Orbituari: Wulan Zaty Sari

Selasa, Juni 27, 2017

*Kak Wulan dan saya (2013)


Dia pernah bernama Wulan Zaty Sari. Teman-temannya memanggilnya Wulan atau Uland. Karena dia lebih tua tiga tahun dari saya, maka saya memanggilnya Kak Wulan atau Kakak Uland. Berita kematiannya kuterima dengan rasa tak percaya. Di hari kedua Lebaran, tiga hari setelah ulang tahunnya yang ke-29 tahun, Kak Wulan menghembuskan nafas terakhir setelah menderita melawan kanker payudara. Ia tak pernah bercerita mengidap penyakit yang mematikan ini pada teman-temannya. Penyebab kematiannya ini membuat kami menjadi shock karena ia tak pernah menampakkan tentang sakitnya. Setidaknya bagi kami yang tinggal berjauhan dengannya, ia selalu tampak baik-baik saja. Kepergiannya menjadi rahasia, namun kebaikan hatinya menguar mencabik-cabik rahasia itu.

***

Pertemuanku dengan Kak Wulan bermula ketika kami sama-sama kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin. Ia adalah seniorku dan merupakan bagian dari satu keluarga besar KOSMIK (Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi, suatu himpunan mahasiswa jurusan di Unhas). Selama kuliah di Unhas, hubungan kami terbilang baik meskipun tidak juga dibilang akrab atau dekat. Tak banyak cerita yang kuketahui tentangnya di masa-masa kuliah di Unhas. Dalam ingatanku, selalu ada yang menarik dari perempuan ini. Tubuhnya kecil, tetapi suaranya besar. Ia punya tawa yang khas dan senyum yang manis memikat. Ia suka naik gunung, membaca buku-buku cultural studies, dan seorang Milanisti sejati. Hanya itu yang kuketahui. 

Namun, Tuhan telah mempertemukan kami dalam suatu simpul hidup yang unik dan singkat. Kak Wulan lebih dulu lulus kuliah dan bersama teman-temannya membuka usaha travel untuk kampung bahasa di Pare, Kediri. Tahun 2013, saya lulus kuliah dan langsung melanjutkan studi S2 di Ilmu Komunikasi, UGM. Sebelum berangkat, beberapa senior KOSMIK mengabarkan jika Kak Wulan juga sedang mengambil S2 disana. Tapi berita itu muncul sebagai sekilas info. Ketika saya sudah pindah ke Jogja dan ngekos dengan Kak Piyo, salah seorang senior KOSMIK juga, Kak Wulan tiba-tiba menelpon saya. Ia mengabarkan bahwa ia masuk di angkatan yang sama dengan saya dan meminta informasi tentang penerimaan mahasiswa baru. Saya gembira luar biasa karena akhirnya saya mendapatkan teman seperjalanan. Saya tidak sendirian. Kami tidak sendirian. 

Telepon itu adalah awal kedekatan kami, bukan saja sebagai senior-junior di KOSMIK atau teman seangkatan di Pasca UGM, tetapi menjadi teman sesama rantau dan terlebih lagi saudara. Kami sama-sama anak tunggal. Hidup merantau pertama kali sungguhlah berat bagi saya. Apalagi menjalani kuliah dengan sistem yang berbeda dengan sebelumnya. Lingkungan dan budaya yang jauh berbeda dengan di Makassar bukanlah perkara mudah. Proses adaptasi bukanlah sesuatu yang diubah dalam semalam. Namun, bersama Kak Wulan-lah perjalanan menempuh semester awal di UGM menjadi lebih ringan. Ia mendorong saya untuk berani dan mandiri. Saya mempercayai dia adalah penolong yang dikirim Tuhan. 

Masih kuingat ketika kami sama-sama baru pindah ke Jogja. Baik saya maupun Kak Wulan tidak punya kendaraan dan tidak bisa naik kendaraan bermotor. Maka, transportasi umum adalah kawan karib kami. Dulu ia pernah menemani saya malam-malam mencari Toko buku Kanisius di Kotabaru dengan menggunakan Trans Jogja. Tetapi, dasar orang baru kami malah naik Trans Jogja jurusan menuju Janti. Bagi yang tidak tinggal di Jogja, Kotabaru dan Janti adalah dua wilayah yang berlawanan arah. Padahal sebenarnya jarak Kotabaru dan tempat tinggal kami cukup dekat. Kak Wulan dulu ngekos di daerah Sendowo sementara saya di Jalan Kaliurang Km 4,5. Setelah cukup lama tinggal di Jogja, kami sering menertawai kejadian itu.

