Tembok Ratapan

Sabtu, Agustus 27, 2011

Mark Zuckenberg boleh-boleh saja membawa tradisi Yahudi berdoa di tembok pada situs Facebook ciptaannya, tapi berapa di antara kalian yang suka diam-diam menangis sambil berdoa dan menghadap pada...tembok?

Ketika sedang bersedih seseorang berharap akan ada bahu, punggung, atau dada sebagai tempat bersandar. Kita membutuhkan lebih dari sekedar pelukan. Mungkin belaian dan kecupan di ubun-ubun kepala akan mampu menghapuskan airmata dan menghalau kesedihan untuk mendekat.

Namun, bagaimana jika semuanya itu tidak ada? Tidak ada pelukan, belaian, serta kecupan di ubun-ubun kepala. Tidak ada yang mempersilahkan bahu, punggung, atau dadanya sebagai tempat bersandar. Hanya kau sendiri yang menangungg kesedihanmu. Lalu, kau butuh dari sekedar teman yang menemani. Kau membutuhkan Dia yang menciptakanmu.

Saya suka mengatur tempat tidur merapat di tembok. Selain karena saya suka tidur menyandar ke tembok, tembok itu kadang menjadi "teman bicara" saya. Dia menjadi saksi dari segala kesedihan dan airmata saya. Orang Yahudi menyebut bangunan bekas reruntuhan kerajaan Israel sebagai Tembok Ratapan. Saya punya satu "tembok ratapan" di rumah, di kamar saya.

Selalu ada kelegaan setelah selesai berhadapan dengan tembok ratapan. Seolah-seolah ada orang yang setia mendengarkan curhatmu dan memberikan penguatan. Setelah menangis pada tembok, biasanya saya akan jatuh tertidur dan tidur saya pasti akan nyenyak.








PS : semoga suatu hari nanti saya bisa melihat Tembok Ratapan yang sebenarnya.^^

You Might Also Like

0 comments