2017

Rabu, Januari 04, 2017

photo: tumblr


Januari masih dingin oleh resah dan gelisah. Masih ada 361 hari yang akan dilalui. Masih ada waktu yang tak terbatas untuk mendefiniskan peristiwa. Masih ada kejutan dan misteri yang harus dihadapi. Walaupun demikian, harapan masih menyala-nyala. Dan meskipun ketakutan yang rasional tak bisa dihindari, Tuhan selalu memegang tanganmu erat. 

2016 berlalu dengan banyak peristiwa mengejutkan. Mulai dengan drama tentang cita-cita dan kemandirian secara ekonomi, masuk dalam dunia akademik, hingga pertemuan dengan orang-orang luar biasa yang menjadi teman-teman baru. Selain itu, saya sangat bersyukur bahwa akhirnya saya berhasil memenuhi keinginan saya untuk mengunjungi tanah leluhur. Sebagai perantau yang multietnis, tanah leluhur merupakan akar yang mendefinisikan hidup seseorang. Seseorang bisa bangga berkeliling dunia, tetapi jika ia tak pernah mengunjungi tanah leluhurnya, maka ia akan kehilangan setengah dirinya. Sebagai orang yang multietnis, sungguh tidak mudah memberikan jawaban sederhana atas pertanyaan, “kamu orang mana?”. Saya pertama kali mengunjungi Maluku tahun 2009. Itu kali pertama saya naik pesawat dan pergi ke luar Sulawesi. Kata Mami,” Sebelum kamu kemana-mana, kamu harus menginjakkan kaki ke tanah leluhurmu”. Ajaib, setelah tahun 2009, pasti dalam setahun itu saya akan mengunjungi kota-kota bahkan negara-negara lainnya. Tahun 2015, penelitian tesis membuat saya akhirnya menginjakkan kaki ke Nusa Tenggara Timur. Dan tahun 2016, saya akhirnya menginjakkan kaki ke Belanda meskipun hanya sebentar. 

Saya selalu terharu ketika mengunjungi tanah-tanah leluhur saya. Peristiwa-peristiwa itu menjelma magis bagi saya. Ajaibnya, hujan juga selalu turun seolah menyambut kedatangan saya untuk pertama kali. Kamu bisa berkata bahwa itu hanya kebetulan karena saya bepergian saat hujan sedang turun. Tetapi, ketika kita percaya bahwa tanah terikat dengan jiwa manusia, maka hujan itu adalah keharuan tanah dan roh-roh nenek moyang saya. Begitupula ketika saya melihat Amsterdam dari ketinggian. Saya menitikkan air mata dengan mengetahui bahwa di negeri yang asing ini terdapat orang-orang yang berbagi DNA yang sama dengan saya. Waktu itu hujan turun deras sekali. 

***

2016 juga mengajarkan tentang arti profesionalitas dan persahabatan. Pekerjaan ternyata seperti jodoh, pakai feeling, dan iklim tempat kerja sangat menentukan berkembang atau tidaknya seseorang. Gaji tidak selalu menjadi persoalan jika iklimnya baik. Namun, jika iklimnya buruk, kita menjadi tidak betah. Begitupun dengan persahabatan, sangat sulit ternyata menemukan teman yang baik bahkan setelah bertahun-tahun berteman. Tuntutan hidup dan kerasnya kehidupan banyak menjadikan manusia berubah dengan sangat drastis. Survival is fittest ternyata berlaku, senyata dengan homo homini lupus. Tapi percayalah, Tuhan akan selalu mengirimkan teman-teman yang akan menjadi teman-teman seperjalanan. Hanya saja kadang kita harus siap bahwa teman-teman itu juga memiliki tujuan dan jalan yang tidak selalu searah dengan kita. 

2017 akan menjadi tahun yang asyik dengan petualangan yang baru. Bagi saya tahun ini akan penting mengingat saya sedang dalam fase puncak berjuang untuk lanjut sekolah lagi. Karena pengelolaan keuangan saya tidak baik di tahun 2016, maka di tahun 2017 saya ingin mulai rajin menabung. Mungkin juga melakukan investasi kecil-kecilan seperti beli emas atau valuta asing. Saya juga ingin rajin-rajin olahraga. Cuma ini agak pesimis dilakukan karena jadwal saya tidak menentu. Tapi, tahun ini saya akan mencoba yoga atau meditasi. Meditasi sangat baik untuk melatih kesadaran dan emosi. 

