Tentang Menghakimi

Minggu, Januari 19, 2020

"Manusia bisa salah," sahut Kak SY. "Manusia sering salah. Semua begitu. Mereka, aku, kamu. Sama saja. Memang ada hukum negara dan undang-undang yang menentukan tindakan mana yang salah dan tidak. Tapi, di antara kita sendiri siapa yang punya hak buat menentukan benar dan salah? Siapa yang punya hak untuk menjadi hakim? Apakah kamu atau aku berani bilang bahwa anak-anak pendeta yang todong-todongan pistol itu lebih banyak salahnya daripada kita? Apakah kita berani menggunakan diri kita sendiri sebagai tolak ukur kebenaran?"

"Kita semua cacat dan terluka, Markus," renung Singa Yehuda. Tangannya meraih bingkai yang tergeletak begitu saja di sisi komputer di atas meja belajarnya. Bingkai itu menyimpan dan melindungi sebuah kenangan baik-baik. Terlihat foto Mawarsaron yang sedang belajar jalan dibimbing oleh Singa Yehuda yang tertawa riang. Ia meraba foto itu perlahan-lahan. "Kalau iman membuat kita merasa tidak bercacat cela maka kita sudah jauh tersesat." 

(Lusifer, Lusifer - Venerdi Handoyo, hal. 60-61)



Ini adalah salah satu cuplikan dari novel Lusifer, Lusifer karya Venerdi Handoyo yang menghentakku. Satu bagian kecil yang membuatku mempertanyakan tatanan moralku sendiri. Bagian yang mempertanyakan keakuanku dan kuasa dalam diriku. Apakah dengan memiliki pengetahuan, nilai-nilai, taat pada hukum dan norma, bahkan memiliki spiritualitas lantas membuat kita menjadi orang suci dan terlepas dari tindakan yang tak bercacat cela? Lalu, takarannya apa dan siapa yang kita jadikan patokan? Jika kita mengikuti ukuran-ukuran tersebut, apakah lantas otomatis membuat diri kita menjadi orang benar? sehingga kita dengan mudah menunjukkan jari dan menghakimi orang-orang yang tak sejalan dengan kita? Orang-orang yang kita pandang menyimpang karena tidak masuk dalam ukuran-ukuran itu? Lalu, untuk apa Sang Penebus datang ke dunia bila manusia sudah mengikuti ukuran-ukuran yang katanya benar itu? Untuk apa penyelamatan terjadi kalau kita semua dianggap benar dengan mengikuti hukum-hukum itu? 

Sebagai orang yang mempelajari teori-teori anti penindasan, saya mengetahui bahwa dunia ini dibentuk oleh banyak sistem yang membuat manusia saling menindas satu dengan yang lain.  Kekerasan terjadi dimana-mana dan seperti kata Guruku, cinta tertawan di dalam penjara paling gelap dalam kitab-kitab suci. Patriarki, kapitalisme, kolonialisme, feodalisme, seksisme, misoginis, dan lain sebagainya adalah beberapa sistem yang masuk ke dalam budaya yang hidup di dalam masyarakat kita. Manusia memang dilahirkan setara, tetapi tidak dibesarkan setara. Disitulah ketidakadilan bermula dan kita mati-matian berjuang mencari keadilan. Ada perbedaan kelas sosial, budaya, dan tradisi yang membuat kita tidak bisa dengan mudah menerima orang-orang yang berbeda dengan kita. Ada kesombongan atau kalau kata temanku Yu semacam "ego sektoral" yang membuat kita selalu merasa kelompok kita lebih baik dari yang lain. Ego yang juga menurun di dalam alam bawah sadar kita bahwa kita jauh lebih baik dari orang lain. 

Suatu hari seorang temanku perempuan datang bercerita bahwa ia jatuh cinta dan menjalin relasi dengan suami orang. Sebagai seseorang yang mempelajari teori feminisme, tentu saja nalarku akan cenderung menyalahkan temanku dan laki-laki itu. Tapi, apa yang bisa kulakukan sebagai temannya? Ia mencariku untuk mendapatkan dukungan. Ia butuh bercerita kepadaku untuk meluapkan apa yang ada di dalam isi hatinya yang tidak bisa ia tumpahkan kepada keluarga, saudara, atau bahkan teman-temannya yang lain. Ia bahkan tidak bisa seterbuka itu menceritakan perasaan-perasaannya pada laki-laki yang ia cintai. Temanku sadar dan tahu bahwa ia salah secara hukum, nilai, dan norma. Ia tahu ia dan pasangannnya itu berbuat tidak adil kepada sang istri. Tapi hati temanku sudah memilih. Cinta tak bisa disalahkan. Kita bisa memilih menikah dengan siapa, tetapi siapa yang bisa menolak jatuh cinta dengan siapa? Jatuh cinta pada seseorang seperti peristiwa kecelakaan, sebaik apapun kau mempersiapkan kendaraanmu, jika memang harus jatuh, maka akan jatuh. Entah itu karena kau terkena karma atau intervensi Ilahi. 

Temanku bukan datang dari keluarga berantakan. Bukan pula orang yang punya tabiat menganggu relasi orang lain. Ia manis dan baik hati. Ia suka melakukan hal-hal kecil yang membuat hati hangat. Ia peduli dan perhatian kepada teman-temannya. Mencintai suami orang bukanlah cita-citanya. Ia selalu bermimpi memiliki suami yang baik dan anak-anak yang lucu. Ketika ia terlibat hubungan dengan laki-laki itu, saya tidak punya kapasitas untuk melakukan penguatan macam apa. Mendukung dia untuk terus menjalin cinta dengan suami orang? Menemui laki-laki itu dan menyuruh dia menyelesaikan masalahnya dengan istrinya? Oh tentu tidak. Saya tidak bisa mengintervensi hubungan mereka. Yang saya bisa lakukan adalah menemani teman saya. Sepahit dan segelap apapun jalan yang ia tempuh. Tugas saya adalah memastikan dia tidak merasa sendirian menjalani apapun yang ia jalani. 

Pada titik inilah saya menyadari sekaligus mempertanyakan satu hal. Tuhan adalah Cinta sementara manusia diajarkan untuk mematuhi hukum, nilai, dan norma. Namun, mengapa Cinta bekerja dengan melawan semua hukum, nilai, dan norma yang dibuat manusia? 

You Might Also Like

0 comments