Life Story

Mohon Maaf Lahir dan Batin

Rabu, Juli 15, 2015

Beberapa hari yang lalu, kak Emma -via Line- memberitahu saya bahwa ia menjalani sahur bersama kak Abe dan Kak Were di kantor Revius. Katanya, momen itu mengingatkan dia pada bulan puasa setahun silam ketika dia, saya, dan Kak Abe yang bersahur-ria di kantor Revius. Waktu memang cepat sekali berlalu. Dan seperti kata Kak Abe, bahwa ia menanam memori pada lagu-lagu yang mengingatkannya pada suatu kenangan, saya juga mengingat lagu Blue Moon-nya Rod Stewart sebagai lagu yang memberi kenangan pada momen itu. 

Tahun ini saya merayakan lebaran di Jogja demi tugas akademik dan mau menemani Eyang. Cuma saya, Eyang, Mbak Par, Pak Jono, dan si kecil Aziz yang tinggal di rumah besar itu. Anak-anak yang lain pada mudik. Jogja lengang dan tempat-tempat makan kebanyakan tutup. Saya tidak tahu harus makan apa besok pagi. Eyang berjanji bahwa kami akan makan opor ayam dan ketupat besok sampai lebaran. Bisa juga nanti diselingi McD. Beberapa teman kuliah yang juga tetap tinggal di Jogja mengajak untuk ikut makan-makan pas lebaran. Saya ingin pergi tapi nanti tergantung sikonnya (susah mendapat kendaraan umum pada hari raya). 

Lebaran bagi saya memberikan satu makna: pengampunan. Mungkin pada hari raya inilah kita akan saling mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Jika kita sungguh-sungguh mendalaminya, memohon maaf lahir dan batin pada orang lain itu sangat dalam maknanya. Memaafkan itu tidak mudah, saudara. Dan begitu banyak perbuatan kita baik sengaja atau tidak sengaja telah melukai hati orang lain. Butuh kekuatan besar untuk memaafkan. Dan hanya orang-orang yang kuat hatinya yang mampu mengampuni. Saya belum memiliki hati sekuat itu. Terkadang saya lebih memilih menghindar untuk meredam konfrontasi. Saya pikir itu tidak sehat. Tapi, saya belum mengetahui dimana batas antara memaafkan dan menghindari seseorang karena perbuatannya. Saya belum tahu batas antara mana perbuatan yang patut dimaafkan dan mana perbuatan yang perlu dihindari. Hingga saya bertanya-tanya, apakah kita perlu memaafkan orang-orang yang melukai kita karena pikirannya tidak normal? Dia toh berbuat salah karena ia tak sadar. Lalu, apa hanya perbuatan yang dilakukan dengan penuh kesadaran yang pantas menerima pengampunan? Entahlah. 



Dari hati yang paling dalam. Saya mohon maaf lahir dan batin. 


Archolic

Tersibaknya Misteri Gereja Gothik Sayidan

Rabu, Juli 08, 2015

Saya tak menyangka bahwa tulisan saya tentang Gereja Gothik Sayidan mendapat banyak respon dari pembaca blog sekalian. Ternyata, bangunan ini memang banyak menarik minat mereka yang menyukai misteri dan arsitektur. Saya termasuk keduanya. Dan saya senang, ternyata saya tidak sendiri. Saya juga bertemu dengan seseorang yang pernah kuliah di Jogja dan mengetahui kisah tentang Gereja Gothik Sayidan. Katanya, bangunan itu dulunya gereja tetapi karena dianggap sesat, makanya ditutup. Lain kesempatan saya bertemu orang lain lagi yang bercerita bahwa gereja itu ditutup atas permintaan masyarakat setempat. Sesungguhnya hal itu cukup aneh, mengingat tempat di sebelah Gereja Gothik Sayidan, berdiri gereja lain. Andaikata masyarakat melarang, mengapa tidak dua-duanya saja ditutup? atau betulkah bangunan itu memang tempat perkumpulan bagi penganut ajaran sesat?

