Jangan Mendendam, Meskipun Itu Lebih Mudah

Jumat, Mei 08, 2020

Seringlah kini kukenang, di masa yang berat 
Di kala hidup mendesak dan nyaris ku sesat 
Melintas gambar ibuku, sewaktu bertelut 
Kembali sayup kudengar... namaku disebut 

Di doa ibuku, namaku disebut 
Di doa ibuku dengar ada namaku disebut... 

Sekarang dia telah pergi ke rumah yang senang 
Namun kasihnya padaku selalu ku kenang 
Kelak disana kami pun bersama bertelut 
Memuji Tuhan yang dengar namaku disebut

(Di Doa Ibuku - Nikita)


Mami sayang,
Ingatan waktu aku putus cinta untuk pertama kali melintas dengan kuat. Waktu itu Mami memelukku dan berkata, " Jangan menangis, masih banyak yang lebih jahat". Itu bukan sekedar nasihat. Itu lebih mirip peringatan.

Aku menangis dengan hati hancur. Bukan perpisahan yang kutangisi. Tetapi, bagaimana cara orang yang pernah menyayangi kita itu memutuskan hubungan. Ia sama sekali tidak menghargai aku dan hubungan itu. Aku merasa tidak dimanusiakan. Aku seperti barang yang dibuang begitu saja begitu nilai gunanya habis. Ia bahkan membuatku merasa bersalah dan tidak bisa menyalahkan dia. Kelak di kemudian hari aku tahu namanya. Aku mengalami kekerasan simbolik, jenis kekerasan yang sama sekali tidak bisa dibuktikan karena tidak kelihatan, tapi lukanya setara dengan kekerasan fisik. Kekerasan yang terjadi dimana korban menyetujui untuk ditindas dan membenarkan perlakuan pelaku. Dalam dominasi ini, korban menyalahkan dirinya, insecure, bahkan tidak mau keluar dari hubungan itu. Hal yang membuatku sedih, para pelaku kekerasan simbolik ini ada juga yang berasal dari kaum intelektual nan religius yang berbicara tentang humanisme dan kasih. Mereka mempelajari teori ini bukan untuk mencegah supaya kekerasan ini tidak terjadi, tetapi supaya mereka dapat mempraktekkannya dan lepas tanggung jawab. Yang mengerikan, para korbannya tidak bisa meminta pertanggungjawaban pelaku. Sebaliknya, korban yang kemudian disalahkan dan dirisak. 

Ada juga untungnya TNI mengajarkan kami latihan fisik mountainering. Suatu latihan fisik dengan cara memanjat di ketinggian dan kemudian terjun atau melompat dari atas. Kata pelatihku dulu," Ini mungkin berguna buat kalian dalam menghadapi kehidupan sehari-hari". Tentara tidak pandai berfilosofi. Itu bukan pekerjaan mereka. Namun, aku kini memahami maksud latihan fisik ini. Ya, ini latihan untuk membiasakan diri agar kau siap-siap diangkat setinggi-tingginya, lalu kemudian dibanting begitu saja ke tanah.

Kali ini tidak ada Mami yang menghapus air mataku atau memberiku kata-kata penguatan agar aku bisa ikhlas menerima perpisahan. Kali ini tidak ada Mami yang bisa menemaniku menertawai kebodohan dan betapa naifnya aku dalam mencintai. Mami tahu ketika aku mencintai maka aku akan mencintai dengan total. Tapi, aku tidak menyangka bahwa ketulusan di dunia ini ternyata tidak cukup. Kadang orang yang kita cintai tidak memiliki perasaan yang sama atau tidak memilih kita. Ada pertimbangan ekonomi-politik yang memandang manusia seperti komoditas. Apakah manusia ini memberi profit atau tidak. Mereka menilai manusia lain berdasarkan kebutuhan mereka. Betapa mengerikannya kita dikelilingi manusia-manusia yang narsistik.

