Sliding Doors : Perkara 60 Detik

Kamis, Januari 23, 2014



Pagi itu cuaca cukup cerah di London. Helen pun bersiap-siap berangkat ke kantor. Ia menciumi pacarnya Gerry yang sedang tidur kemudian keluar rumah, membeli sandwich sebagai sarapan, dan akhrinya ia tiba di kantor. Rupanya ia sudah ditunggu oleh para koleganya dan bummm...ia dipecat. Seketika itu juga London menjadi tak ramah padanya. Ia melangkahkan kakinya dengan gusar dan masuk ke lift. Takdir rupanya menunggunya disana. Tak sengaja anting-antingnya jatuh dan seorang lelaki memungut dan mengembalikan padanya. Tak ada perkenalan. Hanya ucapan terima kasih.

Helen kemudian memutuskan pulang ke rumah untuk membenahi perasaannya yang tak enak. Ia memutuskan naik kereta api. Ia harus bergegas kalau tidak ia akan terlambat menaiki kereta yang menuju daerah apartemennya. Rupanya usahanya tidak berjalan mulus. Banyaknya orang hingga anak kecil yang menghalangi jalannya menyulitkan Helen sampai tempat waktu. Ia ketinggalan kereta. Hanya kira-kira 60 detik jika ia lebih cepat saja, ia akan sampai naik ke kereta tersebut.

Begitulah kira-kira adegan pembuka dalam film Sliding Doors (1998) yang dibintangi Gwyneth Paltrow. Selanjutnya, film ini akan menampilkan dua adegan: yang satu menggambarkan jalan cerita jika Helen naik ke kereta dan yang kedua jika ia tidak naik ke kereta itu. Persis seperti judulnya, alur film ini seperti pintu slide yang sering ada di rumah-rumah mewah. Kisah ini mengangkat tema mengenai takdir, apakah dua orang bertemu memang sudah digariskan demikian atau karena kebetulan. Dengan filosofi pararel universe sebagai nafas filmnya, cerita yang terjalin menjadi tidak biasa. Cenderung membuat kita mikir pada akhirnya. 

Film ini diproduseri sutradara kawakan Sydney Pollack dan disutradarai oleh Peter Howitt. Entah ini ada hubungannya atau tidak, seperti film Sabrina (1995) yang disutradarai Pollack, film ini termasuk kategori film romantis yang terkesan dingin meskipun bukan Pollack yang menyutradarainya. Jangan mengharapkan film ini akan seperti film-filmnya Gary Marshall atau Nancy Meyers yang penuh dengan aktor-aktor ganteng dan cantik serta backsound musik jazz yang manis (kecuali lagunya Elton John, Dido, dan Aqua yang jadi soundtrack di film ini). Kalau lebih diperhatikan lagi, film romantis Pollack memang lebih cenderung realistis dengan isi cerita yang lebih filosofis. Selain itu pemerannya juga lebih realistis, setidaknya bagi saya Gwyneth (meskipun dia mantan pacar Brad Pitt dan sekarang jadi istrinya Chris Martin) tidak bisa dibilang cantik-cantik banget. Selain itu, pemeran utamanya John Hanna yang memerankan tokoh James lebih banyak dikenal sebagai pemeran pendukung (ingat tokoh Jonathan di serial The Mummy?). Ke-biasa-an ini membuat kita yang menonton film ini seperti menonton kehidupan orang lain saja. 

***

Seusai menonton film ini saya jadi bertanya-tanya (diskusi ini sangat cocok jika ada Kak Emma), what if adalah pertanyaan paling pas untuk menerangkan kegundahan ini. Misalnya:

Saya janji ketemu dengan seorang kawan di sebuah cafe jam 7 malam. Atas kesepakatan itu, saya minimal harus berangkat dari rumah setengah jam sebelumnya. Namun karena sore itu hujan, saya terpaksa harus menunggu sampai reda. Untungnya ojek yang mengantar berhasil membuat saya hanya terlambat 15 menit dari waktu yang sudah disepakati. Saat memasuki cafe, saya berpapasan dengan seorang laki-laki kira-kira berusia enam atau tujuh tahun diatas saya. Ia sedang bersama seorang perempuan. Saya tidak terlalu memperhatikannya karena buru-buru harus menemui teman saya itu sedangkan laki-laki itu juga buru-buru masuk ke dalam mobilnya diikuti perempuan itu, sepertinya mereka baru pulang kantor karena laki-laki itu masih memakai setelan kerja, kemeja warna biru ke-abu-abuan yang digulung sampai siku. Perempuan itu juga mengenakan setelan blazer warna cokelat. Bersilanganlah kami. 

Saya akhirnya menjumpai teman saya itu. Untungnya ia mengerti keterlambatan saya karena persoalan cuaca. Kami memesan makanan. Saya memesan mie Penang sedangkan teman saya memesan satu set teriyaki. Saya kemudian ke tempat cuci tangan, entah ada angin apa saya terpeleset, untungnya di cafe sedang sepi. Saya bangkit sendiri dan kemudian menuju tempat duduk saya. 

Coba bayangkan jika saya datang setengah jam lebih awal.

Saya masuk ke dalam cafe. Rupanya malam itu tidak terlalu banyak orang, hanya satu keluarga dan pasangan yang sedang melahap makanan mereka yang hampir habis. Sepertinya pasangan itu baru pulang kerja karena laki-lakinya masih mengenakan setelan kerja, kemeja biru keabu-abuan yang lengannya digulung sampai siku sedangkan perempuanya mengenakan setelan blazer warna cokelat. Saya dan teman saya kemudian memesan makanan. Saya memesan mie Penang, teman saya memesan satu set teriyaki. Saya pamit pada teman saya untuk cuci tangan, disaat yang sama laki-laki itu juga menuju tempat cuci tangan. Kami sama-sama tiba di tempat cuci tangan. Namun, saya lebih duluan selesai. Entah ada angin apa, saya terpeleset. Laki-laki itu rupanya berbaik hati menolong saya berdiri. "Hati-hati mbak, lantainya memang agak licin", ia berkata sambil tersenyum. Akhirnya saya memperhatikan bahwa laki-laki ini tipe idaman gue banget. Ia kemudian kembali ke mejanya begitupun saya. Di masa yang akan datang, rupanya laki-laki ini adalah jodoh saya, pemirsa. Kami akan bertemu tiga atau empat tahun lagi. Soalnya saat ini, ia masih pacaran dengan perempuan itu #hiks.

Pararel universe memang konsep yang sedikit ngejelimet dengan persoalan waktu. Waktu adalah sistem yang membuat kita kabur untuk membedakan mana yang takdir dan mana yang cuma kebetulan. Namun, setelah menimbang dengan seksama, dalam konteks ini baik takdir maupun waktu adalah sistem yang berjalan tetap. Yang sering mempermainkan mereka adalah pilihan kita. Kitalah yang tanpa sadar mengacaukan sistem mereka. Kita adalah subjek yang menentukan apakah akan mengikuti sesuai sistem atau keluar dan berimprovisasi dari sistem. Mengapa saya harus menunggu hujan reda padahal saya bisa saja datang dengan menggunakan taksi?. Pada akhirnya, dari pertanyaan "what if..." kita akan berujung pada sebuah pernyataan "seandainya...".

Kita tidak sadar bahwa detik sekalipun sanggup merubah jalan cerita hidup kita. Ahhh...hidup manusia lebih rumit dari seluruh film di muka bumi dijadikan satu. 

You Might Also Like

0 comments