***

Perkenankan saya memperkenalkan sobat saya Yerinta. Kami memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama anak tunggal dan sama-sama memiliki nama Lucia. Kami sama-sama suka filsafat. Yerinta adalah mahasiswa Filsafat di UGM dan saya sendiri sedang pelan-pelan belajar filsafat. Puncaknya, kami sama-sama tertarik dengan Gereja Gothik Sayidan. Dari Yerinta-lah saya baru ngeh, bahwa gereja Gothik Sayidan pernah menjadi lokasi syuting video klip-nya Ari Lasso dalam lagu Perbedaan. Lagu Perbedaan sendiri hits di awal tahun 2000-an, jadi sudah sekitar 10 tahun lebih. Pada saat video klip itu dibuat, Gereja Gothik Sayidan masih bersih dari tetumbuhan merambat. Bangunannya masih kokoh dan megah. Sekarang, kita bisa liat bangunan itu mulai diselimuti tumbuhan rambat, jendelanya yang rusak disana-sini, dan salah satu menara yang mau tumbang. Mungkin saja, hanya Ari Lasso satu-satunya yang diperkenankan masuk ke dalam rumah itu.




Saya dan Yerinta pun mulai membahas Gereja Gothik Sayidan dan informasi yang kami ketahui masing-masing (informasinya hampir sama dengan yang kalian ketahui juga). Merasa bahwa bangunan ini memang misterius, kami berencana melakukan tapak tilas. Tapi, hal itu tak pernah terwujud karena kesibukan masing-masing. Saya juga sudah bertanya pada Eyang, sebagai warga Jogja sejati. Tapi beliau malah tidak tahu bangunan itu. Saya akhirnya memutuskan bertanya pada sumber yang tak bisa diragukan lagi, yaitu Om N. Om N adalah suami dari keponakan Eyang. Om N mengetahui segala seluk beluk kota Yogyakarta maupun daerah di pulau Jawa. Maka, pada suatu kesempatan saya pun menanyakan perihal Gereja Gothik Sayidan.

Di luar dugaan, Om N tahu mengenai tempat itu bahkan mengenal sang pemilik rumah. Sang Pemilik Rumah dan Om N akrab ketika mereka masih sama-sama jadi anak break dance di tahun 80-an. Om N bercerita rumah itu dibangun pada tahun 1980-an oleh keluarga temannya itu. Teman Om N itu seorang Tionghoa dan kaya raya. Rumah itu sebenarnya rumah biasa bukan gereja seperti yang disebutkan orang. Memang sih arsitekturnya seperti gereja pada umumnya, tapi kata Om N itu rumah biasa. Om N sendiri juga merasa sayang bahwa rumah itu sudah tidak terurus lagi. Ketika saya bertanya apa hubungan antara tulisan ullen sentalu di pintu Gereja Gothik Sayidan dan museum Ullen Sentalu, Om N tidak tahu menahu. Dan misteri itu pun tersibak dengan antiklimaks. 

Itulah penyelidikan saya sampai sejauh ini. Saya berspekulasi bahwa bisa saja masyarakat setempat membangun mitos mengenai bangunan itu. Ada banyak hal mengapa suatu tempat layak menjadi mitos. Bisa saja karena ia mengundang decak kagum atau kontroversi. Rumah tinggal dengan banguanan gothik lengkap dengan patung Yesus sebesar gaban itu tentu menimbulkan decak kagum dan rasa heran sekaligus. Apalagi ketika misalnya rumah itu sudah tidak ditinggali lagi. Mungkin, kita bisa menanyakan Ari Lasso yang pernah masuk ke rumah itu dan mungkin juga mengenal pemilik rumahnya. Tapi untuk sementara, misteri itu sudah tersibak....sedikit demi sedikit. 

Kenapa Saya Mendukung Pernikahan Sesama Jenis?

Kamis, Juli 02, 2015

*google*


Awalnya saya pikir karena saya memiliki banyak teman gay. Mereka baik hati dan tidak pernah jahat pada saya. Mereka kadang lebih manusiawi memperlakukan perempuan daripada cowok heteroseksual yang mengaku macho. Saya pikir tidak ada salahnya untuk menunjukkan solidaritas. 

