Drona

Selasa, Agustus 01, 2017

Tersebutlah seorang resi yang sakti mandraguna bernama Guru Drona. Ia ahli bidang kemiliteran dan juga kitab-kitab kebijaksanaan. Banyak orang ingin berguru padanya, termasuk para pangeran dinasti Kuru. Demi masa depan bangsa dan negara, maka berangkatlah kelima putra Pandu dan keseratus Kurawa berguru pada sang Brahmana. 

Di antara murid-muridnya, ada satu yang menarik hati sang Resi. Dialah Arjuna, putra Bapak Pandu dan Ibu Kunti. Arjuna memang terlahir dengan segala yang indah dan terbaik. Ketampanan, kecerdikan, dan ketangkasannya tak tertandingi. Tak hanya ahli berstrategi, Arjuna juga jago di bidang seni. Sungguhlah si Arjuna menantu idaman Papi-Mami di rumah. Jangan lupa dia anak Raja, bahkan putra kandung Raja Kahyangan, Indra. 

Guru Drona jatuh hati pada Arjuna. Ia menjadi murid kesayangan bahkan sejak pertama bertemu. Arjuna sangat menonjol di bidang memanah. Maka, berkatalah Drona di dalam hatinya, “Akan kujadikan Arjuna pemanah terbaik di dunia”. Si Arjuna juga jadi jumawa. Tahu gurunya mendukungnya sepenuh jiwa raga, Arjuna kadang bikin jengkel Duryodana dan saudara-saudaranya. Itu loh si Arjuna gayanya macam orang-orang masa kini yang suka merendah supaya minta dipuji-puji terus. 

Begitulah proses pendidikan Drona pada Arjuna. Arjuna dipilih karena dia memiliki potensi besar di masa depan. Drona bisa berlindung padanya untuk kekuasaan maupun ambisi-ambisinya. Tapi, kan Arjuna itu hidup di hutan bukan di Istana? Ya ya ya…memang sih meskipun hidupnya menderita karena ulah paman Sengkuni, tapi Arjuna tetaplah datang dari kaum Ksatria, kaum penguasa. Semenderita apapun si Arjuna, dunia masih memihaknya. Lagipula Tante Kunti masih saudara dengan Balarāma dan Sri Khrisna, siapa yang berani menantang? 

Tetapi suatu hari datang seorang anak hutan bernama Ekalaya. Meski sama-sama tinggal di hutan, Ekalaya ini stratanya beda dengan Arjuna. Ia tak diketahui asal usulnya, ia kaum minoritas lapis entah ke berapa. Meskipun demikian, Ekalaya anak yang cerdas dan berbakat. Ia sangat ngefans dengan Drona dan ingin berguru padanya. Kemampuan alamiah tiada tara yang dimiliki Ekalaya adalah memanah. Sesuatu yang justru digadang-gadang Drona untuk Arjuna. Nah loh! 

Ekalaya datang pada Drona memohon untuk berilmu padanya. Drona memperhatikan anak itu dengan tatapan meremahkan. Arjuna juga ada disitu, diam-diam mencibir. Drona berkata menguji,”Baiklah anak muda tunjukkan kemampuanmu”. Ekalaya pun beraksi, namun dari semua ketangkasannya pada bagian memanahlah yang membuat Drona kagum, ia bahkan berkata dalam hati,"Sungguh anak ini lebih jago dari Arjuna”. Arjuna yang melihat kepiawaian Ekalaya langsung keder. Kurawa juga ada disitu, terpesona sekaligus senang ada yang bisa melebihi kemampuan Arjuna. 

Begitu menyelesaikan atraksinya, Ekalaya berlutut di hadapan Drona. Drona sesungguhnya ingin sekali merekrut anak minoritas ini sebagai muridnya. Tetapi, ia teringat akan ambisinya juga potensi masa depan yang dimiliki Arjuna. Apalah artinya anak minoritas ini dibandingkan Arjuna? Lagipula, Drona juga ingin menjaga perasaan Arjuna yang dilihatnya sudah mau menangis. Perasaan mayoritas lebih penting dari anak minoritas di depannya ini. Dengan tega hati, Drona berkata tidak pada Ekalaya. 

