Suami Dari Masa Depan

Minggu, Maret 12, 2017

Tadi malam secara tidak sengaja saya menemukan film webseries berjudul Sore: Istri Dari Masa Depan. Ceritanya tentang seorang laki-laki bernama Jonathan yang tiba-tiba didatangi seorang perempuan bernama Sore yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan. Sutradaranya ternyata kakak kelas saya dulu waktu SMA, Yandy Laurens. Saya tidak tahu apakah Yandy masih ingat pada saya atau tidak, tapi dia adalah orang yang mengurut kaki saya yang engkel gegara lompat dari lantai 2 sekolah (serius loh!). Waktu itu ada acara Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) di sekolah dan salah satu outbond-nya adalah melompat dari lantai dua. Dibawah sudah bertumpuk-tumpuk matras dan ada tali tambang yang kuat untuk menopang badan (ini tujuannya untuk mengurangi resiko cedera). Saat itu banyak anak yang ingin membuktikan diri sebagai Superman, apalagi kalau dia cewek, termasuk saya. Kalau pakai tali kan lama, nah saya langsung saja lompat (dan saya bukan satu-satunya). Untung kaki kiri saya tidak patah meskipun waktu itu rasanya seperti berjalan dengan daging tanpa tulang. Yandy sebagai wakil ketua Osis (dia kelas 3 waktu itu, saya masih kelas 1), panitia, dan anak basket segera berinisiatif memberikan pertolongan pertama: diurut. Waktu itu -diantara sakit dan ngilu-, saya kok bisa-bisanya berkhayal berada dalam film romantis. Karena yang kakinya engkel banyak, kemungkinan Yandy mengurut banyak anak juga. Hari ini, Yandy menjadi salah satu sutradara yang pernah meraih piala Citra dan kaki kiri saya sampai sekarang kayak mesin yang sekrupnya longgar. 

Anyway, ide cerita film itu kok seperti yang pernah saya impikan. Terbukti karena saya sudah menebak ending filmnya. Mungkin inilah kata Jung tentang memori kolektif, mungkin sungguh pikiran manusia saling terhubung. Saya pernah berkhayal bagaimana kira-kira kalau suatu hari nanti, di tengah situasi perasaan saya yang mendung, muncul seorang laki-laki yang mengaku sebagai suami saya dari masa depan. Saya sih waktu itu belum punya figur yang seperti apa. Masih tertutup kabut. Tetapi karena menonton film Sore tadi malam dan karena saat ini saya lagi menelisik karakter-nya Duff McKagan, maka figur "suami masa depan" saya itu ya seperti Duff, tapi Duff versi tahun 1988-1992. 

Saya membayangkan pulang kantor, tiba-tiba ada cowok setinggi 6 kaki, berambut pirang gondrong, memakai kaos Ramones, dan celana hitam ketat plus boots menunggu saya di beranda. Dia akan menyapa saya dengan senyumnya yang seperti ditahan-tahan itu. Agak malu-malu, tapi hangat dan menyayangi. Sepertinya saya akan langsung pingsan. Begitu sadar, daku sudah berada di pangkuan doski yang langsung berujar, "Are you okay, honey?". Oh oh oh, aku pingsan lagi. 

Sejujurnya saya belum tahu apa yang akan saya lakukan kalau bertemu suami masa depan saya, apalagi kalau figurnya kayak Duff. Mungkin lazimnya, saya akan minta dia bercerita bagaimana kita bertemu. Apa yang membuat dia jatuh cinta pada saya. Mengapa dia mau menikah dengan saya. Mungkin saya mau minta diajarin main bass, gitar, dan drum juga, siapa tahu kita bisa membentuk band rock 'n roll baru. Mungkin kita akan diskusi tentang filsafat dan agama. Mungkin kita akan membahas perkembangan musik dunia lengkap dengan sejarahnya. Mungkin saya akan minta diajak main ke kampung halamannya di Seattle. Mungkin kita akan nonton konser band punk. Mungkin dia akan menyanyikan lagu You Can't Put Your Arms Around a Memory dan saya akan menari-nari di sekitarnya. Mungkin kita akan berciuman.

Mungkin saya akan bilang padanya, "Saya tidak sabar untuk bertemu denganmu."
Dan dia akan membalasnya," Terima kasih sudah menunggu."




You Might Also Like

0 comments