Cinta?

Selasa, Desember 20, 2016

"If both people are into each other, then a big romantic gesture works: Dobler, but if one person isn't into the other, the same gesture comes off serial-killer crazy: Dahmer." (How I Met Your Mother)

Katanya cinta menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Mulai dari yang remeh-temeh seperti membangun seribu candi sampai mengakibatkan dua kerajaan hancur seperi kisah Helen dari Troya. Sayangnya, kita lupa bahwa ada perspektif yang mendefiniskan suatu tindakan cinta. Seperti malam ini, sambil menunggu makan malam siap, saya menonton ulang film Endless Love (1981) yang dibintangi Brooke Shields dan Martin Hewitt. Pertama kali menonton film itu sewaktu saya masih SMP. Karena masih unyu’, saya mengenang film itu sebagai film tentang remaja pria yang membakar rumah pacarnya. Kini saya memahami, David, tokoh di film itu, membakar rumah Jade, pacarnya, hanya supaya ia bisa merebut hati orang tua Jade dan mereka bisa bertemu lagi. David ingin menjadi pahlawan. Namun dunia tidak melihat tindakan itu sebagaimana David menginginkannya. Atas tindakannya, ia dipidana dan masuk rumah sakit jiwa. Lain halnya ketika kita menonton film Notting Hill (1999), ketika William (Hugh Grant) muncul di konferensi pers-nya Anna (Julia Roberts) dan menanyakan apakah Anna mau memaafkan dirinya. Selanjutnya, kita tahu bersama bahwa scene berikutnya adalah salah satu adegan paling romantis dan ikonik dalam sejarah film romance modern di dunia. 

Sesungguhnya persoalan cinta memang rumit. Apakah harus dialami satu pihak atau harus kedua belah pihak? Kita harus berterimakasih pada orang Yunani yang dengan penuh dedikasi membuat klasifikasi cinta pada bahasa mereka, sehingga kita, yang cukup keren dengan kata cinta, kasih, dan sayang ini bisa lebih variatif memaknai cinta. Agape merujuk pada cinta ilahi, yang tak terbatas. Filia, merujuk pada kasih persahabatan. Storge, cinta dari orang tua ke anak. Terakhir, Eros adalah cinta berdasarkan hasrat. Hari ini cinta menjelma banyak makna. Menipu orang bisa karena cinta. Memfitnah orang juga dimungkinkan karena cinta. Bahkan, cinta mendasari orang untuk membunuh.

Banyak orang jadi takut jatuh cinta karena takut terluka. Orang menjadi kehilangan rasa percaya karena takut dikhianati. Orang menjadi curiga pada sesamanya. Prasangka semakin menguat. Yesus mengajak kita melihat dunia seperti mata kanak-kanak. Sayangnya, kita telah kehilangan kanak-kanak kita. Kita menjadi pendendam. Menjadi dingin karena kecewa. Sinis karena marah dan sedih. Terlebih lagi kita takut untuk mencintai dan dicintai. Kita takut hati akan hancur lagi. Padahal bukankah hati manusia memang terbuat untuk hancur dan sembuh lagi? Dari tepi sungai Yordan, Lelaki itu memandangi Yerusalem dari jauh. Ia menangisi kota itu. Yerusalem tertawa-tawa. Yerusalem mendidih karena amarah dan dendam. Airmata Lelaki itu bercucuran. 

Lalu, bagaimana dengan pembunuhan Duta Besar Rusia di Turki kemarin? Bagaimana bisa seorang petugas kepolisian menembak sendiri orang yang semestinya ia lindungi. Terlepas dari latar belakang politik dan ideologi, mungkinkah cinta menggerakkan Mevlut Mert Aydintas untuk menembak Andrei Karlov? Apakah kita perlu bersimpati pada teror ketika penguasa tidak mendengar jeritan rakyat yang tertindas? Apakah darah adalah satu-satunya bukti tanda cinta?

 Ah…Apakah cinta itu?

You Might Also Like

0 comments