Setelah 66 Tahun

Kamis, Agustus 18, 2011


Tanpa terasa negara kita tercinta Indonesia telah berusia 66 tahun. 66 Tahun yang lalu, kemerdekaan itu susah payah diproklamasikan dan selama beratus-ratus tahun dijajah, tidak sedikit putra-putri Indonesia yang mengorbankan nyawanya. "Kemerdekaan bukanlah suatu tujuan dari Indonesia, namun awal untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik," begitu kira-kira kata Pak Mohammad Hatta, salah satu proklamator kita yang saya lihat cuplikannya dalam sebuah iklan bank di tivi.

Saya percaya bahwa setiap tahun atmosfir hari kemerdekaan republik ini akan selalu berbeda. Tahun-tahun sebelum jatuhnya orde baru, kita akan sibuk dengan lomba tujuh belasan dan persiapan pagelaran untuk panggung rakyat. Tahun ini biasa-biasa saja. Cenderung sepi malah. Yang luar biasa hanyalah tertangkapnya Nazaruddin sebagai kado bagi Indonesia yang selalu dibahas di media massa.

Saya rindu dengan suasana dimana hiasan merah putih penuh di jalan-jalan. Suara dari pengeras suara yang selalu berbunyi tiap sore untuk memberitahukan lomba ini dan itu. Anak-anak sekolah harus bangun pagi untuk upacara dan sebagian dari mereka akan mengambil bagian dalam susunan protokoler. Saya juga rindu masa-masa dimana harus latihan untuk aubade dan serenade di gubernuran. Lalu, keesokan harinya teman-teman saya yang tidak ikut aubade akan berkata begini," Meike, kemarin saya lihat ko di TVRI menyanyi di gubernuran...ada juga si Ini dan Itu...tawwa..."

Ah, ya..masa-masa itu telah berlalu. Lebih cepat dan tanpa terasa. Saya jadi ingat rumah tua di samping gubernuran yang menjadi tempat numpang pipis kami kini telah berubah menjadi mess TNI. Saya rindu jadi anak sekolah yang selalu sibuk menyambut hari kemerdekaan. Saya pun bertanya-tanya mengapa mahasiswa tidak mengikuti upacara seperti anak sekolah. Apa karena sudah menjadi "maha"?

Biarlah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban itu menjadi misteri. Hingga suatu hari semuanya akan berubah. Nasionalisme bukan saja hanya dimaknai dengan mengenakan kaos lambang Garuda dan berteriak-teriak di pinggir lapangan bola. Nasionalisme yang sebenarnya adalah menghapus airmata Ibu Pertiwi yang sedang bersusah hati dan merintih.

Dirgahayu INDONESIA....
semoga engkau terus ada, hidup, dan berjaya agar kami tidak bermimpi buruk melihat anak-anak kami hanya mengenalmu dari legenda yang diceritakan secara turun-temurun.

You Might Also Like

0 comments