Beberapa waktu yang lalu, Amerika Serikat telah melegalkan pernikahan sesama jenis di seluruh negara bagiannya. Presiden Obama sendiri secara terang-terangan menanggapi hal itu secara positif. Bagi, Pak Presiden yang penting adalah semua warga negaranya mendapat persamaan hak di mata hukum. Tentu saja keadaan ini seperti pungguk yang akhirnya mendapatkan bulan bagi kaum gay -yang seumur hidupnya- hidup dengan tekanan dan beban. Di titik ini, mereka akhirnya memiliki kepastian hukum terutama untuk melegalkan pernikahannya. Kau tahu pernikahan yang legal meminimalisir resiko kerugian ketimbang tidak sama sekali. 

Lalu apa persoalannya? 

Legalisasi pernikahan sejenis memang mengundang kontroversi. Hal ini wajar saja sebenarnya. Lagipula sebelum Amerika, sudah banyak negara lain yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Letak persoalannya adalah karena legalisasi itu dilakukan negara adidaya yang menjadi kiblat bagi peradaban modern. Kasarnya, kalau di Amerika saja sudah legal, maka bisa jadi negara-negara yang didominasi macam negara dunia ketiga juga ikut-ikutan (seperti tuduhan kalau free sex datangnya karena pengaruh barat). Selain itu, untuk mendukung legalisasi pernikahan sesama jenis, Facebook membuat aplikasi untuk mem-pelangi-kan foto profil user yang sepakat dengan hal itu. Pelangi adalah simbol dari kelompok gay di Amerika. Wajar saja sih Facebook mengeluarkan aplikasi itu, lah yang punya orang Amerika kok. 

Keadaan ini jelas membuat murka kaum agamawan -agama apapun- dan kaum awam konservatif. Ada sih sebagian kelompok agama yang bersikap terbuka dan menerima hal ini. Tapi, tidak berarti kontra dari kelompok lain redam begitu saja. Mereka yang kontra umumnya mengaitkan pernikahan sejenis dengan dogma agama masing-masing. Pernikahan sejenis berarti melanggar dogma agama. Tapi, sebenarnya bukan pernikahan saja masalahnya. Sumber utama masalah adalah kelompok LGBT-nya atau dalam kasus ini kaum Gay. Dari semula kaum ini sudah dianggap anomali dan legalisasi pernikahan justru mengakui keberadaan mereka. 

Alasan saya menyetujui pernikahan sejenis sebenarnya sederhana saja, sesederhana teman-teman yang tidak sepakat dengan pernikahan sejenis. Kalau mereka tidak sepakat karena hal itu menodai agama, maka saya sepakat karena pernikahan sejenis berhubungan dengan kemanusiaan. Tapi, sebelumnya, apakah manusia? 

Bumi ini menjadi tempat tinggal bagi banyak makhluk hidup, salah satunya manusia. Manusia itu ada yang lelaki dan perempuan. Kedua makhluk ini dikategorikan demikian karena ada fakta empirisnya, ada sesuatu yang sudah jadi kodrat, jenis kelamin. Manusia yang memiliki penis dan bisa menghasilkan sperma bernama Laki-Laki. Manusia yang memiliki vagina, rahim, menstruasi, punya kemampuan melahirkan, menyusui, dan payudaranya lebih besar dari laki-laki bernama perempuan. Kedua hal ini tidak bisa diganggu-gugat. Yang sama-sama sejenis baik laki-laki atau perempuan disebut homo, yang artinya manusia. 

Kita kini berkenalan dengan identitas seksual yaitu karena saya memiliki ciri-ciri perempuan maka identitas seksual saya adalah perempuan. Tapi, ternyata ada juga manusia yang memiliki kemampuan menjadi laki-laki pada usia tertentu dan tiba-tiba saja memiliki rahim pada waktu tertentu. Atau ada juga perempuan yang nyata-nyata memiliki vagina, namun kemudian di usia tertentu tumbuh pelir di kelaminnya. Kok bisa? Umumnya orang menyebut mereka sebagai hemafrodit. Hal ini memang sangat fisik sekali. Bahkan polanya juga dialami oleh makhluk bersel satu lainnya. Pada periode tertentu, mereka -dengan pertimbangan medis- diharuskan memilih salah satu identitas seksual. Biasanya mereka akan memilih berdasarkan apa yang paling mereka "rasa"kan. Mereka inilah yang disebut transeksual. Di sini kita sepakat, manusia tidak mudah untuk disederhanakan. 

