Mei

Senin, Mei 21, 2012



"Ini anakmu?," saya bertanya sekali lagi.

Lelaki yang sedang berdiri di depanku dan menggandeng seorang anak kecil kira-kira berusia 3 tahun itu menggangguk. 
"Bryan, ayo salam sama tante...,"ujarnya. Anak kecil itu nyengir kemudian menghampiriku. Meraih tanganku yang tanpa sadar tak mau terjulur dan  menciuminya. Setelah itu, dengan malu-malu kembali  kepada ayahnya.

"Bryan pemalu, Mei. Tapi dia pintar sekali. Guru-gurunya di play group selalu puas dengan prakarya yang dibuatnya," lelaki ini kembali melanjutkan ceritanya.

Saya tetap tertegun. Menatap bergantian antara Bryan dan ayahnya. Kenangan lima tahun lalu kemudian menyeruak seperti film yang diputar di bioskop. Film yang memasang  saya dan Barry, ayah Bryan sebagai bintangnya. Kisah sepasang kekasih yang saling mencintai sampai virus bernama Karina datang dan merusak semuanya. Dia mengambil Barry, menghancurkan hati saya, plus dengan telak mengalahkan saya dengan menghadiahi Barry makhluk kecil bernama Bryan. Tak ada yang tersisa. Tinggal Bryan yang gantian memandangi saya. Si Tante yang aneh begitu mungkin pikirnya.

"Karina mana?," dengan susah payah saya bertanya. Kenapa juga pertanyaannya  harus tentang dia. Saya merutuk.

"Karina...Karina...sudah tiada, Mei," gantian kini Barry yang tergagap menjawab pertanyaan saya. "Karina mengalami pendarahan setelah melahirkan Bryan. Ia meninggal beberapa jam setelah melahirkan."

Tanpa sadar saya tersenyum. Senyuman yang lebih mirip seringai. Seperti sangat puas mendengar istri Barry dan ibu dari Bryan itu akhirnya berakhir dalam tanah berukuran 2x3 meter. Rasanya sakit hati selama lima tahun yang dipendam dan menjadi luka yang tak kunjung sembuh itu ditetesi antiseptik setelah sekian lama memborok dan membusuk.

"Mei, sebelum Karina meninggal dia menyebut namamu. Dia minta maaf. Sangat minta maaf. Saya pun demikian Mei. Maafkan saya," Barry, lelaki yang dulu pernah saya cintai dengan sepenuh hati  ini mengatakannya dengan mata berkaca-kaca. Suaranya serak. Ada rasa penyesalan, bersalah, dan kesedihan yang terpancar dari wajahnya. Wajah meminta pengampunan.

"Saya sudah memaafkan kalian. Tapi hati saya tidak bisa sembuh. Apa yang kamu dan Karina lakukan tidak bisa membuat hati saya sembuh. Tidak bisa, Barry," ucapan itu tanpa sadar keluar dari mulut saya. Saya juga kaget. 

"Meilani, saya benar-benar minta maaf," Barry mengulangi permintaan maafnya. "Kehidupan saya setelah ditinggalkan Karina terlunta-lunta tanpa arah. Ijazah sarjana tak menjamin pekerjaan layak bisa saya dapatkan. Kalau bukan karena bantuan Papa dan Mama, Bryan mungkin tidak bisa dihidupi seperti ini. Saya tahu kamu sekarang sudah menjadi penulis besar sekaligus menjadi dosen di perguruan tinggi populer, saya tahu kamu sudah menikah dengan diplomat tampan dan kaya raya. Saya pun tahu bahwa kamu juga tengah hamil sekarang. Tapi tolong Mei, biarkan masa lalu menjadi masa lalu. Saya dan Karina telah berdosa padamu izinkan saya tenang menjalani hidup dengan maaf darimu," kata-kara Barry meluncur disertai wajah memelasnya.

"Barry, Meilani yang lima tahun lalu kamu kenal tidak seperti Meilani yang kamu temui hari ini," saya berdehem pelan. "Kamu tidak akan lagi melihat wajah gadis yang terisak-isak saat melihatmu bersama Karina di kampus. Tak ada lagi gadis yang masih mengingat-ingat janji-janji yang kamu  ucapkan dulu. Ketika Karina datang, kamu lupa bahwa saya masih ada dan dengan teganya kalian memadu kasih di belakang saya. Kamu tidak pernah tahu, betapa sakitnya hati saya melihat kalian berduaan sampai akhirnya Karina hamil. Kamu tidak pernah tahu rasanya menjadi orang yang paling berduka melihat pernikahan kalian. Saya seperti gelas yang berhasil kamu hancurkan. Setiap hari saya berjuang menghadapi keadaan ini. Sampai Aston datang dan benar-benar menjadi malaikat untuk saya," semua perkataan yang ingin saya katakan sejak lima tahun silam akhirnya tumpah.

Barry menunduk. Tampak sangat merasa bersalah. Sedangkan orang-orang yang menghadiri acara seminar dimana saya yang menjadi pembicaranya mulai berdatangan. 

"Sorry. Saya harus masuk ke dalam. Kalau mau lihat seminar saya kamu bisa hubungi panitia. Bilang saja kamu temannya Ibu Meilani," saya pamit dan mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dari dompet. "Bryan, ini untuk beli susu ya, " saya menepuk-nepuk kepala anak itu. Wajahnya sangat mirip dengan Karina.

"Mei...saya balik duluan ya. Kedatangan saya kesini memang hanya untuk minta maaf sama kamu," Barry akhirnya bersuara.

"Sudahlah. Sekarang saya sudah bahagia. Anggap saja ini karma untuk kalian," saya tersenyum.

"Mei....," Barry menatap saya tak percaya.

"Duluan ya...dadada Bryan...," saya membalikkan badan. Dari ekor mata, saya melihat Barry dan Bryan berjalan menuju parkiran. Barry tampak sangat terpukul. Si penghancur gelas itu kini benar-benar hancur.






You Might Also Like

4 comments