengetahuan itu harus dibagi, itulah amalan tertinggi, begitu katanya. Lagipula buku tampaknya memang pilihan jitu untuk tipe laki-laki intelek seperti pujaannya. Selain tentu saja, harganya terjangkau. 

Namun, rupanya membeli buku untuk seseorang yang senang membaca juga susah-susah gampang. Perempuan itu berpikir lagi, jangan-jangan buku yang akan ia berikan sudah pernah dibaca oleh laki-laki itu. Jangan-jangan laki-laki itu justru tidak menyukai buku itu atau tidak sesuai dengan selera dan level si lelaki. Kira-kira dua jam lamanya perempuan itu kebingungan sendiri di dalam toko buku. Akhirnya, ia menuruti instingnya. Pilihannya jatuh pada sebuah kumpulan cerpen berjudul Blind Willow, Sleeping Woman karya Haruki Murakami. Bukunya ringan tapi mengajak merenung. Selain itu, ada beberapa cerita tentang perjalanan dan pizza. Lelaki ini suka merenung. Ia pernah sekolah di Italia dan telah melakukan banyak perjalanan ke berbagai penjuru dunia. Pas! 

Perempuan itu berjalan menuju kasir hendak membayar buku yang akan diberikan pada si pujaan hati. Saat ingin membayar, perempuan itu kelimpungan mencari dompetnya yang entah bagaimana tidak ada disana. Jangan-jangan ketinggalan di rumah sewaktu ia berganti tas tadi. Untung saja handphone-nya tersimpan di kantong celana. Ia menelpon mas ojek langganannya untuk segera menjemputnya. Dititipinya pesan kepada Mbak Kasir yang baik hati untuk menjaga buku itu, maklum bukunya tinggal satu biji. 15 menit kemudian, Mas Ojek, abdinya yang setia sudah menunggu di parkiran Mall. Perempuan itu bergegas kembali ke rumah. Memakan waktu sekitar 10 menit jika tidak macet. Tiba di rumah, dompet itu memang berada di sana. Buru-buru ia mengambilnya dan kembali menuju Mall. Buku itu masih ada. Ia membayar dan pulang. 

*** 

Malam itu ia tak bisa tidur. Ia lelah, bibirnya masih kram, tapi ia sangat bersemangat menyambut hari esok. Pertemuan dengan lelaki itu tinggal menunggu hitungan jam. Buku itu sudah dibungkus rapi dengan kertas kado motif batik. Dibungkus dengan sempurna. Setiap lipatannya memiliki arti (duileee). Sebelum dibungkus, ia membaca secara skimming buku itu. Ia memang belum pernah membaca buku itu, setidaknya jika laki-laki itu mengajak ngobrol tentang buku itu, ia bisa mengikuti (hmm dasaarrr…). Dari hasil skimming-nya, ia menstabilo kalimat-kalimat yang secara implisit menyatakan perasaannya ke si lelaki. Ia berharap laki-laki itu memecahkan kode-kodenya (etdaaahh).  
***

Pagi pun tiba. Masih setengah mengantuk, perempuan itu bergegas mandi. Hari itu ia akan berdandan cantik rupawan. Matanya masih bengkak karena kurang tidur, tapi tak ada lagi rasa kantuk yang tinggal. Ia pun menuju tempat pertemuan itu. Si laki-laki telah ada disana. Menyambutnya dengan senyum ramah. Lutut perempuan itu lemas. Ia berpura-pura bersikap biasa, namun ia tahu hatinya melonjak-lonjak gembira. Tibalah momen yang ditunggu. Si lelaki rupanya akan pamit duluan dari kegiatan itu. Sial, ia tak punya waktu banyak. Segera si Perempuan menghampiri laki-laki itu yang tengah membereskan kertas-kertas kerjanya. 

