Jamur Ajaib Serial TV

Rabu, Mei 06, 2015

Meredith dan Derek dalam Grey's Anatomy *sumber:google



Media memiliki pengaruh, entah positif atau negatif. Media dapat membangun sekaligus merusak mental, pikiran, atau perasaan. Saya tahu itu. Tapi, saya tidak pernah menduga bahwa media dapat mempengaruhi saya begitu kuat. Tidak setelah saya menghabiskan 40 sks belajar tentang media. Mengapa saya membiarkan diri saya terpengaruh oleh media? 

Serial TV. Bukan berita atau iklan. Serial TV. 
Media jenis inilah yang menganggu perasaan saya akhir-akhir ini. Ada puluhan artikel jurnal yang membahas penerimaan audiens terhadap serial TV di berbagai dunia. Serial TV menjadi objek dalam kajian audiens generasi kedua yang mulanya diteliti oleh Ien Ang pada tahun 1980-an dan dikenal dengan judul Watching Dallas. Serial TV memang lebih rumit ketimbang film yang diputar di bioskop, meskipun keduanya sama-sama film. Bila Film dapat habis dalam 2 atau 3 jam maka serial TV bahkan bisa selesai dalam 10 tahun (ex: Friends dan Grey's Anatomy). Semakin ratingnya tinggi, semakin populer serial TV itu, maka produser akan terus membuatnya meskipun ceritanya jadi bertele-tele atau semakin tidak masuk akal. 

Rating. Ya, selama ini rating menjadi ukuran diterimanya tayangan oleh audiens terhadap program televisi. Jika ratingnya tinggi, maka program tersebut dilanjutkan, jika tidak maka tamatlah riwayatnya. Kita bisa menyimpulkan bahwa audiens-lah yang memiliki pengaruh dalam mengendalikan hidupnya sebuah program TV, termasuk serial TV. Namun, saya mulai skeptis. Alih-alih membenarkan bahwa audienslah yang memegang kontrol terhadap tayangan yang dibuktikan dengan rating, saya malah berpikir bahwa audiens sesungguhnya dikendalikan dengan program itu. Konten serial TV menjadi semacam jamur ajaib yang menyihir audiens untuk tetap menantikan dan mengikuti serial itu.

Beberapa waktu terakhir ini, di samping memang sebagai refreshing, saya menonton beberapa serial  TV populer. Mulai dari Dawson's CreekAlly McBeal, Sherlock, Dracula, Desprete Housewives, How I Met Your Mother, Mistresses, The Bible, Lie To Me, Once Upon A Time, Friends, sampai Grey's Anatomy. Beberapa serial itu bertahan hingga mencapai 10 session bahkan lebih. Itu berarti jika serial TV ini seumpama bayi, sekarang dia sudah duduk di kelas 4 SD. Di sinilah titik mulanya. Serial TV sama halnya dengan film, memiliki banyak tanda. Ada suara, ada gambar, dan teks. Belum lagi kalau kita memang menyukai aktor atau aktris pemerannya. Kita terpukau dengan dialog-dialognya. Kita menyukai lagu-lagu yang menjadi pengiring atau intersesi dalam cerita. Kita terhanyut dalam perasaan. Saya harus akui. Saya larut dalam situasi yang emosional. Saya hanyut sampai ke alam mimpi.

Saya lega sekaligus sedih ketika serial TV itu sudah mencapai episode-episode akhir. Lega karena rasa penasaran saya akan terpuaskan. Sedih karena saya harus berpisah dengan "mereka" yang tanpa sadar telah menjadi bagian dari rutinitas saya dengan mengikuti mereka selama bertahun-tahun (yang diakselerasi menjadi beberapa hari). Saya mulai merasakan hal itu sejak menonton serial Friends dan Grey's Anatomy. Dalam serial Friends misalnya, saya begitu tersentuh dengan adegan ketika Phoebe menikah dengan Mike. Mereka menikah di jalanan yang tertutupi salju di depan Central Perk. Phoebe memakai gaun pengantin yang simpel tetapi elegan. Ia berjalan diiringi instrumen lagu Here, There, and Everywhere yang dimainkan sahabatnya. Sejak saya pertama kali mendengarkan lagu Here, There, and Everywhere, saya selalu merasa lagu itu adalah lagu yang sedih. Tapi sejak adegan Phoebe menikah, perasaan saya berubah. Here, There, and Everywhere bukan lagi menjadi lagu sedih, tetapi lagu yang bahagia. Bahagia yang manis, bukan bahagia yang riang. Saya bahkan berencana menjadikan lagu itu sebagai lagu pengiring saat saya berjalan menuju altar kalau menikah nanti. Setelah tamat menonton Friends, saya jadi takut atau susah tidur. Perasaan ini yang menganggu saya. Semacam sedih yang berlebihan dan tidak pada tempatnya.

Hal yang sama juga terjadi ketika menonton Grey's Anatomy. Segala peristiwa yang terjadi mulai karena kesal dengan tokoh Meredith (saya tidak bersimpati dengan karakter ini karena terkadang self centre) tetapi kasihan juga dengan latar belakangnya, deg-degan menunggu ending kisah cinta Meredith dan Derek "McDreamy", atau melihat bagaiman relasi persahabatan antara Meredith-Christina-Izzie-George-Alex dan relasi kolega mereka Chief Webber, Dr.Bailey, Dr.Torres, Dr. Sloan, dll. Grey's Anatomy sampai sekarang masih diputar dan rencananya akan dibuat lagi session berikutnya. Ceritanya menurut saya sudah mulai tak karuan. Beberapa pemain utama sudah keluar dengan akhir cerita yang dramatis, tragis, dan kadang tidak jelas. Grey's Anatomy bahkan sudah beranak menjadi Private Practice dengan cerita yang terpisah namun tokoh-tokohnya seperti Addison Montgomery, mantan istri Derek dan dua sahabat mereka Sam dan Naomi masih memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh dan pernah muncul dalam Grey's Anatomy. Dan Private Practice juga terdiri dari enam session yang artinya serial itu hidup selama enam tahun. 

Ketika kita menonton serial TV, kita sesungguhnya memasuki dunia baru. Kita seperti penonton bola yang menonton pertandingan bola. Kita tidak bisa ikut bermain tetapi pertandingan bola itu terjadi di depan mata kita. Mau tidak mau kita menjadi dekat dengannya. Kita tidak lagi membutuhkan imajinasi seperti ketika kita membaca novel. Sayangnya, karena kedekatan itulah kita jadi mudah larut, terbius, dan menjadi setia pada realitas buatan yang kita tonton melalui layar kaca. Kita menjadi penonton bola yang emosional, yang jika tim bola kesayangannya kalah akan membakar diri. Serial TV tanpa sadar membuat kita kecanduan. Kita menampik realita lain di sekeliling kita karena keasyikan mengikuti setiap episode dalam serial TV itu. Kita menjadi malas melakukan hal lain karena kita ingin memenuhi rasa penasaran dan candu yang menjadi-jadi meskipun sesungguhnya kita telah bosan dengan ceritanya. Banyak serial TV yang begitu apik di awal-awal session namun berubah tidak masuk akal di akhir-akhirnya, meskipun demikian sebagian kita tetap memaksakan diri mengikutinya. Mungkin saja kita tidak mau berpisah dengan realita yang kita tonton. Mungkin kita menghindari perasaan sedih itu. Atau mungkinkah realitas yang kita hadapi begitu membosankan sehingga menonton serial TV menjelma jamur ajaib yang melarikan kita dari montonnya hidup?

Entahlah.

You Might Also Like

0 comments