Renungan Setelah 24 Jam

Minggu, Agustus 21, 2011

Malam ini terasa berbeda dengan malam sebelumnya. Banyak peristiwa yang tidak dapat dimengerti begitu saja. Ada seorang perempuan yang sedang mengamarah karena kesalahpahaman. Di seberang sana, sang kekasih juga dirundung dilema antara membiarkan kekasihnya bergumul sendiri atau memaksanya untuk memaafkannya. Dipilihnya yang pertama, tapi ternyata malah lebih menyiksa. Lalu ada seorang gadis yang masih mencintai kekasihnya, sekalipun kekasihnya sudah bersama dengan orang lain. Tapi cinta masih membara. Memiliki api kecil yang tinggal menunggu untuk berkobar atau dipadamkan secara paksa. Di lain tempat, sepasang kekasih tengah sama-sama mencari keputusan yang tepat, di antara memutuskan hubungan atau mempertahkankan sekuat tenaga.

*Sedangkan aku? Aku tetap berdiri. Berpijak pada cinta seluas samudra dari nama yang kugenggam. Namun kali ini aku tidak mengecap pahit kehilangan yang serasa digumuli maling. Tak ada juga cinta yang kulihat bersanding tanpa undangan. Semuanya baik-baik saja. Cinta yang telah lama dinanti memiliki harunya sendiri. Tetapi kali ini aku berubah menjadi Themis yang suka menimbang di antara benci dan rindu. Bukan untuk menghakimi namun karena saking hebatnya deraan asmara itu. Keinginan untuk bersama, untuk saling memiliki.

Albert Einstein mengatakan bahwa sesungguhnya waktu itu elastis. Waktu bisa terasa lama atau cepat tergantung bagaimana manusia merasakannya. Ia tak memiliki batasan maupun urutan secara berkala. Manusia-lah yang mencoba untuk membendungnya sehingga peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah peradaban manusia bisa dituliskan di buku-buku sejarah. Sekalipun demikian tak ada yang mencoba menghitung lama waktu yang dijalani oleh masing-masing orang. Meskipun itu adalah peristiwa sejarah personal. Karena tentu saja, setiap manusia memiliki waktunya sendiri-sendiri.

Apalah daya manusia yang fana. Sekalipun bersama namun sebenarnya tidak pernah saling memiliki. Tidak ada seorang pun yang bisa memiliki yang lain. Karena sejatinya, manusia adalah milik Tuhan. Tuhan-lah sang pemilik lingkaran waktu tak bermasa di tangan-Nya. Dia bisa mengatakan "silahkan" atau "berhenti" untuk siapapun yang dimilikinya dan kita pun tidak kuasa menolak. Karena seperti barang yang dimiliki, kita tidak berkuasa terhadap Sang Empunya.

Apakah malam ini terasa lain? Untuk sebagian manusia tentu tidak. Ada kelahiran bayi-bayi yang akan menjadi pendatang baru di bumi yang semakin menua ini. Pernahkah kau melihat wajah bayi-bayi itu? Mereka semua tersenyum menatap dunia dengan matanya yang belum sepenuhnya terbuka. Mereka tersenyum untuk siap menjalani kehidupan, apapun yang akan terjadi nanti. Aku ingin seperti bayi-bayi itu. Tetap tersenyum menjalani hidup... dalam kebahagiaan, dalam derita.




*Puisi "Keadilan" dari antologi Kaki Waktu.

You Might Also Like

2 comments

  1. bangga berkenalan dengan seorang adik yang hebat merangkai kata, teruslah menulis sister.

    BalasHapus
  2. terima kasih kak harwan...^^


    adikmu ini masih butuh bimbingan dari kanda-kanda sekalian....

    BalasHapus