Dim-Dim

Rabu, Mei 04, 2011


Lagi-lagi di sore hari dan pas sehabis hujan. Dim-Dim datang ke rumah dengan mengenakan baju berwarna biru muda. Payungnya yang berwarna kuning tampak kontras dengan bajunya. Lembut menyejukkan mata. Perumahan kelas menengah yang menjadi background terlihat kumuh di belakangnya.

" M, buka pintu dong...," ujarnya menyambutku yang baru saja bangun dari tidur siang. Aku membuka pintu dan malas-malasan mencari kunci untuk membukakan Dim-Dim pagar.

" Darimana Dim?," tanyaku

" Dari rumah, " jawabnya seraya masuk dan langsung menuju kamarku.

"Eh jeng, tamunya nggak dikasih minum?," singgungnya padaku.

" Iya, tunggu, cerewet...,"ucapku setengah mengumpat. Dim-Dim tertawa.

Di dapur aku bingung ingin berbuat apa. Butuh waktu sepersekian detik untukku mengumpulkan nyawa. Otakku lambat laun bekerja. Di kulkas ada sirup dan minuman soda, tapi rasanya tidak cocok untuk suhu dingin sehabis hujan. Lalu kuputuskan untuk membuat teh panas yang mesti kuobrak-abrik lemari untuk mencari gula. Teh untuk Dim-Dim kuseduh dalam mug bergambar hello kitty, pemberian temanku Hans sewaku ia study ke Jepang.

"Terima kasih, M,"ujarnya padaku.

"Ada perihal apa sampai kau datang ke rumah?," tanyaku.

"Jangan begitu dong, M. Tenang, kita santai-santai dulu-lah," Dim-Dim menyeruput tehnya.

Aku mulai tak sabar. Pasti ada hal penting sampai Dim-Dim datang ke rumah. Namun, tak ada tanda-tanda ia ingin mengatakan sesuatu yang penting. Kali terakhir Dim-Dim datang ke rumah adalah ketika ia nangis-nangis merutuki mantan pacarnya yang memilih menikah dengan orang lain. Ia terlihat tenang dan baik-baik saja. Tidak seperti kemarin, meraung-raung tidak jelas.

"Dim, ada apa?," aku sudah mulai tak sabar.

Bukannya menjawab pertanyaanku Dim-Dim malah mengambil majalah fashion yang ada ada di dekat kakiku. Membolak-baliknya. Kadang-kadang ia tersenyum. Manis sekali.

"Dominique, apa yang terjadi?," tanyaku lagi menyebut nama lengkapnya.

Wajah Dim-Dim terangkat. Ia menghela nafas sebelum melihat ke arahku. Membalas pandanganku.

"Aku ingin jadi biarawati M....,"ujarnya lirih hampir tak terdengar.

Aku terperangah. Detik berikutnya aku tertawa terpingkal-pingkal.

"Yang benar saja Dim. Kamu mau jadi suster? hahahaaaa....," aku tak bisa menahan tawaku.

Dim-Dim tidak tertawa. Ia menatapku lurus-lurus. Dominique Bernadette, sahabatku, perempuan ateis satu ini tiba-tiba percaya pada Tuhan dan ingin menjadi pelayannya? Apa ini salah satu tanda-tanda akhir zaman?

"Jangan bercanda, Dim. Lihat Gereja dari jauh saja kau sudah buang muka sekarang malah ingin tinggal di dalamnya?," aku melanjutkan tawaku.

"Aku serius M. Aku ingin masuk biara...,"ujarnya lagi. Tampaknya ia sedang serius. Ini ekspresi langka yang baru saja aku lihat lagi dari Dim-Dim. Ekspresi ia sedang serius. Ada tiga kejadian yang membuatku melihat ekspresi ini. Pertama, waktu ia memberi tahu bahwa ayahnya meninggal dunia. Kedua, waktu ia bilang ia tak percaya lagi pada Tuhan. Ketiga, adalah saat ini. Ia bilang ingin menjadi biarawati.

Aku berhenti tertawa. Mencoba mengatur posisi dudukku dan berdehem sekali lagi.

"Ini bukan karena kamu patah hati kan? Bukan karena kamu ditinggal kawin atau putus asa dalam dunia percintaan?," tanyaku memastikan.

"Tidak M. Aku tidak sedang patah hati. Justru sebaliknya. Aku sedang jatuh cinta. Ia mengubah hidupku. Ia menyentuh hatiku, M," seperti ada cahaya yang terpancar dari wajah Dim-Dim ketika ia mengatakannya.

Aku termenung. Dim-Dim tipikal perempuan yang sulit jatuh cinta. Sekali jatuh cinta akan selamanya ia mencinta.

"Oya?, kau jatuh cinta pada siapa?," tanyaku penasaran.

Dim-Dim tersenyum. ia mengarahkan telunjuknya menuju gambar yang terpampang di dinding kamarku. Gambar yang setiap malam sebelum tidur akan aku pandangi sambil bertelut.

Tiba-tiba aku merasa seperti berhadapan dengan Sang Bunda.





*iseng-iseng bikin cerpen sambil lihat bentor-bentor depan rumah yang lagi putar lagu melayu band Malaysia.

You Might Also Like

0 comments