Di tahun 2017, saya akan tetap berusaha travelling. Tahun ini saya harus menyempatkan berkunjung ke Candi Ceto dan Candi Sukuh di Karanganyar dan ke Baluran. Kalau ke luar negeri? Hmmm saya belum tahu, tapi saya berharap bisa ke negara-negara yang belum pernah saya kunjungi. Saya juga akan tetap meluangkan waktu untuk nonton konser musik. Faktanya, saya sudah punya tiket konsernya David Foster yang akan tampil di Jogja bulan April nanti. Saya juga mau sering-sering melukis. Sebenarnya saya sudah beli beberapa kanvas, cat air, dan kuas. Tapi karena tak punya waktu dan kadang-kadang malas, melukisnya jadi sedikit tertunda.

Tahun 2016 juga menjadi tahun dimana produktivitas ngeblog saya menurun drastis. Saya ngeblog sejak tahun 2009 saat masih duduk di kelas tiga SMA. Makanya harap maklum, kalau alamat blog ini masih terkesan childish dan alay. Saya sempat berpikir untuk berimigrasi ke wordpress,  tetapi karena dalam proses translasi itu akan ada tulisan yang hilang, saya urungkan niat itu. Saya tidak rela melepas 8 tahun cerita kehidupan saya begitu saja. Blog ini adalah bukti sejarah mengenai perkembangan kemanusiaan saya di era digital. Mungkin saya akan berimigrasi, ketika blogger dan google telah kiamat. Maka, karena waktu masih ada di tahun 2017, saya ingin produktif menulis lagi. Ngeblog sesungguhnya sangat baik untuk melatih diri berefleksi/berpikir dan menyusun logika menulis. Ngomong-ngomong, blog ini menjadi populer gara-gara saya menulis tentang Gereja Gothic Sayidan di Jogja. Bahkan page rank-nya pernah berada di urutan ketiga. Sepertinya tahun 2016 membuat blog ini bertransformasi dari kisah roman picisan menjadi cerita horor. 

Dari segi karakter, saya ingin belajar menjadi orang yang penyabar, tenang, dan berusaha berpikir seimbang, alias melihat persoalan dari cara pandang positif dan negatifnya. Tahun 2016 dan tahun-tahun sebelumnya saya suka sekali curigaan atau negative thinking pada sesuatu atau seseorang. Di tahun 2017, saya tidak ingin terlalu overthinking hingga menyalahkan diri sendiri oleh karena sesuatu yang terjadi diluar perkiraan. Rasanya lelah sekali. Hal lain yang penting adalah belajar menjadi orang yang rendah hati. Sungguh berpengetahuan adalah godaan untuk mendapatkan pengakuan. Mendapat pengakuan sih boleh-boleh saja, tetapi ketika hal itu membuat kita menjadi sombong, lupa diri, menilai diri tinggi, dan meremehkan orang lain maka itu tidak baik bagi kesehatan diri sendiri dan kebaikan bagi sesama. Lagipula, jika apa yang kau kerjakan dilakukan dengan sepenuh hati, maka gaungnya akan bergema ke segala penjuru dunia. 

Lalu, bagaimana dengan cinta? 

Suara Once Mekel mengalun lembut menyanyikan Lagu Cinta dari album Bintang Lima-nya Dewa. Liriknya cukup dalam, mungkin waktu itu Ahmad Dhani masih serius baca Kahlil Gibran dan sufi-sufi: 

