God Bless Lola

Rabu, Juli 06, 2011


Ia berkaca pada cermin di hadapannya. Dilepasnya satu-persatu pakaian bekas pertunjukkan semalam. Dilihatnya mata yang kini balas menatapnya. Perlahan dihapusnya make-up tebal yang menutupi wajahnya. Kini wajahnya sudah bersih. Tak ada polesan lagi. Kecantikannya kini terlihat alami. Lola berjalan keluar dari kamarnya. Tubuhnya hampir setengah telanjang. Hanya ditutupi korset dan celana dalam. Stocking hitam masih membungkus kakinya berikut stilleto hitamnya. Ia terlihat seksi dan menggoda. Jika Ibunya melihatnya dalam keadaan seperti ini ia akan diteriaki layaknya pelacur di rumah bordil.

Lola mengambil piringan hitam dan memutarnya pada gramaphone tua yang dibeli dari Mrs. Bertha tetangganya dulu. Ia kemudian menuju sisi apartemen yang menghadap ke jendela. Cahaya matahari perlahan merembes melalui gorden putih. Ia berbaring di lantai kayu yang dingin. Dinyalakan sebatang rokok. Dihisapnya dalam-dalam dan dihembuskannya. Bibirnya mulai memutih. Sayup-sayup terdengar suara Karen Carpenter bernyanyi...

are we really happy here
with this lonely game we play?

Kringg....Kring...Kring....
Bunyi telepon yang terus-menerus berdering terdengar menyeramkan di telinga Lola. Ia tidak
bisa melarikan. Dari dulu ia tidak pernah diberikan pilihan. Pilihan yang harus terpaksa diambilnya. Dalam minggu ini, sudah 34 kali telepon di apartemennya berdering. Hanya ada satu penelpon yang tak pernah bosan mengganggu hidupnya. Sebenarnya bukan salah Mr. Franco, si rentenir tempat ia meminjam uang tempo hari. Ini adalah kesalahan Cecilia, ibunya yang suka mabuk-mabukkan hingga akhirnya jatuh sakit. Ini adalah salah Marco, kakaknya yang penjudi dan adiknya Marcia yang masih harus disekolahkan. Lalu ada kakak perempuannya, Belinda dengan dua anaknya yang masih kecil. Dua tahun lalu, Belinda resmi bercerai dengan suaminya yang seorang pegawai bank. Dan sekarang, mereka semua bertumpu pada Lola untuk membiayai hidupnya. Ini adalah pilihan Lola untuk menyelamatkan keluarganya setelah ayahnya meninggalkan mereka. Ya, inilah pilihannya. Lebih tepatnya ia tak punya pilihan.

Lola menghisap rokoknya lagi. Telepon itu berhenti berdering. Namun, Lola yakin dalam sejam lagi pintu rumahnya akan didobrak. Mr.Franco tidak akan melepaskannya begitu saja meski Lola baru saja membayar setengah dari bunga yang diutanginya. Kemarin, Lucy, anak bungsu Belinda terkena demam berdarah sehingga anak kecil yang baru berumur 4 tahun itu harus segera dirawat di rumah sakit. Obat Cecilia yang harganya lumayan mahal juga harus dibeli setiap kali habis. Lusa nanti, Marcia membutuhkan uang untuk study tour di sekolahnya. Tentu saja, Marcia juga harus membawa uang jajan karena Lola tidak tega melihat adiknya merana tanpa sepeser uang pun. Lalu bagaimana dengan Marco? seperti biasa ia terlibat perkelahian setiap kali kalah main judi. Ia ditahan di kantor polisi dan harus segera dijamin. Jika tidak, Marco akan berakhir di penjara dengan dakwaan. Lola sendiri juga butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, membayar sewa apartemen kecilnya, serta membeli kosmetik dan pakaian untuk menunjang penampilannya. Maka, Lola dengan berat hati harus berurusan dengan Mr. Franco.

Lola masih berbaring pada lantai kayu apartemennya. Ia masih mengenakan korset, celana dalam, dan stocking hitam. Stiletto hitam juga masih melekat pada kakinya. Lola menghisap rokoknya lagi dalam-dalam. Bibirnya semakin memutih. Matahari semakin tinggi di langit. Lola Morreti hampir mati.

****

Mr. Tony baru saja turun dari mobilnya ketika ia melihat Lola berjalan menuju arah klub.

" Lola," pria separoh baya yang tampan dan kaya raya itu segera berteriak memanggil Lola. Mata Mr. Tony berbinar-binar memandang Lola.

Lola yang tengah sibuk menghitung segala utang dalam pikirannya segera tersadar akan sosok pria yang setiap malam mendatangi klub dan menjadi penggemarnya itu.

" Selamat malam, Mr. Tony," sapa Lola ketika Lola sudah berhadapan dengan Mr. Tony.

" Selamat malam, Lola. Sudah siap untuk malam ini?," tanya Mr. Tony.

" Iya. Saya akan menampilkan yang terbaik," ujar Lola sambil tersenyum.

" God bless you, Lola," Mr. Tony mengucapkan itu sambil mencium pipi Lola dan beranjak pergi.

Lola tersenyum. Ini bukan kali pertama Mr. Tony menciumnya. Mungkin perasaan Mr. Tony belum berubah sedikit pun padanya. Kebaikan tidak akan membuat Lola luluh untuk rela dijadikan simpanan lelaki itu.

Lamat-lamat dari kebisingan tempat itu, terdengar sebuah lagu...

her name was Lola
she was the showgirl
with yellow feathers in her hair and a dress cut down to there
she would merengue and do the cha-cha
and while she tried to be a star, Tony always tended bar



-----THE END----




PS : bikin cerpen lagi malam ini karenan terinspirasi lagu Copacabana dari Barry Manilow

*photo by tumblr

You Might Also Like

2 comments

  1. kak, sebelumnya maaf ya aku lumayan suka kasih komentar._. hehehe soalnya emang suka banget sama tulisan-tulisan kakak :D

    BalasHapus
  2. mirda : hehe..nda papa mirda saya senang tulisannya bisa bermanfaat buat mirda..:)

    BalasHapus