Usaha Penyelamatan Srintil dan Anaknya

Sabtu, September 07, 2013


Tinggal di Jawa membuat saya akrab dengan nama-nama yang sebelumnya saya temukan dalam novel-novel sastra terbitan Balai Pustaka. Salah satu nama yang familiar adalah Srintil. Srintil menjadi nama tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang diterbitkan di tahun 1982 dengan latar peristiwa Tragedi'65. Di tahun 2011, Srintil dihidupkan oleh sosok yang diperankan Prisia Nasution dalam film yang berjudul "Sang Penari". Tapi saya akan bercerita tentang Srintil yang lain. Srintil yang saya kenal. Srintil, kucing betina belang-belang milik Eyang.

Sudah tiga hari ini, suasana sore dan malam di Yogya terasa gloomy. Sorenya mendung. Malamnya pun tanpa bintang. Angin dingin pun menjadi teman setia. Dua hari ini saya menemani Eyang nonton tivi di pedepokannya. Seperti biasa pada pukul setengah 9, Eyang akan masuk ke kamarnya untuk istirahat. Biasanya saya dan Mbak Par atau anak kos yang lain seperti Mbak Indri atau Mbak Trully masih tinggal untuk ngobrol lalu kemudian masuk ke kamar masing-masing. 

Malam ini lain. Cuma saya serta Srintil dan kedua anaknya yang menemani Eyang sampai acara On The Spot selesai. Saya pun pamit untuk mandi. Eyang juga lebih dini masuk ke kamarnya. Pedepokan yang merangkap perpustakaan pribadi Eyang pun ditutup oleh Mbak Par. Suasana jadi hening, sesekali suara gaduh timbul yang disebabkan ulah Srintil anak-beranak. Pukul 9 malam, sambil membaca majalah Cita Cinta terdengar suara seperti kecemplung. Saya mendengarnya dengan jelas karena kamar saya bersebelahan dengan kamar mandi. Tak lama setelah itu terdengar suara "meong" yang lirih.

Awalnya saya tak mengacuhkan tapi lama-lama suara gaduh air dan rintihan kucing itu semakin menyayat hati. Dalam hal tertentu saya mengalami kontradiksi. Saya menyukai binatang tapi jijik untuk memegangnya. Hal ini sama kontranya ketika saya menyukai alam seperti gunung dan lautan tapi tidak berani menjelajahinya. Dalam kasus ini, mengangkat kucing yang kemungkinan mati dalam bak mandi itu sangat tidak kece.

Saya pun menuju kamar mandi dan mendapati Srintil-lah yang mengeong. Ia berdiri di atas tepi bak mandi sambil melihat ke dalam bak. Ketika mendengarkan langkah kaki saya, Srintil menoleh. Demi Langit! saya kaget melihat ekspresi Srintil dan suara yang dibuatnya. Meski sebelah mata Srintil sudah copot, tapi tatapannya nyata: khawatir dan panik. Jika ada komunikasi antar manusia maka ini adalah komunikasi antar manusia dan hewan. Srintil bicara dan saya mengerti. Ia seolah berkata," Mbak Ike, tolong anak saya kecebur ke dalam bak!!! Cepat cari pertolongan!!!"

Dalam imajinasi saya, saya melihat seorang ibu yang histeris melihat anaknya jatuh dalam sumur tanpa bisa berbuat apa-apa. Dengan segera saya berlari ke kamar Mbak Par dan memberi tahu kejadian ini. Mungkin saja anak si Srintil sudah meninggal. Beberapa waktu lalu, Mbak Par dan Kak Phio menemukan bangkai kucing di belakang kamar kos kami, masakan harus ditambah lagi?

Akhirnya kali ini yang bertindak adalah Pak Jono, suami Mbak Par. Ia segera menuju ke kamar mandi. Saya dan Mbak Par mengekor di belakang, bercampur ngeri dan geli. Angin malam pun semakin menusuk. Daster tipis yang saya kenakan   sama sekali tidak menolong untuk menghangatkan.

Saat Pak Jono masuk ke kamar mandi, Srintil langsung loncat dari tepi bak mandi. Pak Jono segera mengeluarkan anak kucing itu dari bak. Syukurlah ia tidak mati. Srintil membawa kedua anaknya lari sembunyi ke belakang lemari. Bisa saya bayangkan, Srintil dan kedua anaknya sudah berpelukan sambil bilang," kamu tidak apa-apa,Nak?". Saya bersimpati dengan Srintil sejak mengetahui bahwa semua anak jantannya tidak pernah berumur panjang. Tadinya kucing ini sangat menyebalkan karena sebagai kucing, ia terlalu kepo dengan pakaian dalam gadis-gadis penghuni kos. Srintil dan anak-anaknya kadang tidur di atas pakaian atau menarik-narik bh atau celana dari jemuran berdiri. Tentunya kejadian salah satu anaknya yang kecebur di bak mandi membuat Srintil hampir serangan jantung. Kejadian kritis sudah berlalu. Semoga anak Srintil yang kecebur itu baik-baik saja. Apesnya, besok pagi giliran kami yang sibuk membersihkan kamar mandi.

***

Setiap hari bagi saya adalah pelajaran. Binatang meski tak punya akal pikiran namun memiliki naluri yang sama dengan manusia. Naluri itu yang mampu membuat mereka berkomunikasi. Naluri pula-lah yang menggerakkan kita untuk mengerti meski akal kita tidak pernah belajar secara formal bahasa kucing. Adapun manusia yang kadang menyepelekan nalurinya, yang tidak menggunakan akal pikirannya justru malah berkomunikasi seperti binatang. Dan binatang dengan segala keterbatasannya lebih manusiawi daripada manusia.




PS: lain kali pintu kamar mandi harus ditutup rapat!

You Might Also Like

4 comments

  1. "Awalnya saya mengacuhkan...." KBBI menjelaskan kalau 'acuh' kata dasar dari 'mengacuhkan' maksudnya peduli.

    BalasHapus
  2. hoaaa..iya ya *abis buka KBBI* terima kasih koreksinya.....soalnya saya tahunya org2 kalau bilang "acuh" itu artinya "tak peduli"..ternyata...defenisi itu penting ya..^^

    BalasHapus
  3. Kucing... Sebagai pencinta kucing saya turut sedih dengan kejadian yang dialami Srintil >.< Untung anaknya terselamatkan u.u

    BalasHapus
  4. kak dwi : syukurlah kak..tapi keesokan harinya si Srintil buat ulah lagi dengan pacaran sama kucing hitam di belakang kamarku...heboh banget hehehe..

    BalasHapus