Sore Berfilosofi

Senin, Oktober 11, 2010

Akhir-akhir ini saya suka mengeluh. Sebabnya beragam. Mulai dari cuaca yang berubah-ubah, masalah hati yang tak terjawab, sampai aktivitas perkuliahan. Tiap hari mengeluh. Saya lupa bagaimana caranya bersyukur untuk hidup hari ini. Saya lupa menikmati hidup. Yang ada saya lebih suka mengeluh, marah-marah, dan mengkhayal. Lupa bagaimana bilang terima kasih sama Tuhan. Lupa mengajak-Nya bercanda dalam doa.

Tadi sore saya pulang dari kampus lagi bersama Alvidha. Akhirnya, dia masuk kampus juga setelah sakit mata beberapa hari lalu. Turun dari pete-pete, kami disambut bak pundi-pundi emas oleh para tukang bentor di jalan Adyaksa Lama ( atau Abd. Dg. Sirua sih ?! ). Sebagai langganan tetap yang selalu dinanti, mereka pasti menunggu kedatangan saya dan Pipi ( Alvidha ) jika salah satu dari kami tidak kelihatan, abang tukang bentor ini akan bertanya " Yang di Maizonnet mana? " atau " Mana teman ta yang di Puri Taman Sari? ". Betapa terkenalnya kami di antara geng bentor ini.

Sehabis menurunkan Pipi di rumahnya ( rutenya selalu mengantar Alvidha pulang duluan ) saya menikmati perjalanan ke rumah. Cuaca sore itu mendung berawan. Jalanan pun basah akibat guyuran hujan. Ditambah angin-angin dingin sehabis hujan sangat pas untuk tidur. Sayangnya, saya masih harus singgah di tempat fotocopy untuk mencopy buku teori komunikasi kepunyaan Pipi.

Ternyata buku itu tidak bisa di-copy karena warnanya terlalu mencolok. Lalu hidung saya tergoda dengan bau kue pukis yang dijual di depan tempat fotocopy itu. Suasana sore sehabis hujan dan bau aroma kue pukis sangat menggoda. Saya pun membeli dan memakannya di atas bentor sambil mendengarkan lagunya Frank Sinatra : Fly Me To The Moon dan Beyond The Sea. Perasaan saya langsung bahagia.

Menikmati sore hari ini sangat berbeda. Saya bersyukur diberi kesempatan menikmatinya. Sore selalu punya cerita sendiri. Dari atas bentor, saya memperhatikan wajah para tukang bentor dan becak yang gembira jika ada orang menaiki bentor atau becaknya. Supir pete-pete yang sumringah setiap menurunkan penumpangnya dan mendapat uang walaupun cuma tiga ribu rupiah. Wajah penjual kue pukis, penjual terang bulan, martabak, dan aneka gorengan yang selalu berjualan tiap sore. Mereka mulai mempersiapkan peralatannya walau dibungkus dengan cuaca yang tak bersahabat. Kemudian ada wajah lelah sekaligus riang milik anak-anak SD yang baru saja pulang sekolah. Serta yang terakhir, wajah gembira Oma saya yang asyik duduk-duduk di teras ketika melihat pukis yang saya bawa. Tak lupa juga si Rambo yang meloncat-loncat menyambut saya pulang.

Sore hari ini lebih baik dibanding kemarin. Senyum masih bertengger disini.

You Might Also Like

1 comments