Momen Dimana Kau Memutuskan Menghabiskan Soremu yang Gelisah

Jumat, September 26, 2014

hhf


Salah satu hal yang saya sukai dari hidup di Jogja adalah karena kota ini membawamu ke suatu kenangan akan masa lalu. Keadaan ini sangat cocok dengan jiwa saya yang selalu merasa lahir di masa yang salah. Kalau kau mau, kau bisa mengalami kejadian seperti Gil di Midnight in Paris. Tepat pukul 12 Malam, sebuah dokar akan mengangkutmu dan mengajakmu berjalan keliling Malioboro di tahun 1920-an. Tentu saja ini khayalan saya saja. Tapi siapa tahu. Tekadang membayangkan benturan-benturan dimensi sudah cukup membuat bulu kuduk merinding.

Saya berada di dalam sebuah cafe dengan suasana kolonial yang kental. Ada grand piano di salah satu sudutnya, tapi tak ada yang memainkan. Zaman sekarang benda-benda tersebut lebih banyak jadi pajangan daripada difungsikan. Lebih aneh lagi ketika saya ke salah satu rumah sakit mewah di Makassar. Di sana terdapat grand piano yang terletak di tengah-tengah hall-nya. Dari arah piano itu mengalun suara piano yang merdu, tapi kok tak ada orang yang memainkan ya? Rupanya suara itu berasal dari speaker yang ditaruh di bawah kaki grand piano. Tidakkah ini ironis? Saya taruhan kalau piano itu bisa ngomong ia pasti akan mengeluarkan sumpah serapah.

Untungnya cafe ini tidak melakukan hal yang sama pada piano malang itu. Cafe ini hanya memutar lagu-lagu lama tahun 50-60-an yang terdengar dari speaker. Saat saya menuliskan ini mengalun lagu Crazy dari Patsy Cline, tapi saya yakin bukan Patsy Cline yang nyanyi karena aransemennya musik keroncong, setidaknya di telinga saya seperti itu. Terlepas dari apapun itu, lagu yang bagus memang akan tetap bagus, mau bagaimana pun aransemennya. Orang yang memiliki karakter yang baik, tak akan kalah oleh zaman. 

Kebetulan cafe ini berada dalam kompleks benteng Vredeburg. Konon kata Mbak Truly, Vredeburg berarti perdamaian. Jadi benteng ini adalah simbol perdamaian antara Keraton dan Belanda. Benteng ini dibangun Belanda supaya jika terjadi "apa-apa" mudah menyerang Keraton. Tapi untungnya hal itu tak pernah kesampaian. Letaknya memang sangat strategis, hanya beberapa meter dari kilo 0 kota Jogja dan berhadapan langsung dengan bangunan besar bekas istana Presiden RI ketika republik ini mendaulat Jogja sebagai ibukota negara. Kini, benteng ini menjadi museum dan salah satu bagian bangunannya dijadikan cafe. Cafe yang sepertinya dikhususkan bagi orang-orang yang senang pada masa lalu, seperti saya ini. Setiap saya kesini, cafe ini selalu terasa lengang, selalu tampak serius. Tak ada abg yang grasak-grusuk pecicilan. Bahkan kalau berbicara pun kita seperti berbisik. Kebanyakan yang datang orang-orang dewasa dan turis.

Saya senang menghabiskan waktu disini. Sekedar menulis atau merenung dengan ditemani lagu-lagu lama. Tempat ini memberikan ketenangan sekaligus suasana angker. Lagi-lagi menurut Mbak Truly, ada sekitar 500 tentara Belanda yang pernah menjaga benteng ini. Kau tahu kan, kadang-kadang jiwa manusia tidak benar-benar meninggalkan bumi. Baiklah saya harus kembali melanjutkan menulis proposal tesis saya. Kegelisahan ini harus segera dituntaskan. Cokelat panas yang saya pesan sudah dingin. Dan sayup-sayup mengalun lagu Hawaiian Wedding Song.



Pssttt.....seorang pengunjung, pria berusia sekitar akhir 30-an memainkan instrumen dari grand piano itu. Akhirnya.


You Might Also Like

0 comments