Surat Untuk Mami (1)

Selasa, November 19, 2019

Dear Mami, Bagaimana kabarmu disana? Pasti Mami bahagia. Apakah disana sudah bertemu dengan Mami Ice? Ihhh kalian berdua tidak mau pisah lama-lama ya. Bisa kubayangkan kalian berdua pasti senang bernyanyi dan berdoa dengan hati gembira melebihi ketika kalian masih di dunia. Tak lupa Papi Nes juga ikut mengiringi kalian bernyanyi dan melatih nada-nada yang mungkin terdengar fals. Tahu sendiri kan, telinga Papi Nes setajam pendengaran ultrasonik ikan paus hehehe.

Daddy baik-baik saja, Mam. Dia rajin sekarang berdoa dan ke gereja. Mungkin mengikuti teladanmu adalah caranya terkoneksi denganmu lagi. Katanya, dia diajak ikut nyanyi di koor gereja. Saya agak pesimis, soalnya suara Daddy cempreng hihihi. Tapi kalau itu membuatnya bahagia, ya tidak apa-apa. Oiya, saya sudah tahu bagaimana cara meng-treatment dia dengan benar. Kalau dia mulai rewel, kubiarkan saja dulu dia beberapa hari. Saya sedang belajar tidak memasukkannya dalam hati. Sering kusadari bahwa ketegaran ini bermula dari memiliki ayah seperti dia.

Meike merindukan Mami setiap saat. Tahukah Mami, Meike masih menyimpan nomor WA Mami di hape, berharap nama Mami muncul dan kita bisa ngobrol seperti dulu lagi. Ahhh, waktu begitu cepat berlalu ya Mam. Kini sudah 1 tahun lebih setelah Mami pergi. Banyak yang terjadi Mam. Mami pasti tahu itu. Kadang-kadang rindu ini terlalu hebat sampai saya tak kuat menanggungnya. Sejak kepergianmu, Meike bangun pagi dengan lubang hitam di dada. Terlalu sakit. Tapi, ajaibnya seperti ada energi positif. Energi cinta itu membuat kita masih bisa bertemu di ruang-ruang semiotik. Ada pengharapan bahwa suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Mami tahu, saya baru memberanikan diri mendengar rekaman suaramu. Waktu pulang kemarin, kupaksa Daddy mencari recorder itu. Pas kubuka, ternyata masih ada rekaman interview-mu dengan Makrus waktu dia ke Makassar dulu dan rekaman suara Mami yang lain. Mami, ingat kan, Makrus yang menemaniku menyebrangi lautan Samudra Hindia untuk bisa pulang melihat jasadmu. Heroik sekali Makrus waktu itu. Macam ksatria berbaju zirah dia, tapi yang naik pesawat hehehe. 

Mami tahu tidak? bahwa tanggal kematian Mami ternyata merupakan hari perayaan Santo Thomas. Iya, Mam, Thomas si peragu. Mami sering bilang saya ini "peragu" akan janji Tuhan. Mami selalu percaya bahwa Meike akan sampai di posisi ini, meskipun bagiku waktu itu rasanya hampir mustahil. Menurutku, Thomas itu kritis, Mam. Dan Tuhan juga tampaknya tidak keberatan dengan orang yang ragu dan kritis. 

Ada satu hal yang juga kusyukuri. Terima kasih ya Mami sudah mengajarkan kepada saya untuk melihat bahwa kematian adalah sahabat lama yang layak untuk disambut dengan rindu. “Tugasku sudah selesai, sekarang lanjutkan perjuanganmu”. Begitu katamu Mam. Kata-kata yang baru kupahami setelah kepergianmu. Kata Kak Ruth, Mami seperti moksha. Mami mati dalam keadaan terberkati. Mami menyambutnya dalam hening. Dying gracefully. Yang kusesali adalah tidak bisa menemanimu di saat terakhir. Kita bahkan tidak diizinkan mengucapkan salam perpisahan. Mami tahu, kita tak akan berpisah selamanya.

Oiya, Meike mau cerita kalau Meike sekarang mengalami yang Mami lakukan hampir seumur hidup Mami: absen sebagai pegawai hahahaa. Susah juga ya Mam. Harus bangun pagi dan sebagainya. Jadi ingat betapa Mami kesal kalau saya membuat Mami terlambat. Betapa jauh perjalanan pulang balik demi supaya Mami menunaikan tugas yang Mami cintai. Mami mencintai pekerjaan Mami. Dan banyak orang yang merasakan sinar kasihnya sekarang. 

Saya juga mau cerita kalau saya sedang berelasi dengan seseorang Mam. Mami tahu sendiri siapa hehee. Tapi saya ingat ketika terakhir kali saya curhat tentang seseorang yang pernah dekat dulu, Mami bilang,”Ya harus diterima. Kalau kita bukan menjadi pilihan hatinya”. Sedih rasanya mendapati perasaan kita tidak berbalas. Sedih rasanya tidak dicintai kembali. Atau ketika mereka tidak mencintai kita dengan cara yang sama seperti yang kita harapkan. Tapi yang ini beda, Mam. Dia memahami dan menerima perasaan Meike. Dia bisa mengenali dan membedakan Meike dari yang lain. Kami begitu berbeda, sekaligus begitu mirip. Dia revolusioner, sementara Meike rebel. Dia tidak bisa diikat, sementara Meike tidak bisa dikekang. Kami sama-sama menyerahkan hidup kami untuk orang banyak. Bila bersamanya, ketakutan Mami bahwa saya akan hidup seperti burung dalam sangkar emas kemungkinan besar tidak terjadi. Tapi begitulah, kisah kami tidak lazim. Maklum kami berdua juga dua manusia yang tidak lazim hehehe. Tapi aku berharap Mami lega, Tuhan akhirnya mempertemukan Meike dengan padanan katanya. 

Meike masih punya banyak PR. Meike mau belajar untuk melepaskan kemelekatan seperti Mami. Belajar menerima. Dan memiliki pengharapan bahwa segala sesuatu akan indah pada waktuNya. Bahwa anugrah Tuhan bukan sekedar pemberian, tetapi suatu proses merespon panggilan dan bekerja bersama-sama dengan Allah. Tidak mudah. Tapi Dia selalu meneguhkan kita. 

Sudah dulu ya Mam. Nanti kita lanjut lagi.

You Might Also Like

0 comments