Ekalaya pulang dengan rasa kecewa di hatinya. Mungkin juga marah dan sedih. Ia tahu diri. Dibandingkan Arjuna ia bukanlah aset yang diharapkan. Ekalaya tinggal sebagai nomad, tak punya basis organisasi apalagi potensi jaringan dimana-mana. Ia hanya punya bakat dan ketekunan. Cita-citanya sederhana, ia ingin menghabiskan seumur hidupnya untuk mencari ilmu. Tak ingin ia menjadi penguasa karena ia diam-diam ingin menjadi seorang resi seperti pujaannya, Drona. 

Meskipun merasa tidak berdaya, Ekalaya tidak putus asa. “Jika Guru Drona tidak mau memilihku menjadi muridnya, maka aku akan membangun “Drona” bagi diriku sendiri". Ekalaya kemudian menebang pohon jati, lalu ia memahat pohon itu dengan sempurna menyerupai rupa Drona. Di bawah patung Drona, ia berlatih setiap hari tanpa henti. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa meskipun hanya melalui “bayang-bayang” Drona. 

Bertahun-tahun kemudian, para Pandawa dan Kurawa telah remaja. Mereka telah hampir menguasai ilmu dari Drona. Kini tibalah waktunya untuk ujian. Masing-masing anak Pandu dan Kurawa maju memamerkan keahliannya. Drona tersenyum puas melihat anak didiknya, terlebih pada Arjuna. Arjuna saat itu memamerkan keahliannya memanah. Drona puas dalam hati telah menciptakan pemanah terbaik di dunia. Di tengah-tengah atraksi Arjuna, muncul panah lain. Panah itu mengalahkan panah-panah Arjuna. Arjuna terperangah tak percaya, Drona apalagi. Pemilik panah itu dengan gagah berani menampakkan dirinya. Dialah Ekalaya yang dulu ditolak Drona menjadi muridnya. Dengan resah Drona menghampiri Ekalaya. 

“Darimana engkau mempelajari ilmu memanah sehebat itu anak muda?,” tanya Drona 
“Dari yang mulia Guru,”kata Ekalaya. Lalu, ia menyambung,” Setiap hari aku berlatih tanpa jemu di bawah patung Guru Drona yang kudirikan sendiri bagiku." 
Drona terkesiap. 

Anak ini meskipun hanya berlatih di bawah “bayang-bayang”-nya tetapi Ekalaya jauh lebih mumpuni daripada Arjuna yang tinggal satu atap dengannya. Gelar pemanah terbaik di dunia yang tadinya digenggam Arjuna terancam jatuh pada Ekalaya. Tidak, gelar pemanah itu tidak boleh jatuh ke tangan Ekalaya. Drona bimbang. Ambisinya terancam karena anak hutan ini. Dilihatnya Arjuna yang menatapnya dengan tatapan “awas ya kalau gue gak dapat gelar ini, nanti kalau jadi raja gue gak kasih lo jatah jadi pejabat”. Maka Drona membuat keputusan yang membuat geger dunia ilmu pendidikan, juga murid-muridnya termasuk Duryodana. 

“Baiklah karena kau telah berlatih di bawah “pengawasanku” maka aku akan meminta sembah bakti-mu sebagai murid,” begitu Drona bersabda. Di zaman itu, sudah lazim jika seorang guru meminta apa saja sebagai balasan dari ilmu yang diwariskannya kepada murid-muridnya, dan murid-muridnya tidak boleh menolak. Ekalaya senang sekali, ia akhirnya mendapat pengakuan dari “guru”-nya itu.

“Apakah itu Guru?,” tanya Ekalaya. 
Dengan dingin Drona berkata,”Berikanlah aku satu jempol kanan-mu”

Ekalaya tercengang tak percaya. Jempol itulah kunci dari kemampuan memanahnya. Arjuna ikut terkejut tapi dalam hati lega juga sih. Duryodana yang biasanya terkenal antagonis mendadak jadi melankolis. Semua orang berharap cemas apa reaksi Ekalaya. 

Di luar sangkaan, Ekalaya berlutut di hadapan Drona. Ia mengeluarkan sangkur dari kantong celananya. Dengan dramatis ia memotong jempolnya dan menyerahkannya pada Drona sebagai sembah bakti. Drona mengambilnya dengan takzim. Lalu menyuruh Ekalaya pulang. 
“So sorry, next time aja kamu kesini ya…” 

Sejak hari itu, Arjuna menjadi pemanah terbaik di dunia. Tak ada yang dapat menandinginya. Bagaimana dengan Ekalaya? Well, kita tak pernah tahu nasib Ekalaya. Siapa yang peduli dengan minoritas seperti dia?

You Might Also Like

0 comments