Rumah

Kamis, Maret 30, 2017

dok: pribadi


Suara kapten pilot dalam bahasa Belanda dan Inggris secara bergantian terdengar menyampaikan situasi sebelum pendaratan. Saat itu pukul setengah 8 pagi waktu Amsterdam. Hujan turun dan langit mendung. Suasananya terasa sendu namun mendebarkan. Marieke merapatkan coat-nya. Ia memandang lanskap kota Amsterdam dengan penuh takjub dari jendela pesawat. Ia bergetar. Airmatanya menetes. Jiwa negeri yang asing ini seperti menyambutnya. Marieke tidak mengira bahwa di negeri yang jauh ini, ia terikat dengan manusia-manusia lainnya yang tinggal dan berasal darisana. Darahnya dan sel-selnya bertalian dengan mereka meskipun waktu dan jarak perlahan mengaburkan ikatan di antara mereka. Sejak kecil, Marieke sudah merasa seperti barang imitasi. Ia tak pernah bisa menjadi sesuatu yang murni. Ia selalu kesulitan menjelaskan pada orang-orang yang bertanya tentang asalnya. Segala identitas etnis yang melekat padanya tidak cukup kuat menjelaskan keberagaman dalam dirinya. Dan seperti keluarga peranakan lainnya, sejak kecil Marieke sudah paham bahwa takdir terkadang memang kejam. Mereka selalu dianggap orang asing, baik di negeri ini maupun di negeri yang ia pakai paspornya. 

Marieke teringat Opanya. Hidup sebagai peranakan tanpa mengetahui asal-usul dan negeri ini. Kehidupannya keras dan ia seorang diri membesarkan dirinya. Opa mati muda tanpa sempat melihat anak-anaknya tumbuh dewasa. Marieke juga ingat cerita tentang nenek buyutnya. Katanya, ia perempuan yang punya banyak suami. Anak-anaknya berbeda-beda ayah. Seorang Belanda, Seorang Tionghoa, dan Seorang Maluku. Yang terakhir konon dinikahinya resmi. Ia disumpah tak boleh menginjak rumah oleh orang tuanya, keluarga terpandang di negeri penuh rempah-rempah. Perempuan itu hidup dalam pengasingan. Penuh kutukan. Anak-anaknya mati muda dan tercerai-berai tak saling kenal. Namun, bisik-bisik juga mengatakan bahwa ia perempuan yang lincah dan cerdas. Maka bisa jadi, ia hanyalah korban dari sistem patriarki. 

Ingatan Marieke berlalu kepada Maminya. Maminya yang luar biasa. Mami Marieke seharusnya berada di negeri ini. Tawaran itu datang dari saudara sepupu Opa yang ikut repatriasi. Saudara Opa itulah yang masih sering berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia sampai Marieke lahir. Kalung manik-manik hitam pemberiannya diwariskan oleh Mami kepada Marieke. Namun, Mami tidak jadi mengambil tawaran itu. Andai Mami mengambil tawaran itu, Marieke tidak akan pernah lahir ke dunia. Mami akan menjadi salah satu dari turunan Indo berkewarganegaraan Belanda. Ia mungkin akan menjadi Oprah Winfrey versi Belanda. Tapi takdir memilih sebaliknya, Marieke hadir di dunia dan Mami menjadi seorang ambtenaar

Pramugari keturunan Indo-Maluku kembali menawarkan minuman. Marieke menggeleng. Pria Belanda yang duduk di sampingnya tersenyum padanya. Ia tampan persis seperti model-model Calvin Klein. Sepanjang malam, para pramugari mendatanginya untuk menanyakan apa saja yang ia perlukan. Di jari manisnya terdapat cincin dengan simbol seperti keluarga bangsawan di film-film barat. Mungkinkah ia salah satu pangeran Belanda? Tapi kok dia mau duduk di kelas ekonomi? Marieke membalas senyumnya meskipun sambil mikir. Ia tidak yakin senyumnya menawan pagi itu. Ia juga belum sikat gigi. Pesawat perlahan terbang merendah. Marieke kini melihat dengan jelas bangunan khas Eropa. Bangunan-bangunan yang di negaranya disebut colonial atau indische. Marieke hampir terpekik ketika melihat kincir angin. Ahhh, meskipun modelnya sudah modern, ia pernah melihat model itu dalam salah satu tayangan di televisi. Hujan berhenti meskipun langit masih mendung.  Ia merasa kembali ke rumah. Rumah yang belum dikenalinya dengan akrab. Pesawat mendarat dengan sukses. 

Marieke mengucap syukur dalam hati. Ini baru permulaan.



P.S.: postingan ini terinspirasi dari novel berjudul Moemie karya Marion Bloem yang bercerita tentang keluarga Indo di Indonesia. 

You Might Also Like

0 comments