Sadhar Suatu Siang

Senin, Februari 10, 2014

*salah satu sudut di Universitas Sanata Dharma*


Hidup ini sederhana. Sesederhana seorang lakon menjalani perannya. Percayalah bahwa seperti sebuah kisah, babak kehidupan manusia juga hanya terdiri dari  prolog-dialog-monolog-epilog. 

Kadang-kadang kita lupa menikmati hidup. Lupa menikmati peran, lupa bahwa hidup ini berisi dan harus diisi dengan berbagai cerita. Cerita yang berawal saat kita bangun pagi, tanda bahwa perjuangan, bahagia, dan merasa sakit adalah rutinitas yang tidak dapat dihindari. 

Saya bukan mahasiswa disini namun saya senang berada disini. Tempat ini adalah nostalgia akan masa-masa yang telah lampau. Mengingatkan saya pada sekolah lama saya dulu. Jendela-jendela besar, bangku-bangku kayu, lantai ubin yang tertata rapi, pohon-pohon dan tanaman yang subur, serta pendopo yang mengantarkan angin semilir menarikan anak-anak rambut. 

Di tempat ini pula, ada orang-orang yang menjalani perannya selama berpuluh-puluh tahun. Ada kesetiaan pada sebuah tempat, pada almamater. Sebuah identitas yang diberikan untuk menjadi dharma bagi mereka yang memilih tempat ini sebagai ladang ilmu pengetahuan.

Momen ini adalah pengulangan dari kejadian yang pernah terjadi dulu. Sebuah momen yang tidak pernah saya pikirkan akan saya lakoni hari ini. Ingatan saya melayang pada sosok pemuda berambut gondrong yang sering saya temui di koridor kampusku dulu. Dan kini saya menjadi pemuda itu. Pemuda yang dengan setia mengantar kakeknya mengajar Sistem Komunikasi Indonesia pada anak-anak yang bahkan belum tahu apa arti dharma dalam hidup.  




Halaman Universitas Sanata Dharma, 4 hari menuju Valentine.
Sewaktu menemani Eyang mengajar di kampus. 




Ps: Nama "Sanata Dharma" diberikan oleh seorang pastor Jesuit bernama Carolus :)

You Might Also Like

0 comments