Secara kodrati, manusia memiliki kemampuan untuk bereproduksi, seperti halnya makhluk hidup lain. Tentu saja cara bereproduksi ala manusia adalah dengan peristiwa fertilisasi alias bertemunya sperma dan sel telur. Hal ini menyebabkan kemampuan bereproduksi secara alami dimiliki oleh manusia laki-laki dan perempuan, atau yang memiliki kemampuan bereproduksi. Kita akan berkenalan dengan istilah heteroseksual, yaitu relasi berbeda jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Hubungan antara lelaki dan perempuan tidak hanya melibatkan fisik saja, tapi juga jiwa. Kita tertarik pada cowok ganteng, itu seks. Tapi kalau kamu bertahan dalam hubungan untuk mencintai orang itu sampai kapan pun, itu cinta. Cinta dan seks kadang berkelindan. Seks bisa membuat kita mencintai orang dan cinta bisa membuat kita tidak mengutamakan seks dengan orang itu. Kita kemudian berpindah pada persoalan yang lebih luas dan kompleks: seksualitas

Ada banyak persoalan dalam seksualitas, salah satunya yang berhubungan dengan orientasi seksual. Orientasi seksual sangat erat dengan identitas seksual: karena saya merasa identitas saya sebagai perempuan maka orientasi seksual saya adalah laki-laki. Problem lagi-lagi muncul: rupanya manusia bisa memilih identitas seksual menurut apa yang ia rasakan. Sayangnya,  jenis kelamin tidak. Seorang laki-laki bisa saja merasa ia adalah perempuan dan oleh sebab itu orientasi seksualnya adalah laki-laki. Kelompok ini umumnya kerap melakukan transgender. 

Apa sih gender? Banyak orang sering salah kaprah dengan istilah ini. Gender disamakan dengan kodrat atau yang terberi dari Tuhan itu. Gender bukan kodrat. Ia adalah konstruksi sosial mengenai kelelakian dan keperempuanan. Laki-laki itu pemimpin, kuat, perkasa, dingin, rasional, dll sementara perempuan itu pendamping, cengeng, ngurus anak, suka kerja di dapur, sensitif, dll itu gender. Gender bisa dipertukarkan tergantung keadaan budaya setempat. Seorang lelaki yang beridentitas seksual perempuan dan sudah operasi kelamin tetap saja dianggap laki-laki karena laki-laki dan perempuan dalam konteks jenis kelamin adalah alamiah dan kodrati. Sudah tentu operasi kelamin buatan manusia tidak diperhitungkan. Maka, walaupun sudah berganti kelamin sekalipun, seorang laki-laki tetap saja laki-laki di mata publik. Yang bisa dilakukan kaum ini adalah dengan melakukan transgender, yang berarti ia melakukan transmigrasi dari peran yang harusnya buat laki-laki ke peran yang dilakukan perempuan. Tapi, tidak semua transgender itu homoseksual. Biasanya ada yang tetap menjadi laki-laki dengan proporsi dan sifat-sifat keperempuanan, ada juga perempuan yang memiliki proporsi dan sifat kelelakian. Banyak juga kok dari mereka yang tetap menjadi heteroseksual. Homoseksual belum tentu sama dengan transgender. 

Homoseksual bisa saja terjadi pada lelaki yang beridentitas seksual laki-laki tetapi memiliki orientasi seksual laki-laki, sebaliknya begitu juga dengan perempuan. Banyak penelitian yang mengemukakan bahwa kecenderungan seseorang menjadi gay bisa terjadi secara biologis (artinya sudah dari gen), psikologis (disebabkan oleh trauma), dan lingkungan. Yang terakhir ini saya pikir terjadi karena sebelumnya yang bersangkutan sudah memiliki gen atau psikologis yang mengarah kesana. WHO sendiri sudah mengeluarkan pernyataan bahwa LGBT bukan penyimpangan atau penyakit kejiwaan tetapi varian dari seksualitas manusia. Lagian dari fakta-fakta sejarah dan mitos, keberadaan LGBT juga setua kehidupan manusia heteroseksual di muka bumi. 