***

Selama kuliah di UGM, kami menempuh konsentrasi studi yang berbeda. Meski sama-sama satu jurusan, Kak Wulan mengambil konsentrasi Manajemen Komunikasi (MK) sementara saya mengambil Ilmu Komunikasi dan Media (IKM). Jam kuliah kami berbeda dan meskipun ada mata kuliah umum, kelas kami tidak selalu bertemu. Ada satu kuliah yang kebetulan kami sama-sama sekelas, yaitu Metodologi Penelitian Kuantitatif. Demi Tuhan, itu mata kuliah yang paling susah nyangkut di otak saya karena banyak menghitungnya. Kak Wulan juga sama. Namun, disitulah saya melihat semangat dan kegigihannya. Jika ada sesuatu yang ia belum temukan jawabannya, ia akan mencarinya sampai dapat. Di saat saya sudah menyerah, ia selalu membawa harapan, “Tunggu dulu dek nah, kupelajari ki dulu,” begitu ia berkata lalu setelah itu mengajak untuk belajar bersama.

Suatu ketika, di tengah-tengah semester awal yang berjalan, Kak Wulan memberitahuku tentang kesempatan menjadi PNS di BNN (Badan Narkotika Nasional). Ia menghadapi dilema harus memilih antara melanjutkan kuliahnya dan bekerja dengan ritme perjalanan seperti yang ditetapkan bagian penyuluh di BNN. Sesungguhnya ia tampak tak bahagia kuliah disana meskipun nama besar almamater membawa kebanggaan. Ia merasa telah salah masuk konsentrasi yang ternyata sama sekali di luar ekspektasinya. Manajemen Komunikasi lebih dekat dengan sistem public relations sementara passion-nya adalah cultural studies sehingga harusnya ia mengambil Kajian Budaya Media atau paling tidak masuk di konsentrasi yang sama dengan saya. Tapi yang paling membuatnya tidak betah adalah kultur individualisme dan persaingan di kampus. Meski ia perempuan yang periang dan supel, teman dekatnya di konsentrasi itu hanya beberapa. Walaupun demikian, Kak Wulan telah menanamkan rasa aman dan nyaman, suatu ikatan yang membuat teman-teman dekatnya merasa sayang padanya. Ketika akhirnya ia memilih BNN, kami merasa ditinggalkan, kehilangan, namun juga ikut berbahagia atas berkat yang ia dapatkan.

Kami tahu ia memiliki pertimbangannya sendiri. Dalam proses penerimaan BNN, ia selalu bercerita tentang proses yang ia hadapi. Walaupun demikian, Kak Wulan telah memperlihatkan sisi kesetiakawanan dan tanggung jawabnya sebagai “kakak dan teman”. Meski sudah diterima di BNN dan harus segera pindah untuk melakukan prajab, ia tetap menemani kami hingga semester awal berakhir. Kak Wulan membantu kami mengerjakan tugas akhir kuliah sebagai hadiah perpisahan. Disitulah saya melihat Kak Wulan sebagai perekat di antara kelompok kecil kami (saya, Ayu, Mbak Novi, juga teman-teman yang lain seperti Nissa, Feby, Zian, Mas Febri, Lina, dan Mbak Eka). Setelah ia pindah, kami mulai tercerai-berai. Jadwal kuliah yang berbeda dan kesibukan menulis tesis membuat kami terfokus pada diri sendiri.



Foto terakhir kami sebagai gang (saya, Kak Wulan, Ayu, dan Mbak Novi) sebelum Kak Wulan pindah dari Jogja dan Mbak Novi menikah (2013).


Jogja akan selalu menjadi kota kenangan untuk kami. Disinilah kami berbagi suka duka sebagai perempuan dan perantau. Kami paling sering menertawakan ironi. Mulai dari kusamnya warna kulit gegara bergaul dengan panas matahari, tentang mantan pacar yang berselingkuh dan minta balikan lagi, tentang teman yang berkhianat, tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, tentang keinginan mengunjungi kota-kota di luar negeri, dan tentang cita-cita melanjutkan pendidikan. Ya, Kak Wulan selalu ingin melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. Bahkan ketika ia sudah menjadi PNS pun, melalui telepon, ia menyampaikan cita-citanya untuk sekolah lagi. Tak tanggung-tanggung ia ingin mengejar pendidikan ke luar negeri. 

Di masa perantauan ini, saya mulai mengenal sisi pribadinya yang lain. Pribadi yang berbeda dengan yang saya kenal dulu sewaktu masih sebagai juniornya di Unhas. Ternyata kami adalah teman diskusi yang sinkron (begitu katanya). Satu hal yang sungguh tak terduga, ia ternyata penyuka lagu-lagu lama. Sama seperti saya, Kak Wulan juga mudah terkena radang tenggorokan. Hingga suatu kali, saya bercanda bahwa kita berdua seharusnya menikah dengan dokter THT supaya berobat gratis. Dia tertawa renyah. Di mataku, Kak Wulan adalah pribadi yang humoris sekaligus memiliki prinsip dan kemauan yang keras. Ia termasuk orang yang overthinking sekaligus juga memiliki pertimbangan yang logis. Selain itu, Kak Wulan adalah orang yang bertanggung jawab dan ia selalu mendahulukan orang lain dibandingkan dirinya. Ia selalu memberikan yang terbaik untuk orang lain. Misalnya, dalam perjalanan kami ke Kediri (sepenggal ceritanya bisa dibaca disini), ia bertindak sebagai kakak yang menjaga. Waktu itu tiba-tiba saya sakit dan Kak Wulan harus merawat saya sekaligus mengurusi keperluannya disana. Dengan badannya yang kecil, ia melakukan semuanya dengan baik. Ia juga tidak pelit dan selalu bertanya mau dibawakan oleh-oleh apa ketika bepergian. Kebaikannya selalu terasa tulus. 

