Monster Feminin

Selasa, Mei 23, 2017

foto: Ahmanet, google


Ahmanet, putri Mesir yang digadang-gadang akan menjadi Firaun selanjutnya, telah dikhianati dan karena itu ia melakukan kudeta dengan membunuh ayahnya dan memohon bala bantuan kekuatan kegelapan. Malang, Putri Firaun yang pintar, jelita, dan jago berkelahi itu tertangkap dan dihukum dengan hukuman paling berat: dimumi hidup-hidup. Ribuan tahun kemudian, ia dibangkitkan secara tak sengaja dan membalas dendam pada dunia. 

Begitulah cuplikan trailer film The Mummy (2017) franchise terbaru dari film The Mummy yang dulu diperankan oleh Brendan Fraser dan sekarang diganti dengan Tom Cruise. Saya selalu suka film-film aksi-petualangan berbau mitologi dan spiritualitas seperti itu. Bahkan saya dulu sempat bercita-cita menjadi arkeolog dan pada suatu ketika berhasil memecahkan misteri makam Tuthankamen (amboiiii…). Tapi lama kelamaan, saya jadi memikirkan nasib Putri Ahmanet ini. Begitulah ia menjadi moster feminim, seorang perempuan yang dihalangi menjadi pemimpin, disingkirkan, dan kemudian menjadi horror dengan dendam yang membara. 

***

Bukankah di kehidupan nyata kita selalu bertemu perempuan-perempuan yang di-monster-kan seperti ini. Saya jadi teringat Tante Justine (bukan nama sebenarnya), saudara jauh ibu saya. Ia Tante yang sangat penyayang dan baik pada kami. Di masa mudanya ia pernah menjadi pujaan para pemuda. Gadis Ambon-Indo yang rupawan, jago musik dan dansa. Kecintaannya pada musik tak tertandingi. Ia sangat disiplin kalau menyangkut soal itu. Jika paduan suara keluarga akan bernyanyi (biasanya dalam acara pernikahan atau pemakaman), Tante Justine akan tampil mengemuka sebagai dirigen. Telinganya setajam sonar lumba-lumba. Ia bisa mengetahui suara siapa yang fals. Tentu saja saya selalu kebagian delikan matanya. “Marieke, jangan menyanyi keras-keras ya,” begitu katanya. Lalu sepanjang 3 menit lagu itu dinyanyikan, mulut saya cuma mangap-magap lipsync, saking takutnya kalau sampai terlalu keras saya akan diceramahi Tante Justine. Selain itu, Tante Justine memang punya reputasi sebagai orang yang streng dan kalau ia jengkel ia tak segan memaki dalam bahasa Belanda. Terus terang kami, para keponakan, jadi segan padanya. 

Tetapi pada suatu hari, saya menemukan suatu cerita sedih tentangnya. Di masa mudanya Tante Justine pernah jatuh cinta pada seorang lelaki taruna angkatan laut. Di masa itu, tak mudah menjadi kekasih calon prajurit. Rindu bertumpuk-tumpuk dalam surat. Belum ada whatsapp atau line yang bisa bikin kita tiba-tiba chit-chat manja. Konon, kesabaran menjadikan cinta tak lekang oleh waktu. Maka, pasangan kekasih yang muda belia dimabuk asmara itu tahan-tahan saja menjalaninya bertahun-tahun. Jika sang lelaki liburan, mereka akan pergi dansa dansi atau pergi ke bioskop. Bercengkerama di taman kota atau sama-sama masuk gereja. Dunia menjadi indah bagi Tante Justine dan Om Angkatan Laut. 

Mereka pasangan yang diidealkan dan dikagumi. Betapa serasi. Tante Justine sangat mencintai lelaki itu dan keliatannya lelaki itu juga demikian. Mereka berencana menikah. Namun, malang tak dapat ditolak, lelaki pujaan Tante Justine membatalkan pernikahan. Selidik punya selidik, lelaki itu justru berselingkuh dengan perempuan lain yang kelak menjadi istrinya sekarang. Perempuan itu ternyata sahabat Tante Justine, yang selalu ditemaninya curhat tentang si Om Angkatan Laut. Sejak saat itu, konon Tante Justine jadi bitter dan streng. Tapi tenang saja, ia tak menjelma nenek sihir meski patah hati. Tante Justine akhirnya menikah dengan pria yang memiliki masa depan yang secerah Bintang Timur. Sudah kubilang kan, Tanteku itu wanita pujaan bangsa.  

Namun, meski waktu berjalan dan presiden Indonesia berganti-ganti, cinta Tante Justine tak kunjung padam, paling tidak apinya masih menyala sedikit-sedikit. Maka setiap kali ia mendengar lagu Hawaiian Wedding Song ia akan bersedih dan teringat mantan kekasihnya itu. Pernah dalam pesta pernikahan kakak sepupuku, lagu Hawaiian Wedding Song dinyanyikan dan meski ia berdansa dengan suaminya, matanya tampak terkenang sesuatu. 

***

Di tahun 1999, film The Mummy pertama kali ditayangkan dengan karakter Imhotep sebagai mumi-nya. Imhotep adalah pendeta kepercayaan Firaun yang jatuh cinta pada Anack Su Namun, selir kesayangan Firaun. Kisah cinta terlarang mereka, membuat Imhotep dan Anack Su Namun bersekongkol membunuh Firaun agar mereka dapat bersama. Seperti nasib Ahmanet, paspampresnya Firaun, Madjai, menangkap Imhotep dan Anack Su Namun mati bunuh diri. Imhotep dihukum dengan kutukan kejam: dimumi hidup-hidup. Ribuan tahun kemudian, makamnya tak sengaja dibuka dan mumi ini akhirnya ingin balas dendam, mengusai dunia, plus membangkitkan kekasihnya dari kematian. Yang saya salut, Imhotep harus mengalami dua kali kematian untuk bersama Anack Su Namun yang pada akhirnya mengkhianati dia. Saya jadi kasihan pada Imhotep waktu nonton The Mummy Returns (2001) saat ia melihat Anack Su Namun meninggalkannya. Patah hati, Imhotep menyerahkan nyawanya sekali lagi. 

Dua cerita mumi ini meskipun keliatannya mirip sebenarnya sangat berbeda. Perempuan “dimumikan” karena ia ingin menjadi pemimpin, tetapi Laki-Laki dimumikan karena cinta dan kekuasaan. Monster maskulin selalu menampakkan kegagahan, eskpresi sesualitas yang positif. Sementara monster feminim selalu menampakkan rasa jijik akan ekspresi seksualitas itu. Seks menjadi senjata sekaligus horror yang ditakuti. Seperti Tante Justine, orang-orang menjustifikasi sikap kerasnya karena ia pernah kecewa dan dendam di masa lalu. Orang-orang tak bersimpati pada luka dan sakitnya. Seumur hidup ia diikuti dengan kisah masa lalunya yang diungkit-ungkit dalam bisik-bisik dari mulut ke mulut. Meskipun ia berbahagia dengan kehidupannya hari ini. 

Dan ya, seperti yang dianggap normal, orang-orang tak pernah bertanya lagi tentang kabar si Om Angkatan laut.

You Might Also Like

0 comments