Mengunjungi "Ayah"

Jumat, Maret 27, 2015

Tulisan Kota Kupang*foto: meike




Tiba-tiba saya diliputi rasa kehilangan.

Suara menderembum dari pendingin ruangan yang mungkin umurnya sebaya dengan saya membuat suasana menjadi horor. Maklum mesin tua. Kadang-kadang bunyinya seperti orang yang sedang jalan mondar-mandir, kadang-kadang seperti suara orang mengetuk-ngetuk meja. Bisingnya membuat saya tidak tahan. Tapi, saya juga tidak mau mematikannya, selain karena nanti pengap tanpa bunyi-bunyian, telinga saya malah semakin peka. Bisa-bisa saya skizofrenik nanti. Untuk menyemarakkan suasana, saya menyalakan TV. Biarlah suara cerewet televisi menjadi teman yang akrab untuk saat ini. Saya tidak tahan dengan kesunyian ganjil yang dihadirkan ruangan itu setiap malam. Apalagi setelah pagi tadi mendengar cerita bahwa ternyata sayalah satu-satunya yang menginap di lantai 3 hotel tua itu. Maka jadilah, suara-suara dari ac dan TV saling beradu, menciptakan harmonisasi yang sama sekali tidak sukses. Selain itu, sendiri di kamar hotel juga akan membuatmu waspada sehingga kau akan sulit tertidur meskipun tubuhmu sudah lelah dan matamu terpejam.

Sebelum tayangan komedi berubah menjadi acara panggil arwah, saya buru-buru mengganti channel ke tayangan berita. Dan begitulah...dengan latar belakang berita kematian mantan perdana menteri Singapura, perasaan kehilangan itu muncul lagi. Saya merasa sedih. Namun, bukan sedih yang "sedih" tapi sedih yang tidak membuatmu putus asa. Laksana seorang anak yang berjumpa dengan ayahnya setelah sekian lama tak bersua, lalu belum genap berpelukan mereka terpaksa  berpisah. Perpisahan itu pun terjadi tanpa semarak. Hening. Ada jarak yang membuat kami lebih baik berpisah dalam diam. Ada kemesraan yang lebih intim meski kami hanya bertatapan saja. Ada perekat di bibir yang membuat kata-kata tak mampu diucapkan. Tapi rasa itu nyata, memenuhi hati, sehingga jika saya tak kuat, akan membumbung melewati rongga dada dan meledak berupa air bah di pelupuk mata. Begitulah ketika tanah Timor berhasil kujajaki. Kota Kupang yang seperti lagu tua yang didendangkan orang-orang tua sejak lama. Tanah yang selama 23 tahun hanya mampu dikenal sebatas cerita orang. Tanah yang kuyakini adalah ayahku, darahku setengah berasal. 

Jangan dianggap ini begitu klise. Karena akhirnya saya tahu bahwa Timor bukanlah ayah saya melainkan saudaranya, Flores. 23 tahun, bayangkan! 23 tahun saya percaya bahwa saya orang Timor. Saya dipiara dalam pengetahuan tentang ayah yang ternyata paman sendiri. Dan kenyataan itu tidak hanya membawa keceriaan karena mengetahui memiliki ekstasinya sendiri. Ada rasa sesak disana. Bahwa kau selama ini salah sangka. Kadang-kadang prasangka membuat kita perlahan-lahan menghakimi. Jika kau salah menghakimi, maka prasangka jenis ini akan membuatmu merasa bersalah dan menyesal. Akan tetapi, prasangka yang saya rasakan tidak menghakimi melainkan memberikan kesadaran. Ia tidak memberi rasa bersalah dan menyesal tetapi ia datang dengan pengertian bahwa akhirnya kau mengetahui akarmu yang sejati.  

***

Kupang adalah kota yang menyenangkan dengan orang-orang yang ramah. Mereka tak ragu menyapamu dengan bahasa daerah mereka. Mereka juga tak ragu bercakap meski kau berasal entah dari mana. Kupang bukanlah kota milik satu etnis. Ia adalah kota yang menampung siapapun dan darimana saja berasal. Di sana ada orang Timor, Flores, Sumba, Alor, Timor-Timur, Maluku Tenggara, Bugis-Makassar, Jawa, dan kelompok imigran pencari suaka politik dari Timur Tengah. Mereka berkumpul bersama dengan berbagai bahasa. Dalam perbedaan budaya saling menyatu namun tetap memperlihatkan kekhasan masing-masing. Kau akan takjub bahwa di pelosok Flores sana, seorang perempuan Jawa masih tetap melaksanakan tradisinya tanpa jemu. Kau juga akan maklum bahwa meski berada jauh dari kampung halaman, tetap saja kehidupan sebagai nelayan didominasi orang-orang Bugis-Makassar. Tradisi ternyata tak mudah hilang meskipun tanah air hampir-hampir seperti dongeng.

