Bukan Tentang Riri Riza

Sabtu, Februari 19, 2011

Akibat terhasut bujuk rayu dua sohib saya, Alvidha dan Widy, saya pun akhirnya ke Graha Pena pagi ini untuk mengikuti pemutaran film dan diskusi bersama Riri Riza. Tak lupa juga tiga kawan baik saya, Gina, Titah, dan Joem yang juga sama-sama menghadirinya. Acara ini sebenarnya salah satu dari rangkaian kegiatan untuk mensosialisasikan Rumahta' sebuah rumah budaya yang digagas oleh Riri Riza dan penulis Lily Yulianti Farid bersama sejumlah pelaku dan pemerhati seni budaya di Makassar. Tapi, saya tidak akan membahas kegiatan ini lebih jauh ( apa guna kerja para wartawan itu ? ). Bukan juga mengenai Riri Riza-nya, seorang sineas andal milik Indonesia
yang film-filmnya sudah saya tonton sedari kecil. Lalu apa Meike ? Apa yang ingin kau tulis ?


Apresiasi.
Ini bukan tentang Riri Riza saja, tapi menyangkut semua orang yang karyanya kita apresiasi. Beginikah rasanya bertemu dengan orang yang dari tangannya lahir film-film hebat itu ? Beginikah rasanya bertemu dengan seorang penulis yang tulisannya selalu kita baca setiap hari ? Beginikah rasanya bertemu dengan pelukis yang lukisannya kita pajang di rumah ? Beginikah rasanya bertemu dengan fotografer professional yang selalu kita idamkan untuk memotret kita saat pre-wedding ? Beginikah rasanya bertemu dengan seorang desainer grafis yang desainnya kita kenakan di baju kaos ? Beginikah rasanya MENGHARGAI karya orang lain dan bertemu dengan si PEMBUAT KARYA ? Beginikah rasanya ???

Suatu kebanggaan sekaligus kebahagiaan tersendiri apabila ada orang yang mengapresiasi karya yang kita buat. Saya yakin orang sekaliber Riri Riza atau James Cameron pun jika kita apresiasi karyanya pasti akan bangga plus terharu. Pujian pun terasa lebih bermakna ketimbang materi yang dihasilkan walaupun materi juga penting namun tidak selamanya ia berada di posisi penting itu. Kita harus menghargai karya yang dibuat orang lain sebelum mencelanya. Bagaimanapun , suatu karya tidak lahir begitu saja. Banyak proses yang mengiringinya. Mungkin saja dalam proses itu ada airmata dan tawa yang harus kita perhitungkan sebelum mencelanya. Apresiasi bukan berarti juga harus menjilat. Apresiasi bukan berarti harus berpura-pura. Apresiasi adalah kejujuran akan karya yang kita terima. Celaan yang bisa saja lahir dari karya itu adalah kebenaran yang membangun bukan hanya sekedar menjatuhkan atau dengki semata. Seperti jawaban yang saya dapatkan dari Riri Riza saat ia menjawab pertanyaan yang saya tujukan padanya. "Terlalu banyak wahana kritik yang dibuat oleh orang-orang sampai mereka lupa bagaimana mengapresiasi karya-karya itu. "
Kita pun yang berperan sebagai si PENGAPRESIASI KARYA sama bangga dan bahagianya dengan si PEMBUAT KARYA. Karya-karya yang mereka buat mampu masuk hingga ke dalam relung hati kita, menyapa hati kita, bahkan mampu menyelamatkan kita sendiri. Kita sebagai si PENGAPRESIASI KARYA tak mampu menahan kekaguman itu manakala si PEMBUAT KARYA hanya berjarak 1 meter saja dari tempat kita berpijak.

Di acara ini, saya dan para pengunjung yang datang disuguhkan dengan dua film karya Riri Riza yaitu Eliana Eliana dan Drupadi. Di antara kalian yang membaca tulisan ini mungkin ada yang sudah menonton film Eliana, Eliana yang diperankan oleh Rachel Maryam dan Jajang C. Noer. Namun, untuk film Drupadi ? Apakah ada yang sudah menonton ?. Karena saya pun baru mengetahui film ini ketika iseng-iseng membuka blog milik Dian Sastrowardoyo dan mungkin saja film yang diproduksi tahun 2008 ini tidak ditayangkan di bioskop, setidaknya bioskop di Makassar.

Film Drupadi adalah alasan saya untuk bertahan di Graha Pena hari ini. Sudah lama kerinduan saya untuk menonton film yang mengangkat kisah Drupadi, istri dari kelima Pandawa ( dalam Mahabrata versi India ). Drupadi adalah tokoh perempuan dalam epik ini yang saya kagumi. Perempuan tangguh yang mengguggat keadilan manakala ia dijadikan taruhan oleh salah seorang suaminya, Yudhistira. Setelah menonton filmnya, saya mengancungi jempol bagi Riri Riza yang berhasil memvisualisasikan sepenggal kisah Mahabrata ini dengan sangat indah.

Dalam sesi tanya jawab dengan Riri Riza saya pun juga menyampaikan impian saya agar Riri Riza bisa membuat film tentang La Galigo, epos yang berasal dari Sulawesi Selatan. Semoga pria keturunan Gowa-Enrekang ini bisa merealisasikannya. Ternyata ia juga memiliki mimpi yang sama : ingin membuat film tentang La Galigo atau film yang menggunakan bahasa dari ibunya.



Berikut dokumentasi hari ini :



Riri Riza dan Lily Yulianti Farid


Riri Riza dan Aan Mansyur yang menjadi moderator dalam diskusi ini


Saya yang sedang mengajukan pertanyaan kepada Riri Riza


Ki-Ka : Titah, Widy, Riri Riza, dan Saya

You Might Also Like

4 comments