Berita Kematian Poniyem

Rabu, Mei 06, 2015

*tumblr



Awalnya saya hanya ingin menuliskan pesan ini sebagai status facebook atau twitter. Tapi sudah beberapa bulan terakhir, saya tidak bernafsu dengan media jejaring sosial dan segala feature-nya. Saya mungkin sudah bosan (atau terliterasi media?). Namun, saya tetap membutuhkan medium lain untuk mencurahkan perasaan sebagai terapi agar tetap waras dan sehat. Lagipula untuk menjadi sekedar status di Facebook atau Twitter, pesan ini terlalu panjang dan berliku.

Pesan ini diawali dengan peristiwa seminggu lalu. Kejadian tersebut rasanya masih baru saja terjadi kemarin (sudah kukatakan bahwa waktu dan saya terlibat hubungan yang rumit). Aneh memang menemukan waktu berlari begitu cepat. Meski tidak tertarik lagi dengan facebook, twitter, atau path saya tetap mengakses media tersebut sesekali untuk mencari informasi atau mengucapkan selamat ulang tahun. Saya tidak menemukan alasan lain lagi untuk membuka halaman media jejaring sosial. Saya belum punya seseorang yang istimewa untuk di-stalking. Maka, saya hanya sekedar membuka beranda dan melihat postingan orang lain. Jika ada yang menarik akan saya berikan tanda jempol atau memberi sedikit komentar.

Hari itu, langganan toko buku saya di facebook memasang beberapa novel yang memang sudah lama saya cari. Dengan kalap, saya membeli enam buku dari dua toko buku yang menjual buku-bukunya melalui facebook itu, antara lain: dua kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma Linguage dan Perkara Mengirim Senja (antologi sebagai tribute untuk Seno Gumira Ajidarma), novel terbaru Eka Kurniawan yang berjudul Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, kumpulan cerpen Dari Mana Datangnya Mata -yang mengingatkan pada lirik lagu Keroncong Kemayoran- karya Veven Sp. Wardhana, Haroun and The Sea karya Salman Rushdie, dan The Farewell Party karya Milan Kundera. Empat buku yang pertama tiba kemarin. Dan saya menghabiskan satu subuh (yang artinya pagi tadi) dengan membaca kedua karya Seno maupun yang terinspirasi oleh karyanya.

Dalam kedua buku tersebut, terdapat dua cerpen yang sama-sama bercerita tentang Joko Swiwi dan menyebutkan nama ibunya, Poniyem. Secara simultan saya menemukan cerita tersebut dalam teks asli dan teks tandingan sebagai interpretasi dari teks asli. Bayangkan dari dua buku dan penulis yang berbeda, berapa peluang muncul cerita yang saling berhubungan dengan menggunakan nama tokoh yang sama? Memang sangat aneh menemukan nama Joko Swiwi hidup di masa sekarang, tetapi tidak dengan Poniyem. Lagipula kedua buku ini sudah lama saya cari, lebih dari tiga tahun barangkali. Kok bisa-bisanya muncul berbarengan kala itu.

Minggu ini adalah minggu kelabu. Saya mendapat dua kabar duka sekaligus dari dua orang yang saya kenal. Pertama, Kak Rahman, senior saya di KOSMIK dan juga kolega Mami di RRI berpulang ke Sang Pencipta. Memori saya mengenai almarhum termasuk unik. Saya hanya sekali bertemu dengan Kak Rahman dan hanya saling bertukar pandang dan senyuman. Selanjutnya, kami hanya saling mengenal dari cerita-cerita Mami. Waktu saya pulang ke Makassar bulan Maret lalu dan menyempatkan diri berkunjung ke Pengadilan Negeri- dari Mami saya tahu- Kak Rahman melihat saya dari jauh. Ia ingin menegur tetapi ragu apakah perempuan yang memakai syal tenun ikat Sumba itu adalah saya, mengingat saya tinggal di Jogja. Saya yang mendengar cerita tersebut menjadi sedih. Karena sewaktu di Pengadilan pun, saya sama sekali tidak melihat atau memperhatikan keberadaannya. Kedua, kabar ini datang dari Bu Mery, kakak saya di kos-an. Ibunda beliau juga berpulang. Saya memang tidak memiliki memori yang sama seperti terhadap Kak Rahman, tapi sungguh rasa sedih juga turut hadir mengingat ini adalah ibunda dari seseorang yang kita sudah anggap sebagai saudara. Saya hanya bisa mengirimkan doa bagi mereka.

Kabar kelabu tersebut masih misteri apakah memiliki hubungan dengan karya Seno Gumira Ajidarma atau tidak. Saya juga tidak mengerti, apakah saya yang terlalu sensitif dan romantis. Setelah membaca kedua buku Seno itu, pada pukul setengah enam pagi, terdengar pengumuman dari Mesjid, seorang perempuan bernama Poniyem pada usia 48 tahun telah berpulang. Ada hal yang ganjil, membingungkan, sekaligus menggetarkan disini. Bayangkan, dari semua nama dalam novel, dari beragamnya nama perempuan Jawa, dalam satu malam saya mengetahui tentang dua karakter bernama Poniyem. Ada hubungan penandaan, Poniyem yang dikisahkan Seno menangis sampai membatu dan airmatanya menghasilkan sungai sementara Poniyem yang kudengar namanya pada pukul setengah enam pagi tadi telah menyatu dengan sang Pencipta. Ini bukan suatu kebetulan. Ini bukan kali pertama terjadi.

***

Alam memiliki bahasanya sendiri. Jika kau peka, kau dapat merasakan bahwa segala pengetahuan memiliki keterikatan dengan manusia. Mereka yang bertanya akan menemukan jawaban. Mereka yang mencari akan menemukan. Dan sesama manusia sesungguhnya saling terikat meskipun mereka tidak saling mengenal. Mereka semua berasal dari satu sumber yang sama. Pada akhirnya, seperti kata Aristoteles, semua makhluk hidup bergerak perlahan menuju Penciptanya.

You Might Also Like

1 comments

  1. Selalu senang dengan postingan ini. Sepertinya kita masih sama-sama berjalan untuk mencari hal yang berbeda. Ketika isi pikiran saya berkali-kali menemukan jalan buntu. Alam selalu memberikan tandanya.

    BalasHapus