Balada Segelas Bir

Senin, Maret 09, 2015

*begitulah balada segelas bir ini, foto: Meike*



Kata orang manakala semesta mendukung, apa yang kita benci menjadi hal yang kita sukai. Pada titik itu kita berubah tanpa kita rencanakan. Sesederhana itu, kawan. Kita lupa pada apa yang sudah ditinggalkan jauh di belakang sana.

Saya berubah menjadi penyuka bir. Kejadian itu bermula pada suatu malam yang dingin nun jauh di pulau kecil bernama Gili Trawangan. Waktu itu saya sudah kelelahan keliling pulau naik sepeda (sesungguhnya saya juga cuma dibonceng). Kami menggunakan sepeda tandem dan saya bergantian dibonceng oleh dua lelaki. Memang romantis sih. Tapi teman saya itu pacar orang dan yang satunya memutuskan untuk melajang. Kelak bersama teman saya yang lajang itu, kami difoto oleh sebuah majalah lokal karena dikira couple yang datang ke konser Kla Project. 

Entah mengapa bau laut, dingingnya angin, dan kelelahan yang sangat ditambah rasa sakit di pantat akibat hampir sejam lebih duduk manis di atas sadel yang tak berperikemanusiaan membuat sebotol bir yang berembun menjadi godaan yang tak tertahankan. Tapi, siapakah teman minum bir saya kalau semua teman-tema yang ada di sana begitu alim (setidaknya demikian)? Maka, nafsu itu kukubur perlahan. Waktu demi waktu berlalu...

Suatu hari saya, Kak Risna, dan dua adiknya Bernard dan Ronald jalan-jalan ke Prawirotaman. Sudah lama saya ingin jalan-jalan ke area itu, katanya disitu banyak bulenya makanya harga-harga makanannya juga agak di atas rata-rata, tapi kalau kamu tinggal di Jakarta atau Makassar, apalagi Papua masih terjangkau kok. Kami makan di restaurant Italy. Memesan spaghetti dan pizza. Lalu, sebotol bir di meja sebelah begitu menggoda. Sesungguhnya saya tak suka minum bir karena pahitnya yang keterlaluan. Tapi, bukankah bir mengingatkan kita pada pahitnya hidup? Seperti juga martini pada orang-orang yang depresi, bir menjadi suatu pelipur untuk lidah (atau jiwamu) pada suatu keterasingan yang tak kau bayangkan.

Nafsu yang tertahankan sejak dari Gili itu kembali menguar. Saya memberanikan memesan sebotol, berdua dengan Kak Risna. Rupanya malah saya yang lebih banyak minum. Kali berikut, saya sampai ke Circle K Kota Baru (karena di Sleman ada larangan menjual minuman keras) hanya untuk membeli radler. Rasa pahit bir dan lemon beradu jadi perkawinan yang manis. Mungkin itu akan menjadi bir favorit saya sampai nanti. Itulah rasa bir yang kuidam-idamkan, meskipun mereka yang sudah terbiasa minum akan menertawai. 

***

Izinkan saya mengenang satu peristiwa di masa kecil. Dulu entah sejak usia ke berapa, di rumah saya sering diadakan upacara adat Manggarai. Para lelaki akan memotong ayam hitam dan minum bir. Saya mencicipi sedikit dari gelas ayah saya. Dan saya cukup trauma karena minuman itu begitu pahit. Sejak saat itu, saya tak suka bir demi apapun.







You Might Also Like

0 comments