Bau Gosong di Kamar

Rabu, Mei 24, 2017

Ya, bau gosong.

Tercium tiba-tiba seperti dihembuskan oleh sesuatu yang tak kasat mata. Tak ada benda elektronik yang tersambung ke kontak listrik. Tak ada pula benda apapun yang terbakar di kamar. Seorang kawan yang kuceritakan perihal ini berseloroh,"Palingan orang yang lagi bakar sampah". Tetapi mana ada orang yang membakar sampah pada jam 3 subuh?. Lagipula, baunya tak akan sampai ke kamar dan bau sampah yang terbakar berbeda dengan bau gosong yang kucium ini. Ia hanya tercium sejenak lalu menguar bersama udara. 

Waktu itu, saya sedang tertidur, dan di antara sadar dan tidak sadar (kalian tahu kan fase setelah tidur dalam yang kemudian perlahan mencapai titik kesadarannya), saya mencium bau seperti setrika yang terlalu panas atau benda lainnya terbakar seperti diemprot ke hidung saya. Sontak saya langsung terjaga dan melirik ke jam dinding, tepat pukul 3 Subuh. Perasaan saya jadi tidak enak.

Saya langsung teringat cerita Eyang tentang hantu belanda di pusat bahasa UGM. Konon, setiap menjelang magrib selalu tercium bau seperti singkong terbakar. Saya segera meng-googling tentang bau gosong itu dan rata-rata artikel yang muncul bersepakat bahwa itu adalah salah satu tanda dari keberadaan makhluk astral. Jauhhhh sekali, saya pernah mendengar legenda di tanah Jawa. Makhluk itu disebut Genderuwo. Tubuhnya besar, berbulu, bertaring, dan jika ada kesempatan ia suka bercinta dengan manusia. Salah satu tandanya adalah bau gosong itu. 

Genderuwo -dalam kepercayaan rakyat- suka mengambil rupa manusia. Ada genderuwo perempuan dan ada genderuwo laki-laki. Mereka juga dikisahkan suka bersetubuh dengan manusia. Misalnya, genderuwo laki-laki akan mengambil rupa suami atau kekasih perempuan yang mereka sukai. Jika suami mereka pergi, maka Genderuwo akan menyamar sebagai suami si perempuan, menyetubuhinya, dan kelak perempuan itu hamil dan melahirkan anak genderuwo. Hal yang sama juga berlaku dengan genderuwo perempuan kepada manusia laki-laki. Ironisnya, meski hubungan itu terlarang, anak-anak hasil persilangan genderuwo-manusia seringkali menjadi entertainer untuk masyarakat kelas bawah. Kita sering menemukan mereka dalam pasar malam keliling. Mereka menjadi tontonan pelepas duka susahnya hidup. Sampai sejauh, penjelasan medis menganggap mereka yang dijuluki "Genderuwo" adalah orang-orang dengan pengidap kelainan sel kulit atau genetik lainnya.

***

Kembali pada bau gosong itu, saya masih penasaran. Jika otak adalah bagian tubuh manusia yang paling misterius, bisa saja otak saya mengkreasikan suatu halusinasi. Dasar otak manusia kelas menegah, yang tercium justru bau gosong bukannya bau parfum Channel No.5. Tetapi, jika kita menariknya dalam konteks okultisme, maka bau gosong itu adalah tanda dari suatu makhluk lain. Jika benar itu adalah bau si Genderuwo, maka sesungguhnya ia bisa saja mengambil rupa manusia dan bisa saja ia "macam-macam" dengan saya. Persoalannya, kebetulan saya belum menikah dan gebetan saya sedang berjarak jutaan tahun cahaya. Tentunya, jika ia menyamar sebagai si doi, ini akan menimbulkan suatu kegemparan. Kesimpulan, Genderuwo ternyata juga pinter dan rasional. 

Tapi, tunggu dulu. 
Bukankah kisah-kisah makhluk seperti ini antara ada dan tiada. Kita selalu mendengar dari seseorang yang juga mendengar dari seseorang tanpa mereka pernah melihat langsung. Sekalipun kita mempunyai teman yang mengaku bisa melihat hal-hal yang diluar kemampuan kita, tapi bukankah melihat juga persoalan tricky: Ia hanya melihat satu bagian dari keseluruhan sesuatu itu. Saya sendiri lebih memilih melihat  Genderuwo sebagai rekayasa, suatu horror dari hal-hal yang tak diinginkan dari masyarakat, misalnya kisah cinta beda agama, etnis, atau kelas sosial. 

Kisah "makluk-makluk" yang dianggap bukan "manusia umumnya" selalu berujung pada persetubuhan dengan "manusia yang umumnya". Masyarakat kita telah menciptakan idealitas-idealitas, bahkan untuk relasi antara manusia. Idealitas itu diterima dan dilanggengkan dengan nilai-nilai dan ukuran-ukuran. Anak perempuan Pak Pendeta tentu diharapkan tidak berkasih-kasihan dengan anak Pak Haji atau anak laki-laki kesayangan Pak Menteri tak diharapkan jatuh cinta dengan asisten muda belia yang bekerja di rumahnya. Pasangan-pasangan yang dianggap tidak ideal dan menganggu tatanan ini dianggap sebagai abjek (subjek yang menghadirkan rasa jijik dan malu sehingga ia dihinakan atau disingkirkan). Dan ia dibangkitkan dalam horror tentang Genderuwo dan istri Pak Lurah yang jelita. 

Ah, mungkin kisah Genderuwo terlalu ndeso. Kisah ini terlalu purba dan anak-anak jaman sekarang lebih suka yang kebarat-baratan. Hmm..bagaimana dengan kisah Shrek dan Princess Fiona? Beauty and The Beast? Putri dan Pangeran Kodok? 

Bagaimana kisah antara aku dan kamu?

You Might Also Like

0 comments