Natal Tahun Ini

Selasa, Desember 27, 2016

sumber: tumblr



Sudah dua hari berlalu sejak Natal dan saya masih mendapat ucapan selamat dan mengucapkan selamat dalam suasana kasih dan persaudaraan. Dari semua ucapan-ucapan itu, ada beberapa kawan yang menanyakan kado Natal apa yang telah saya terima. Saya sudah lama tak menerima kado dalam bentuk fisik. Pertukaran kado merupakan tradisi, sementara keluarga saya tak ikut tradisi itu. Cara keluarga saya memaknai Natal telah mendidik saya bahwa bisa merayakan Natal bersama dengan keadaan yang baik adanya adalah kado yang luar biasa dan itu jauh lebih bermakna daripada apapun. Tahun ini, salah satu Oma saya berpulang padahal biasanya setiap Natal kami akan sowan ke rumah beliau. Kami gembira menyambut Natal, tapi kami juga diliputi rasa sendu.

Pertanyaan tentang kado itu membuat saya berpikir bahwa orang-orang telah mengidentikkan Natal dengan kado. Natal memang selalu dikonstruksi sebagai hari yang penuh sukacita. Ada banyak kemeriahan bahkan kemewahan yang lahir dari selebrasi ini. Tahun ini saya malah merasakan Christmas spirit justru hadir di Mal-Mal dibandingkan di dalam Gereja. Sejak masa Advent, Gereja terlihat murung. Ornamen keceriaan Natal tetap ada di gereja, tetapi seperti gadis cantik yang patah hati, ia bermuram durja. Berbagai peristiwa dan tekanan yang dialami Gereja (dari perbatasan Palestina-Israel, Suriah, Jerman, sampai Indonesia) menjadikan Gereja memaknai Natal dengan bijak. 

Tak ada yang salah sesungguhnya dengan sukacita dan semarak. Bagi yang mengimani, Natal adalah hari yang penuh kebahagiaan karena keselamatan telah nyata bagi kami. Seperti seorang tahanan yang bebas dari penjara, kami menyambut hari Natal dengan gegap gempita. Ada sukacita, ada damai, dan ada debar-debar. Namun, Natal tidak selalu tentang perayaan dan sukacita. Natal tidak selalu tentang kebahagiaan. June, sahabatku yang juga seorang teolog, pernah berkata bahwa keselamatan lahir bersamaan dengan penderitaan. Ada saudara kembar tak terpisahkan dan harus direnguk bersamaan untuk menyambutnya. Ia mengatakan itu dengan sedih. 

June juga yang pertama kali mengajakku merefleksikan kisah Kelahiran Mesias yang terjadi dua millennium yang lalu dengan cara yang berbeda. Kami berfokus pada konteks politik di masa itu. Kisah sedih yang bermula dari kedatangan tiga orang Majus. Para Majusi adalah orang-orang asing. Teks lain merujuk mereka sebagai raja dari negara-negara tetangga di luar Israel. Teks lain juga berbicara bahwa mereka adalah para mistikus yang mempercayai sihir dan mitologi. Kedatangan Pemimpin Baru yang merevolusi umat manusia telah diramalkan sejak ratusan tahun lalu, disimpan selama berabad-abad dan dibacakan setiap hari Sabat. 

Para Majusi melihat bintang-Nya. Bintang Timur, bintang di atas segala bintang. Bintang yang menandakan suatu peristiwa besar di dalam mitologi. Bintang itu menunjuk suatu tempat. Para Majusi pun bergegas kesana dengan membawa persembahan: emas, kemenyan, dan mur. Dalam perjalanannya itu, mereka bertanya-tanya dimana sang Raja yang baru saja dilahirkan itu. Orang-orang asing yang datang ini menggemparkan orang-orang lokal. Tak terkecuali penguasa disana, Raja Herodes, yang terkejut dan kemudian merasa terancam. Ia memanggil penasehat dan ahli-ahli Taurat yang mengonfirmasi ramalan purba tentang kedatangan Mesias. Tak puas, Herodes memanggil para Majusi, bertanya-tanya darimana mengetahui hal itu, sambil menitip pesan, “Kalau udah ketemu Anak itu, kabari gue ya…” 

Namun para Majus tak kembali menemui Herodes. Mereka (secara politik) melindungi Anak itu. Raja Herodes berang bukan main. Kemunculan pemimpin baru selalu menakutkan bagi pemimpin lama. Dititahkannya untuk menyingkirkan lawan politiknya itu. Tentu saja bukan dengan potongan video yang diposting di Youtube. Herodes menitahkan terjadinya kejahatan kemanusiaan yang mengerikan. Ia dengan hati dingin melakukan operasi pembantaian anak-anak laki-laki berusia dua tahun ke bawah yang berada di seluruh daerah kekuasaannya. Apakah kau bisa membayangkan betapa paradoksnya sukacita Natal bila diiringi tangisan ribuan bayi yang tewas dan ribuan ibu yang meratapi kematian mereka? Ini sebuah turbulen. 

Walaupun dibayangi penderitaan dan kesedihan, sukacita Natal tetap terang benderang. Ia menjadi matahari dalam dingin dan gelapnya dunia. Pada hari itu, orang-orang diperkenankan untuk berharap sesuatu yang istimewa akan terjadi. Meskipun sesuatu itu sangat tak mungkin terjadi. Simbol Santa Claus menjadi bermakna karena kita boleh percaya pada kemustahilan, percaya pada keajaiban. Pada hari itu, anak akan bertemu dengan orang tuanya, kekasih akan bertemu dengan kekasihnya, dan sahabat yang telah lama tak berjumpa akan bertemu kembali. Tangis bayi mungil yang dibungkus lampin itu mengingatkan kita akan harapan. Tetapi, tangis ribuan bayi yang dibantai mengingatkan kita akan derita dan ketidakadilan. 

Mungkin begitulah cara Tuhan menyapa manusia. Meskipun kau telah melihat berbagai ketidakadilan. Meskipun penderitaan berat menekan hidupmu. Kau hanya perlu ingat satu hal: kau selalu punya Harapan.


Selamat Natal.

You Might Also Like

2 comments

  1. Selamat Natal!
    Dan turut berduka atas kepergian oma.

    Tentang pembataian keji itu, kejadiannya mungkin tidak saat Yesus lahir. Krn orang Majus dtg dari negeri jauh (dan tidak ada GPS saat itu), mereka perlu krg lbh 2 thn. Memang, kdang kegembiraan itu hadir saat teror lenyap, atau bisa saja keduanya datang beriringan.

    Thanks for writing!

    BalasHapus
  2. Terima kasih informasinya ya.

    Selamat Natal!

    BalasHapus