Orientasi seksual sama seperti identitas seksual dapat beragam dan berbeda-beda. Itulah sebabnya ada juga orang yang biseksual atau orientasi seksualnya bisa keduanya, laki-laki dan perempuan. Kebanyakan teman-teman gay saya yang masih denial berada di fase ini. Nah, disinilah problem LGBT: jenis kelamin yang kodrati berhadapan dengan identitas seksual dan orientasi seksual yang ternyata beragam. Celakanya, dunia ini didominasi oleh kaum heteroseksual. Sudah menjadi bawaan orok bahwa yang mayoritas cenderung semena-mena pada yang minoritas. Mungkin juga karena mereka insecure dengan kelompok minoritas. 

Masyarakat heteroseksual umumnya dikuasi oleh manusia laki-laki. Budaya Patriarki menempatkan laki-laki sebagai titik ordinat dalam segala aspek. Yang lain menjadi sub-ordinat, termasuk perempuan dan kaum LGBT. Dan kita tahu bersama, agama-agama besar di dunia lahir dalam budaya Patriarki. Patriarki menempatkan laki-laki untuk lebih unggul dari perempuan dan perempuan dibebankan untuk menjaga ego lelaki. Laki-laki yang sifat dan perilakunya tidak mengikuti aturan main Patriarki akan disingkirkan. Contoh sederhana mereka sering dikatai banci atau bencong. Tahukah kau, bahwa istilah bencong atau banci lahir dari tindakan misoginis laki-laki pada perempuan, bahwa perempuan itu mahkluk kelas dua sehingga kalau laki-laki yang tak perkasa, dingin, rasional, atau jadi pemimpin maka ia adalah banci alias keperempuan-perempuanan. Mengatakan banci atau bencong secara tidak langsung juga mengejek sifat-sifat keperempuanan. Sayangnya, pembiaran dalam istilah ini membuatnya menjadi kata biasa bahkan lelucon. Banyak perempuan juga yang suka menggunakan kata-kata ini. Kalau mau dikembalikan ke makna asalnya, saya sebagai perempuan merasa terhina! 

Dalam budaya Patriarki, relasi yang terjadi umumnya berbentuk hierarki. Kita bisa lihat pada pembagian kelas masyarakat Amerika tahun 1900-an: laki-laki kulit putih berada di urutan teratas, kemudian perempuan kulit putih, lalu laki-laki kulit berwarna (umumnya kulit hitam), disusul perempuan kulit berwarna (umumnya kulit hitam), dan terakhir kaum LGBT. Bentuk hubungan yang hierarki menempatkan ada yang lebih tinggi dari yang lainnya. Kita tahu bersama jika bentuk hierarki cenderung tidak adil dan rentan pada kekerasan. Oleh sebab itu, kita harus mengusahakan kesetaraan bahwa manusia apapun jenis kelamin, suku, agama, ras, orientasi seksual, bahkan pilihan hidupnya berhak diperlakukan setara dan adil. Sebab itulah dasar kemanusiaan kita: memperlakukan manusia sebagai manusia. Semua agama pasti sepakat dengan hal itu. 

Atas dasar kemanusiaan dan secara sadar, saya memilih mendukung pernikahan sejenis. Alasan tersebut memang terasa fundamental sekaligus heroik. Tapi saya juga punya alasan lain yang meskipun banal, juga lahir dari dasar kemanusiaan itu: 

1. Pernikahan negara tidak selalu berhubungan dengan pernikahan agama. 

Karena saya seorang Kristen maka saya akan lebih melihatnya dari kacamata kekristenan saya. Sebagai orang beragama dan beriman saya tahu bahwa agama memiliki dogma dan hukum-hukum yang tidak bisa digugat. Banyak orang Kristen saat ini akan menggunakan kisah Sodom dan Gomora, surat-surat Paulus, dan lain-lain untuk memandang sinis kaum LGBT, termasuk pernikahannya. Maka, jelas sekali sikap agama tertutup soal ini. Kita memang tidak bisa membantah apa yang tertulis dalam Alkitab. Yesus saja tidak mau mengubah apa yang sudah difirmankan sebelumnya. Sebagai bukti, orang Kristen memakai kitab Perjanjian Lama (yang penuh dengan hukum-hukum dan dipakai juga oleh umat Yahudi) bersama dengan kitab Perjanjian Baru (yang penuh Kasih). Hukum dan Kasih adalah kontradiksi yang menakjubkan. Tapi, mengapa Kasih (Yesus) tidak membatalkan Hukum? atau Tuhan Allah berfirman ulang untuk membatalkan hukum-hukum?

