70 Tahun Indonesia

Selasa, Agustus 25, 2015

*sumber gambar google


Kata orang tahun ini peringatan kemerdekaan Indonesia terasa bermakna: pada tanggal 17 Agustus, Indonesia berusia 70 tahun, dan dipimpin presiden yang ketujuh. Ada nuansa angka tujuh yang mistis dan melahirkan debar harapan sekaligus cemas akan nasib bangsa ini. Sebelumnya, saya hampir tidak pernah berdoa untuk bangsa dan negara. Namun, sejak Jokowi jadi presiden dan makin banyaknya kasus-kasus ketidakadilan yang mengancam stabilitas dan kebhinekaan bangsa, mendoakan negeri ini dan para pemimpinnya dari level presiden sampai RT/RW adalah panggilan. Untuk sekarang, hanya itu yang mampu saya lakukan. 

Sebelum memasuki bulan Agustus, saya pernah mendiskusikan funfact tentang kemerdekaan Indonesia dengan Eyang. Tahukah kamu, bahwa setelah membacakan proklamasi dan ditunjuk menjadi presiden, Bung Karno berjalan kaki dan merayakan kemerdekaan Indonesia sendirian di pinggir jalan dengan memesan 50 tusuk sate ayam. Waktu itu, republik ini juga belum memiliki mobil untuk Presiden. Maka, mobil Buick hitam "dicuri" dari seorang kepala jawatan kereta api yang waktu itu masih orang Jepang dan dijadikan kendaraan sang Presiden. Persoalannya tidak ada yang tahu mengendarainya. Tidak ada orang Indonesia di zaman Belanda yang memiliki kendaraan dan hanya mereka yang menjadi pembesar yang memiliki mobil di zaman Jepang.

Kata Eyang, yang merasakan hidup di lima zaman: zaman Belanda, zaman Jepang, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru, dan zaman Reformasi, kehidupan Indonesia sekarang sudah lebih baik bila dibanding zaman dulu. Dalam konteks tertentu, kadang-kadang ia tidak mengerti mengapa generasi sekarang suka marah-marah pada pemerintah. Menurutnya, pemerintah sudah berusaha membuat kehidupan bangsa lebih baik dari masa ke masa. Memang masih terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi sebagai konsekuensi kebijakan politik, dan lain sebagainya. Namun, setidaknya bila dibandingkan zaman dulu, sekarang jauh lebih baik. Eyang bercerita bahwa di awal republik ini berdiri, pemerintah bahkan tidak memiliki piring sehingga harus meminjam pada keraton Yogyakarta untuk menjamu Jawaharlal Nehru, perdana menteri India, yang berkunjung ke Yogyakarta. Tentu saja hal tersebut tidak terjadi lagi sekarang. Negara kita menjamu tamu-tamunya dengan segala pernak-pernik yang terbaik. Kedutaan dan konsulat kita di luar negeri juga melakukan hal yang serupa. Tidak sedikit kedutaan menggelar acara kebudayaan dan peringatan kemerdekaan Indonesia yang digelar di hotel-hotel berbintang. 

Republik ini sudah berusia 70 tahun, tetapi tampaknya karakter primitif untuk menguasai yang lain masih ada. Kita tidak perlu dijajah sampai 3,5 abad oleh Belanda kalau kita mau bersatu. Faktor kuat mengapa Belanda berhasil menjajah kita begitu lama karena orang-orang Nusantara mudah dipecah belah. Masing-masing ingin menguasai yang lain. Masing-masing menganggap sukunya lebih baik dari suku lain. Masing-masing menganggap kelompoknya lebih baik dari kelompok yang lain. Kesatuan itu hampir menjadi mitos.

Ketika penjajah era kolonial lengser, maka penjajah era modern masuk melalui investasi-investasi. Ujung-ujungnya warga kecil yang menjadi tumbal. Anehnya, ketika warga kecil melakukan protes terkait hak-haknya justru para aparat negara membela korporasi, padahal yang seharusnya terjadi adalah kebalikannya. Yang mengerikan, pemerintah membuat keputusan tanpa memikirkan nilai rasa kemanusiaan warganya. Mereka dianggap angka-angka yang tidak punya perasaan. Sudah kubilang kan, bangsa ini perlu didoakan. 

Kita adalah bangsa yang merdeka, tetapi pertanyaannya sekarang apakah kita adalah orang-orang yang merdeka?


setelah 70 tahun...




Note: kisah republik Indonesia yang akhirnya mengembalikan piring dan gelas yang dipinjam pada keraton Yogyakarta juga disinggung dalam majalah Tempo edisi khusus hari kemerdekaan "Sultan Hamengkubuwono IX" 17-23 Agustus 2015, hal.50. 

You Might Also Like

0 comments