Saya tertidur ketika suara TV mengumandangkan adzan subuh. Saya bermimpi tentang seseorang di masa lalu yang saya lupa siapa. Tidak begitu jelas juga peristiwa apa yang terjadi di alam sana. Saya terbangun hampir pukul 11 siang. Saya harus check out dari hotel jam 12 siang. Saya harus check in di bandara pukul 2 siang. Dan tak lupa saya harus mencari daging se'i babi khas Kupang. Saya belum berfoto di depan tulisan Kupang di Taman Nostalgia, dan masih mencari oleh-oleh syal tenun untuk teman di Jogja. Masih langsik, saya mandi saat itu. Sial! showernya tidak menyala. Saya memakai baju kembali dan hendak memanggil pelayan hotel. Tapi begitu saya coba lagi, showernya nyala dan airnya deras. Saya merasa dikerjai. Setelah selesai berdandan dan mengecek barang-barang saya keluar dari kamar itu. Cuaca masih cerah. Matahari bersinar gembira sekali siang itu. Kemarin, Kak Dicky bercerita bahwa Kupang akhir-akhir ini sudah jarang hujan. Ia bertanya bagaimana dengan di Jogja dan Makassar dan saya menjawab masih hujan meskipun dengan jadwal yang tak pasti.



Se'i Babi dan sayur daun papaya *foto:meike



Kata "Nostalgia" itu loh...:p *foto: Jeffry



Sebelum ke bandara El Tari, saya menyempatkan diri untuk singgah di Taman Nostalgia dan berfoto di depan tulisan "Kupang" itu. Jeffry, supir hotel yang berasal dari Kefa menjadi fotografer saya hari itu. Tak jauh dari Taman Nostalgia terdapat Gong Perdamaian yang kembar dengan saudara-saudaranya di kota Ambon, Yogyakarta, Bali, Palu, dan Ciamis. Saya pikir tak ada salahnya berfoto di sana meskipun saya sudah pernah berfoto di depan Gong Perdamaian di Ambon. Mungkin suatu saat bisa jadi koleksi. Aneh juga, gong perdamaian itu ada di rumah "ayah" dan "ibu". Saya tak memperhatikan kalau matahari sudah tertutup awan. Langit mendung pertanda akan hujan.


Dalam perjalanan itu, hujan keras turun. Padahal selama tiga hari saya di Kupang, tak pernah turun hujan. Saya teringat salah satu filosofi yang ada di Papua, Maluku, dan ternyata sama juga dengan di tanah Timor ini.  Tubuh dan jiwa terikat dengan tanah leluhur. Bahkan di Papua, tanah bisa menjadi tak subur justru ketika jiwa manusianya yang rusak. Koneksitivitas itu yang membuat perasaan selalu ingin pulang menghimpit mereka yang menjadi perantau. Saya yakin, hari itu ayah saya juga bersedih melepas kepergian saya. Maka hujan pun turun dengan deras.


***

Pesawat saya take off pukul 4 sore. Selama saya dari perjalanan ke bandara sampai pesawat yang saya tumpangi tiba. Hujan masih deras turun. Saya menelpon Mami mengabarkan cuaca yang buruk. Mami bilang saya harus berdoa supaya cuacanya cerah kembali. Sejak kasus jatuhya pesawat Air Asia, cuaca buruk dan awan hitam menjadi faktor utama penyebab orang paranoid naik pesawat. Tapi, perasaan saya biasa saja. Saya tetap berdoa namun tetap merasa bahwa hujan kali ini bukanlah hujan semata. Ia adalah sasmita, pertanda. Ia bukan musibah pada saat ini. Anehnya, ketika saya akan naik ke pesawat. Hujan berhenti. Lalu cahaya matahari perlahan-lahan merembes. Ketika pesawat mulai berada dalam 11 menit paling menegangkan dan melewati udara Kupang, cuaca cerah sekali. Matahari menyambut dengan genit.

Sementara langit Kupang di belakang sana sudah menghapus air matanya sambil tersenyum. 

You Might Also Like

0 comments