Setelah Kak Wulan pindah Ke Palu di awal tahun 2014, kami mulai jarang kontak-kontakan lagi. Ia mulai sibuk bekerja sementara saya berjuang menyelesaikan kuliah. Ia selalu berkata akan berkunjung ke Jogja lagi untuk bertemu dengan Ayu, Mbak Novi, dan Eyang. Tak kukira bahwa kunjungan kami ke Museum Affandi sebelum ia pindah keesokan harinya adalah pertemuan kami yang terakhir. Di tempat itu, ia mengajarkan saya cara menepuk nyamuk dengan benar hehhee.

***

Waktu berlalu, kami mengejar mimpi masing-masing di jalan berbeda. Sekalipun demikian, kami masih berkontak via medsoc. Setiap lebaran dan ulang tahun kami saling mengucapkan. Hingga terakhir terjadi tahun lalu. Kami masih bertukar info tentang film-film Asia yang berkisah tentang cinta tak kesampaian atau yang tak selesai. Saya benar-benar tidak tahu bahwa di masa itu mungkin saja ia sudah sakit. Suatu kali saya memosting satu twit, “Cinta Buta itu adalah ketika aku lupa aku ini “siapa” dan dia itu “siapa”, lalu Kak Wulan me-reply “Asal kamu jangan lupain aku ya Meikkk”. Itu terjadi sekitar April tahun lalu. Satu hal yang saya sesali, saya tak sempat memberikan penghormatan terakhir. Bahkan tahun ini saya lupa mengucapkan selamat ulang tahun dan Lebaran seperti sebelumnya. Kepergiannya terasa mendadak dalam ketidaktahuan. 

Dari cerita sahabat-sahabatnya (Kak Era, Kak Anita, dan Kak Riana), saya mengetahui bahwa Kak Wulan baru bercerita tentang penyakitnya Januari tahun ini, waktu itu sudah stadium 2. Maret tahun ini, sel kanker sudah menyebar ke paru-parunya, itu artinya sudah memasuki stadium 4. Kak Wulan kemudian memutuskan cuti dan dirawat oleh keluarganya di Barru. Dari selentingan kabar, saya mendengar ia menolak di-treatment. Akhir Juni, Kak Wulan meninggal di pelukan ibunya dengan membawa setumpuk cita-cita dan impiannya. 


 *** 


Tahun 2013, dalam perjalanan naik kereta malam menuju Kediri,

“Meik, harus ko dengar ini lagu dek” 
“Lagu apa kak?” 
“Lagu Kereta Malam. Lagu lama mi. Bagus ki lagunya. Lagunya Franky dan Jane” 
“Buseeettt…jadulnya kak..hahhahaa.” 

Kak Wulan mengambil hapenya dan memasangkan earphone ke telinga saya. Mengalunlah suara Jane Sahilatua, adik Franky Sahilatua. 

 “Duh Kak…Liriknya sedih, tapi musiknya kayak panggil arwah.” 
“Ihh…tapi lagunya bagus…” 

Sayup-sayup Kak Wulan ikut menyanyikan lagu itu… 

Dengan kereta malam 
Ku pulang sendiri 
Mengikuti rasa rindu 
Pada kampung halamanku 
Pada Ayah yang menunggu 
Pada Ibu yang mengasihiku 

Duduk dihadapanku seorang ibu 
Dengan wajah sendu kelabu 
Penuh rasa haru ia menatapku 
Penuh rasa haru ia menatapku 
Seakan ingin memeluk diriku 
Ia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada 
Karena sakit dan tak terobati 
Yang wajahnya mirip denganku 


Selamat Jalan Kak Wulan. Kau akan selalu dirindukan. 

You Might Also Like

6 comments

  1. Saya turut kehilangan mantan mahasiswa saya di kelas. saya sempat bertemu Wulan di kelas pengantar statistik sosial ketika masih menjadi asdos di jurusan Sosiologi. Seperti teman2 kosmik lainnya yang kritis dan aktif di kelas, Wulan selalu menampakkan wajah cerianya dan kecerdasannya (rata-rata mahasiswa kosmik begitu). Wulan seperti namanya, selalu menjadi terang. Semoga Allah memberi tempat terbaik untuknya. Alfatihah.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Kak Patta....Kak Wulan telah menyentuh hati kita dengan caranya sendiri. Kita akan merindukannya.

    BalasHapus
  3. sedih saat membacanya. saya yakin dia sedang bahagia di sana.

    BalasHapus