Iman adalah perjalanan manusia mengenal Pencipta-Nya. Apa yang terjadi dalam Perjanjian Lama adalah bagian dari proses itu. Manusia senantiasa menyejarah, ia tak bisa keluar dari waktu. Menghapus Perjanjian Lama sama saja mengingkari manusia itu sendiri. Kitab itu tetap kita pakai, dogma itu tetap kita pegang, tapi perlu sikap kritis untuk melinearkan antara kitab yang ditulis ribuan tahun dengan kehidupan zaman sekarang. Lagipula Tuhan Yesus sendiri tidak pernah bersikap mendiskreditkan kaum LGBT dalam perbuatan dan perkataan-Nya. Dan yang paling besar diantaranya adalah kasih.

Kita perlu memahami teks kitab suci dengan konteks zaman, tentu tidak harus mengubah apa yang sudah tertulis. Namun, kita bisa - dengan sikap kritis- membandingkan keadaan zaman Sodom dan Gomora dan peradaban pasca-modern seperti saat ini. Teks kitab suci tetap menjadi pegangan kita tetapi bukan berarti kita harus mengikuti mentah-mentah apa yang tertulis, sekalipun kelihatannya harus. Dalam memaknai teks, manusia boleh mengambil posisi untuk mengikuti secara penuh, bernegosiasi, atau menolak mentah-mentah. Kita terbuka untuk mencari alternatif, kalau mau. 

Karena kita tidak bisa melawan agama maka biarlah agama mengurusi apa yang menjadi bagiannya. Disinilah negara mengambil peran tersebut. Sudah sejak lama terjadi pemisahan kekuasaan antara agama dan negara. Hukum Negara dan Hukum Agama jelas berbeda, sekalipun ada hukum Agama yang mempengaruhi hukum Negara. Tapi pada titik tertentu, hukum Negara lebih bersifat konsensus dan universal. Konsensus lahir dari situasi yang terjadi dan biasanya melindungi kepentingan orang banyak. Sebaliknya, hukum agama turun dari langit jadi tidak bisa dibantah. Dalam konteks hukum pernikahan, baik negara atau agama masing-masing memiliki aturan main sendiri. Biasanya pun orang boleh menikah secara agama dan negara, salah satunya, atau tidak sama sekali. Pernikahan sejenis di Amerika tentu adalah pernikahan yang sah di mata hukum negara. Pasangan yang ingin menikah tinggal datang ke court. Prosesnya juga sederhana. Plus, jika terjadi apa-apa mereka bisa berkonfrontasi dengan bantuan hukum. Kalaupun ada Gereja sebagai institusi dan persekutuan mau melegalkan, itu biasanya tergantung keputusan Gereja tersebut, bukan agamanya secara keseluruhan. 

Selama ini, karena pernikahan sejenis tidak dilegalkan, banyak kaum gay yang hidup tanpa perlindungan hukum, misalnya saja kalau terjadi perpisahan, bagaimana dengan harta bersama? Di Perancis, juga ada semacam pakta hidup bersama, entah pasangan sejenis atau tidak sejenis. Negara tidak peduli apakah di dalam hubungan itu melibatkan seks. Negara peduli kalau terjadi “apa-apa” setidaknya resiko kerugian yang dialami warganya diminimalisir. Mengharapkan agama mengakui pernikahan sejenis memang mustahil, maka harapan satu-satunnya adalah negara. Itulah yang dilakukan Amerika.

2. Pernikahan itu Peristiwa Budaya bukan Takdir

Saya tumbuh dengan dongeng-dongeng tentang seorang Putri yang jatuh cinta dengan Pangeran Tampan Berkuda Putih. Di akhir cerita, Putri dan Pangeran itu menikah dan hidup bahagia selamanya. The End. Akhir dongeng berhenti pada saat Putri dan Pangeran menikah. Tak ada dongeng tentang pernikahan. Tak ada cerita tentang Putri yang harus menderita kekerasan dalam rumah tangga karena Pangeran memiliki kebiasaan mabuk atau sang Putri berselingkuh dengan pelatih kudanya yang tampan dan masih muda. Dongeng berhenti disitu dan kita dihadapkan pada kenyataan. 

