Suatu Malam di Kediri

Senin, Desember 02, 2013

*jam tua di stasiun (29/11/2013)*


Kereta malam yang membawa saya dari Yogyakarta tiba pukul 2 lewat 10 menit dini hari. Udara malam yang dingin langsung menyambut saya ketika turun dari kereta disusul para penumpang yang satu per satu turun dan langsung menuju gerbang keluar. Tidak banyak orang yang ke Kediri malam itu. Bahkan hanya saya dan Kak Wulan, dua perempuan yang ada di stasiun. Saya memutuskan berjalan-jalan di area tunggu kereta sedangkan Kak Wulan bertanya kepada petugas stasiun dimana kira-kira tempat untuk beristirahat yang terdekat. 

Bangunan tua stasiun terasa unik sekaligus angker. Seperti banyak kenangan yang pernah terjadi disini. Saya mengamat-amati jendela-jendala yang besar dan pintu-pintu kayu yang masih berdiri kokoh untuk ukuran bangunan tua peninggalan koloni. Semuanya masih awet dan terhitung bersih. Tak jauh dari saya memotret jam di atas, ada seorang pemuda yang diam-diam memperhatikan kami. Pemuda itu seperti ingin bertanya tetapi malu. Ia hanya berdiri di pojokan. Terlihat sedang menimbang-nimbang apakah akan keluar dari gerbang atau tetap di stasiun. Peraturan sudah jelas, kalau sudah keluar gerbang, kita tidak bisa masuk lagi. Maka lebih aman untuk menunggu di dalam stasiun sampai pagi menjelang.

Kediri, seperti layaknya kota kecil lainnya tidak memiliki transportasi umum 24 jam yang aman seperti taksi. Sedangkan perjalanan kami masih panjang, dari kota Kediri kami harus menuju Pare tepatnya dusun Tulungrejo yang memakan waktu 20-30 menit dengan mobil. Namun, dinginnya udara semakin menusuk. Saya sudah merasakan tanda-tanda akan demam: tenggorokan sakit dan mata yang terasa panas. Kak Wulan datang membawa informasi, katanya di depan stasiun ada tempat menginap entah model yang apa. Itu lebih baik daripada menunggu di stasiun dengan udara malam yang semakin menusuk.

Ketika kami berjalan keluar, pemuda itu akhirnya memberanikan diri menegur kami. Rupanya tujuan kami sama, pemuda itu ternyata ingin ke Pare. Dengan menggunakan rational choice theory, kami sepakat berangkat bersama-sama langsung menuju Pare. Rupa-rupanya di luar stasiun masih ada becak yang mau mengantar kami sampai ke pangkalan angkot yang secara ajaib masih mangkal. Angkot inipun satu-satunya yang ada disana malam itu. Biasanya hal ini sangat jarang terjadi. Kak Wulan bilang kami beruntung, saya merasa kami diberkati. 

Kadang-kadang dalam perjalanan kita bertemu dengan orang asing yang menjadi kawan seperjalanan karena memiliki tujuan yang sama. Entah apakah akan bertemu lagi atau tidak, perjalanan selalu menjadi misteri. Pemuda yang akhirnya kami ketahui bernama Fadil itu ternyata berasal dari Makassar dan ingin belajar bahasa Inggris di kampung Pare. Usianya beberapa tahun di bawahku dan anak ini tidak percaya bahwa kami sudah S2 (ternyata kami terlihat lebih muda dari usia sebenarnya, pemirsa). 

Bagi yang sudah pernah ke Kediri pasti tahu bagaimana jalan ke Pare. Selain gelap, di kiri-kanan masih banyak hutan-hutannya. Inilah yang menjadi pertimbangan bagi saya dan Kak Wulan yang awalnya ingin menunggu pagi baru berangkat kesana. Pertemuan dengan Fadil membuat kami jadi berani kesana, setidaknya ada yang "menemani" kami dan tindak kriminalitas kemungkinan kecil terjadi. Biaya pun jadi ringan karena ongkos angkot dibagi tiga.

Fadil akhirnya turun di camp tempat ia menginap sedangkan saya dan Kak Wulan menuju hotel Surya Kediri, satu-satunya hotel paling oke di Pare untuk istirahat. Paginya kami harus mengurus segala urusan yang menjadi tujuan kami kesana. Saya positif demam dan perjalanan yang seharusnya menyenangkan ini berubah jadi beban. 

Tapi saya percaya, perjalanan ini tidak berhenti disini saja. Masih ada perjalanan lain yang menunggu. Siapa yang tahu kemana angin membawamu pergi...

You Might Also Like

1 comments