“Ehem..ehem..”, perempuan itu berdehem dan kemudian menyebut nama laki-laki itu. 
Laki-laki itu menoleh memandangnya. Ia tak berkata apa-apa, tapi matanya berkata,” Ya, ada apa?” “Ini buat kamu,” perempuan itu menyerahkan kado itu untuk si laki-laki. 
Laki-laki itu tidak segera menerimanya. Tangan si perempuan yang memegang kado itu masih tergantung di udara. Yawlah, Perempuan itu rasanya mau menggali lubang dan membenamkan kepalanya disitu. 
Ini untuk apa ya?,” laki-laki itu bertanya. 
“Ini hadiah Paskah untuk kamu,” Perempuan itu sudah mau menangis karena malu. 

Laki-laki itu berpikir sejenak. Lalu, dengan agak ragu mengambil kado itu dari tangan si perempuan. "Terima kasih ya,” kata laki-laki itu. 

Perempuan itu tersenyum lalu berlalu dari hadapan laki-laki itu. Tak berapa lama kemudian laki-laki itu meninggalkan tempat pertemuan. Perempuan itu berharap laki-laki itu melirik ke arahnya ketika berjalan meninggalkan ruangan. Laki-laki itu berjalan terus. Tidak menoleh sedikit pun. 

*** 

Waktu pun berlalu tanpa terasa. Laki-laki dan perempuan itu masih berjumpa meskipun frekuensinya mulai berkurang. Setelah lewat beberapa minggu, perempuan itu akhirnya memiliki kesempatan untuk berbicara berdua dengan laki-laki itu. 

“Bukunya sudah dibaca?,” tanyanya. 
Laki-laki itu tampak kikuk. Ia tidak siap ditanya demikian. Ia terlihat salah tingkah. 
“Belum selesai. Bahasa Inggris saya tidak terlalu baik,” jawab laki-laki itu sambil lalu. 

Si perempuan mikir, situ kan lulusan universitas di Roma, masa bahasa Inggrisnya gak bagus sih? Jadi dulu nulis disertasi pakai bahasa latin? (Wow, sadyeesssst). Satu hal yang membuat perempuan itu bersyukur atas pengalamannya mencintai laki-laki itu. Meskipun sangat singkat, ia menyadari ketika kau mencintai seseorang, kau akan melakukan apa saja untuk memelihara hubugan itu. Untuk pertama kalinya, perempuan itu hanya menerima. Hanya dengan membuat laki-laki itu tersenyum saja ia sudah senang. Ia tidak meminta apa-apa lagi. Ia bahagia dalam kesunyiannya. 

Sang Nasib melihat perempuan itu. Ia telah melakukan sebuah perbuatan kasih tanpa syarat. Suatu hari Sang Nasib membalas ketulusan perempuan itu dengan membuatnya mengalami dua jam perjalanan bersama laki-laki itu. Laki-laki itu yang menyetir, dan perempuan itu duduk di sampingnya. Mereka bercakap-cakap tentang apa saja. Laki-laki itu tertawa-tawa mendengar perempuan itu bercerita dan melontarkan lelucon. Ketika perjalanan itu harus berakhir, perempuan itu sadar inilah hari terakhir mereka bersama. Laki-laki itu mengantarnya ke sebuah biara kecil. Hujan turun sangat deras. Perempuan itu mengucapkan terima kasih. Laki-laki itu mengangguk. 

Mereka tak pernah bertemu lagi. 

Ironisnya, rumah perempuan dan tempat tinggal laki-laki itu hanya berjarak tiga kilometer. 


***

Saya mengenal perempuan itu dengan baik. Saya pikir, setelah kejadian ini, ia mulai belajar mencintai dengan cara yang dewasa. Kadangkala, hidup itu seperti yang dideskripsikan Woody Allen,”Life is a comedy written by sadistic comedy writer”. Saking sedihnya, kita hanya sanggup menertawakannya saja.

You Might Also Like

2 comments

  1. ceritanya bagus serta menginspirasii :) tokoh perempuan idola, tulus tanpa pamrih. salut! :""""

    BalasHapus
  2. Iya kita semua berusaha belajar mencintai tanpa pamrih, bukan?

    BalasHapus