Awalnya saya tidak mau mengakui bahwa pernikahan adalah peristiwa budaya. Saya selalu percaya bahwa menikah itu sudah digariskan Tuhan. Perlu waktu lama bagi saya untuk memahaminya. Sampai saya melihat ada yang ganjil dengan keinginan orang untuk menikah:
  1. Saya melihat banyak kasus perceraian dan perselingkuhan. 
  2. Saya melihat orang menikah karena ikut-ikutan atau takut jadi perawan tua. Itulah sebabnya banyak yang mengobral diri supaya dibilang laku. Kalau kita menganggap pernikahan itu sakral, maka sepantasnya kau menghabiskan sisa umurmu dengan orang yang pantas. 
  3. Dan ini yang paling penting. Khayalan saya tentang pernikahan adalah kehendak Tuhan runtuh ketika membaca buku The Elementary Structures of Kinship karya Claude Levi-Strauss dan sedikit-sedikit tentang teori Evolusi. Singkatnya, pernikahan yang semula saya pikir terjadi karena bertemu Pangeran Tampan Naik Harrier ternyata dimulai dengan incest taboo, yah pernikahan sedarah. Bahkan kitab Kejadian mencatat kisah sedih antara dua anak perempuan Lot yang bersetubuh dengan ayahnya setelah beberapa waktu keluar dari Sodom dan Gomora. Selain itu, ada kisah Sawerigading yang jatuh cinta pada saudara kembarnya We Tenriabeng dalam I La Galigo. Dari incest taboo, perlahan-lahan orang mulai mengawini keluarga lain meskipun satu kelompok. Inilah dasar terbentuknya perkawinan Endogami, seperti perempuan suku batak mengawini laki-laki suku batak. Keadaan manusia yang berubah, mungkin terjadi peperangan juga, menyebabkan manusia harus membangun aliansi. Supaya tidak dimusnahkan atau ditindas, mereka harus merekatkan diri dengan kelompok lain. Caranya? Putri kepala suku dinikahkan dengan putra kepala suku tetangga. Kalau dua kelompok bersatu kan mereka jadi kuat. Ini dasar pernikahan Eksogami. Pernikahan model ini menjadi trend dari zaman kerajaan dan masih ada di zaman modern saat ini. Pernikahan tak lebih dari union. Levi-Strauss bilang pernikahan itu aliansi atau persekutuan yang disepakati dan dilegalkan. 

Harus diakui, pernikahan memang agung karena punya fungsi-fungsi istimewa yang tidak dimiliki model persekutuan lain, seperti berhubungan seks, bereproduksi, kesatuan, companionship, dll. Terjawablah sudah mengapa sejak kecil kita didoktrin untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah atau hamil di luar nikah. Dan agama juga sangat membantu dengan hukum-hukumnya mengenai ini. Keadaan ini diperkuat teori evolusi. Bumi memiliki siklus untuk memperbaharui dirinya. Keadaan itu kita kenal sebagai kiamat. Penguasa bumi juga berganti-ganti: dinosaurus, reptil, primata, dan sekarang manusia. Sebagai penguasa, manusia ingin menciptakan manusia-manusia berikutnya yang lebih canggih. Itulah sebabnya konstruksi pernikahan idealnya antara laki-laki yang ganteng dan perempuan yang cantik demi menghasilkan keturunan yang rupawan. Konstruksi kegantengan dan kecantikan itu pun problematis dan dipromosikan secara brutal oleh media.

Khayalan saya tentang pernikahan memang runtuh. Tapi saya tetap percaya, bahwa pertemuan sepasang kekasih merupakan takdir Tuhan. Saya juga tetap percaya, pernikahan itu baik dan perlu meski tidak semua orang mau mengikatkan diri di dalamnya. Dan karena hal itu baik, mengapa tidak boleh teman-teman kita yang gay melakukan hal itu? 

Beginilah jadinya, ketika banyak orang yang mempertanyakan mengapa foto profil facebook saya ikut-ikutan berwarna pelangi. Tiba-tiba saja sesuatu yang hanya sekedar dukungan menjelma sikap politik.