Tentang Perempuan Berkerudung...

Kamis, Mei 20, 2010


Umurku masih 7 tahun ketika aku menyukai sosok perempuan berkerudung itu. Gayanya yang luwes, suaranya yang merdu, serta kepandaiannya menghidupkan suasana. Dialah Suster Elizabeth. Beliau adalah biarawati pertama yang aku kenal. Biarawati yang mengajari kami agama Katholik. Biarawati yang mendamaikan aku ketika berkelahi dengan Maria Regina dan Mirachel Jean waktu SD. Beliau adalah biarawati pertama yang menjadi idolaku.

Aku tidak pernah melupakan cara beliau dalam mengajarkan agama pada kami. Ia mengajarkan kami dengan gayanya yang khas. Kadang ia menirukan tokoh-tokoh dalam Alkitab. Kadang pula ia bersikap serius . Suster Elizabeth yang mengajak dan mengajarkanku untuk tampil di depan umum membacakan kitab suci setiap misa Jumat pagi. Beliau yang mendorongku untuk tampil walau aku terus menolak karena aku bukan Khatolik. Beliau tidak memusingkan hal itu. Sepertinya Suster Elizabeth punya feeling akan jadi apa anak ini nanti. Mungkin ia akan jadi pembicara ulung karena buktinya sekarang aku masuk jurusan komunikasi ( apa hubungannya?.) Selang beberapa waktu kemudian Suster Elizabeth harus meninggalkan kami. Beliau diutus oleh Tarekat untuk mengabdi di tempat lain. Kami, anak-anak yang menyukai Suster merasa sangat kehilangan. Beliau memberikan kenangan indah bagi kami.

Bayangan Suster biarawati yang kejam mulai menggantikan bayangan Suster biarawati yang baik hati. Hal itu berubah ketika sang suster berganti wujud. Lebih tegas, lebih keras, dan tanpa senyum manisnya. Suster Vinsensia. Beliau adalah kepala sekolahku di SLTP. Wajahnya sebenarnya cantik. Tapi beliau tidak pernah senyum. Aku masih ingat ketika beliau mendapati kami sekelas ribut sewaktu tidak ada guru yang mengajar. Beliau memukul bokong kami dengan jangka kayu era zaman belanda, tak peduli laki-laki atau perempuan. Alhasil selama 3 hari, kami sekelas tidak pernah berjalan lurus dan duduk selalu serong ke arah kanan.

Belakangan aku malah menyukai suster ini karena di akhir masa SLTP-ku aku malah akrab dengan beliau. Aku masih ingat ketika suatu ketika aku duduk menghadap beliau dan ia menanyakan hal ini padaku :


“ Meike mau kuliah di mana nanti?”
“Saya mau kuliah di jurusan Komunikasi Suster, mungkin di Unhas..”
“Wah, Meike mau jadi wartawan ya?”
“Saya mau jadi jurnalis Suster. Mau kerja di Cosmopolitan…”
“Wah, bagus itu. Kamu sudah tahu apa yang kamu tahu. Kebanyakan anak-anak seusiamu belum memikirkan hal seperti itu. Kamu harus meraih cita-citamu ya. Buat orang tuamu bangga. Terlebih lagi pakai hidupmu buat memuji dan melayani Tuhan…”
“Hehehe….makasih suster. Doakan saya ya suster..”
“Suster selalu mendoakan."



Tiga bulan kemudian, aku lulus dari SLTP dan melanjutkan ke SMU. Disana aku bertemu dengan kepala sekolah yang baru. Suster ini juga tidak kalah cantik. Dibanding Suster Vinsensia, dia jauh lebih murah senyum. Malah kadang beliau suka senyum-senyum sendiri. Wajahnya menampakkan sinar keibuan. Orang tua murid yang melihatnya pasti punya anggapan yang sama “ Sustermu baik di’…”

Tapi itu kesan pertama.
Selanjutnya Suster Leony a.k.a SuLe telah menjadi momok dalam kehidupan 3 tahun SMA-ku. Bukan cuma aku saja tapi semua siswa yang merasakan rezim-nya.
Margaret Thacher dalam wujud biarawati. Sumpah! Memerintah dengan tangan besi. Mengubah indahnya kehidupan SMA seperti di penjara. Tapi, itu bukan point pentingnya. Mungkin itu adalah cerita lucu yang nanti akan aku kenang. Tentang bagaimana aku dan teman-temanku selalu melanggar peraturan dan most wanted student kalau ada pemeriksaan baju. Bukan itu intinya. Berkat Sule, kami menjadi orang-orang yang tangguh. Kami dididik kuat secara mental. Itu adalah bekal indah yang diberikan Sule bagi kami.



“…Perempuan-perempuan ini dengan sukarela menanggalkan kehidupan mereka yang mapan, menyangkal dirinya, dan menjadi papah untuk melayani sesama manusia demi cintanya kepada Kristus…”




Dedicated to Sr. Elizabeth, JMJ, Sr. Vinsensia Siunta, JMJ, dan Sr. Leony Taroreh, JMJ

You Might Also Like

0 comments