Cinta adalah ruang dan waktu 
datang dan menghilang
Semua karunia Sang Pencipta 

Tahun 2016 menjadi tahun dimana banyak teman-teman sepantaran saya akhirnya menikah. Saya turut berbahagia untuk mereka, mendoakan yang ingin segera menyusul, dan diam-diam menantikan waktu bagi saya juga tiba. Di tahun 2017, saya perlu memahami cinta lebih dalam. Saya percaya cinta haruslah universal. Namun, ada jenis cinta yang merupakan karunia, tidak terjadi setiap hari, dan tidak pada sembarang orang. Jenis cinta yang membuatmu terikat pada seseorang secara seksual, emosional, dan spiritual. Dulu, warisan Platonian mengajarkan cinta jenis ini sebagai sesuatu yang tidak egosentris. Cinta sesederhana saya mencintaimu tanpa perlu kamu membalasnya. Cinta adalah melihatmu bahagia meskipun tidak harus bersama saya. Tapi cinta jenis ini dilematis karena manusia jadi sulit berprokreasi (mungkin karena banyak cinta yang ditolak dan kematian Ibu dan anak tinggi). Cinta jenis ini mengancam keberlangsungan hidup manusia. Maka, jenis cinta ini harus ditiadakan dengan sistem ekonomi yang menuntut untung-rugi, take and give. Cinta menjadi serumit tentang apa yang saya berikan ke kamu harus kamu balas sama besarnya. Cinta berubah menjadi penderitaan, ketika yang dicinta tak termiliki. Cinta jenis ini mendatangkan keuntungan berkali lipat pada industri kebudayaan. 

Dalam hal percintaan, saya memiliki dua role model. Pertama, pada Eyang yang mengajarkan saya mencintai dengan cara membebaskan. Ia tak memaksakan kehendaknya pada pasangannya. Ia menjalani hidupnya dengan nrimo. Kedua, pada Ibu, yang sudah kuanggap sebagai ibu dan nenekku sekaligus. Beliau mengajarkan untuk berani mengambil resiko. Ia adalah putri raja Mandar yang memilih menikah dengan pria rakyat jelata. Tentunya perjuangannya sangat berat untuk ukuran masa itu. Ibu pula yang menunjukkan menjadi perempuan yang menjadi diri sendiri, ekspresif, namun tetap anggun dan tenang dalam situasi apapun. 

Jenis cinta yang diajarkan Eyang adalah tentang pengertian, memahami pasangan, dan membebaskannya melakukan apa yang membuatnya bahagia. Tapi, jenis cinta yang diajarkan Ibu hanya bisa terjadi jika kedua belah pihak sama-sama berjuang dan mengambil resiko. Sampai disini aku memahami, bahwa jatuh cinta adalah peristiwa mengambil resiko. Ketika kita tidak berani mengambil resiko, cinta itu menjelma lagu cengeng di radio. Orang-orang yang takut mengambil resiko akan mengambil jarak dan membangun benteng perlindungan. Mereka akan menjadi dua jenis pecinta: mereka yang menikmati rasa cinta semu dari para penggemar dan hidup dalam kamuflase atau mereka yang menikmati kesendirian dengan hati dingin dan beku. Cinta menggerakkan manusia melakukan sesuatu. Cinta membuat orang mengambil resiko. Tetapi langkah ini hanya bisa dilakukan jika ada kepercayaan. Cinta tanpa kepercayaan adalah kesia-siaan. Dan Hey, untuk percaya pada seseorang adalah resiko karena kita bisa dikhianati dan dilukai. Inilah yang membuat orang takut bercinta lagi. Kita seharusnya belajar menjadi pecinta seperti anak-anak kecil yang tidak takut bermain kembali meskipun jatuh dan terluka berulang-ulang. Cinta akan menggerakkan kita melakukan sesuatu, sekalipun hati itu telah dihancurkan seperti Tembok Berlin dan remahannya dijadikan souvenir untuk turis. 

***

Tahun 2017, saya ingin belajar berdoa yang baik. Selama ini doa saya terpaku pada diri sendiri, doa yang egois. Maka, saya ingin belajar mendoakan orang lain, mendoakan negara, bahkan mungkin mengingat yang telah tiada. Saya juga ingin berhenti memperlakukan Tuhan seperti tukang ramal. Karena Tuhan tidak bekerja dengan cara yang dipikirkan manusia.

Waktu memang tak terbatas. Itulah sebabnya manusia membuat periodisasi untuk mengukur kemampuan dirinya dan perubahan dalam dirinya. Tahun-tahun berganti. Manusia pun berubah. Tetapi, karakter yang baik akan bertahan. Karakter itu dibentuk dengan tempaan-tempaan sukacita, harapan, tawa, airmata, amarah, luka, dan kesedihan. Tak terkecuali di tahun 2017. 

Selamat Tahun Baru!




PS: Tulisan ini adalah blog challenge dengan sahabat saya, Amdya. Kami saling menantang untuk membuat tulisan tentang resolusi tahun 2017. Terima kasih telah membacanya :)

You Might Also Like

0 comments