Mami tahu, aku bukanlah bunga mawar di taman yang diperebutkan dan sesuai dengan standar keindahan. Aku adalah gulma yang dianggap tanaman penganggu karena tidak estetik meskipun aku memiliki kekuatan dan kegunaan untuk menghidupkan dan menyembuhkan. Kekejaman sistemik yang aku rasakan membuatku bertanya-tanya,"Apakah kebaikan justru menarik kejahatan untuk mendekat?". 

Mami tidak usah khawatir. Aku tidak sendirian. Aku punya sepasukan teman-temanku yang menemaniku menghadapi kesulitan ini. Mereka menguatkan dan menghiburku. Mereka meyakinkanku ketika kepercayaan diriku runtuh dan merasa tidak dicintai. Mereka bukti hidup bahwa aku dicintai. Penolakan memang membuat trauma yang dalam. Namun, aku juga belajar mendefiniskan kembali konsep cinta. Aku belajar memahami penis envy-nya Freud dengan jernih. Aku belajar menjadi utuh dengan menjadi diri sendiri. Kesadaranku benar-benar terbentuk untuk menjalani hidup ini. 

Mami, aku memilih tetap mengasihi. Aku memilih tidak menyimpan dendam. Aku marah dan sedih. Iya, itu wajar sebagai reaksi tubuh atas luka emosional yang kurasakan. Tapi, aku tetap tidak mau mendendam. Dendam tidak membawa kita kemana-mana. Dendam yang dipelihara terlalu lama akan menjadi racun bagi diri sendiri. Aku tidak mau mendendam, meskipun itu lebih mudah. Mengampuni memang hal yang paling sulit. Orang yang bisa mengampuni adalah orang yang memiliki kasih yang besar. Dan hanya orang-orang yang memiliki kasih yang bisa mengasihi. Aku memilih tetap mengasihi bukan karena aku putus asa dan merasa tak berdaya. Tapi, justru karena dengan mengasihi aku merasa berdaya. Ya, aku mampu mengasihi dan aku bangga pada diriku yang memilih melakukan itu. Kekuatan itu lahir bukan dari hati semata tetapi juga dari pengertian bahwa mereka dibentuk oleh sistem yang membuat mereka tidak bisa mengasihi. Di dalam sistem kolaborasi patriarki dan kapitalisme ini, mengasihi dianggap perbuatan orang lemah karena ia memberi dirinya. Memberi diri dianggap tidak profitabel. Akhirnya, banyak orang takut mengasihi. Ini logika yang salah karena justru orang yang mampu dan kuat-lah yang bisa memberi. Seperti hanya orang kaya yang mampu memberi sedekah pada orang miskin.

***

Pada akhirnya, aku iba padanya. Betapa berat beban hidupnya sampai ia memilih menjadi orang jahat. Namun, aku mengerti mengapa ia seperti itu. Aku mengerti rasa sakitnya. Mencintai memamg butuh keberanian. Aku bukan dia. Aku tidak takut untuk mencintai. Aku akan berproses dengan perasaan-perasaan ini dan membiarkan semuanya terurai, dimurnikan untuk menjadi energi yang baru. Semua ada hikmahnya. Aku kini dapat membedakan rasanya dicintai dan tidak. Aku kini bisa belajar mengasihi dengan benar. Aku kini tahu apa itu cinta. Aku kini tahu apa yang aku mau. 

Mami, aku percaya Mami selalu mendoakanku dari sana  sama seperti ketika Mami masih ada di bumi. Mami, tenang saja. Aku akan baik-baik saja. Semuanya akan berlalu dan aku akan lebih kuat dari sebelumnya. Aku adalah gulma, semakin dibunuh semakin tidak bisa mati. Gulma akan terus tumbuh meskipun ia dipangkas, dibakar, atau bahkan diracun.

Bagaimana mungkin dia terbunuh, jika ia sudah mati berkali-kali?

You Might Also Like

0 comments