Shakti

Minggu, Agustus 10, 2014

Sambil berjalan menuruni tangga, tanpa sadar mata saya tertumbuk pada sepasang kekasih yang dibingkai keramaian dan jendela besar sebagai latarnya. Ketampanan dan kecantikan mereka telah dimakan waktu. Tapi itu bukanlah hal yang penting, karena apa yang tak dijangkau mata jauh lebih seksi. Jika kau ada disana saat itu, kau bisa diserang perasaan tersentuh sekaligus iri setengah mati pada mereka.

Dari jauh mereka tampak asyik berbincang, mungkin tentang ekonomi barangkali sastra sambil ditemani suara hujan di luar. Sesekali perempuan itu menyeruput teh sambil melirik lelakinya yang mencicipi kue lumpur. Dengan tatapan matanya yang tajam sekaligus lembut, si lelaki memperhatikan perempuannya yang sedang berbicara. Tak dipedulikannya perempuan-perempuan muda yang lalu-lalang di belakang perempuannya yang keriput. Seperti ada magnet pada mereka, saya mengabaikan pengunjung lain yang ada di cafe. Pasangan itu juga merasakan kehadiran saya yang semakin mendekat ke arah mereka. 

Saya mengenal mereka sebagai pasangan suami-istri dan keduanya sama-sama profesor di bidangnya masing-masing. Saya lantas menghampiri mereka. Istrinya berdiri, mencium pipi saya seperti cucu yang lama tak ia temui sambil menanyakan kabar. Saya pun menyalami suaminya dengan erat. Ubannya telah menutupi secara sempurna kepalanya tapi tak menghilangkan sedikit pun garis ketampanan dan sorot matanya yang cerdas. Si istri dengan penampilannya yang bersahaja, blus terusan bunga-bunga warna biru dengan belt kecil di pinggangnya tampak anggun dan memikat. Kemesraan seperti sore itu hanya dapat dinikmati di novel-novel tua, mungkin zaman dimana Atiek dan Teto merajut kasih di novel karangan Romo Mangun. Dan saya baru saja melihatnya dalam realita masa kini. Beruntungnya saya! 

*** 

Dalam hati saya membuat permohonan pada Tuhan. Pada suatu hari nanti, saya akan menghabiskan sore yang gerimis dengan seseorang yang membuat saya percaya bahwa eross bisa menjadi agape. Inginnya saya dipertemukan dengan yang disebut shakti - sang energi kreatif- yang lebih daripada sekedar suami, yang dengannya semesta saya akan seimbang. Kami bisa ngobrol tentang apa saja sembari membesarkan anak-anak dan melakukan pekerjaan masing-masing. Kami bisa bertukar pikiran dan bercinta. 

Saya hanya perlu menguatkan diri, seperti Dewa Shiva yang tabah menantikan kelahiran dan menunggu bertahun-tahun untuk bisa bersatu dengan shakti-Nya. Semuanya itu dilakukan agar kehidupan di dunia menjadi seimbang. Maka jadilah shakti itu disebut Sati, Parvati, Uma, atau Durga. Saya harus memantapkan diri sembari tidak memaksakan kehendak. Persis seperti Dewa Shiva yang tak egois sekalipun ia memiliki kekuatan menjungkirbalikkan dunia. Saya hanya perlu bersabar sampai saya dipertemukan dengan seseorang yang memang dilahirkan di dunia sebagai shakti saya. 


Cafe Mama 
Sabtu, 9 Agustus 2014

You Might Also Like

1 comments