Ekalaya

Senin, Agustus 18, 2014

*Ekalaya, Guru Drona, dan Arjuna (sumber pic: www.wayang.wordpress.com)*



Dari sekian fragmen dalam Mahabharata, kisah mengenai Ekalaya adalah salah satu yang membuat saya berurai air mata sekaligus berpikir lebih dalam mengenai keadilan. Singkat cerita, Ekalaya adalah anak hutan yang begitu mengagumi Guru Drona. Ia ingin menjadi pemanah terhebat dan Drona adalah satu-satunya orang yang dapat menjadikannya demikian. Sayangnya, Ekalaya tidak diterima sebagai murid Drona. Di saat yang bersamaan, Drona harus mendidik pangeran-pangeran dinasti Kuru, siapa lagi kalau bukan keseratus Kurawa dan kelima Pandawa. 

Namun, Ekalaya tidak berkecil hati. Di sebuah gua yang tersembunyi tak jauh dari tempat Drona melatih murid-muridnya, Ekalaya membangun patung Drona dan berlatih seorang diri. Di bawah patung Drona yang seolah mengajarinya, Ekalaya bahkan berhasil melebihi murid-murid Drona. Namun, Drona sudah berjanji akan menjadikan Arjuna pemanah terbaik di dunia dan Ekalaya adalah ancaman bagi cita-cita itu. Maka, dengan tega Drona meminta balas jasa dari Ekalaya yang mengklaim diri sebagai muridnya. Ia meminta ibu jari Ekalaya. Ekalaya yang begitu mencintai Drona, meluluskan keinginan "guru"-nya. Dengan demikian, Ekalaya tidak bisa lagi memanah dan Arjuna akan menjadi yang terbaik. 

Ada banyak orang seperti Ekalaya di luar sana. Hidup di dunia ini, tidak cukup hanya dengan kecerdasan dan ketekunan. Kau juga memerlukan sedikit keberuntungan. Ekalaya tidak seberuntung Arjuna yang lahir dalam keluarga Kuru dan putra Dewa Indra, meskipun kecerdasan dan ketekunan mereka setara (harap dicatat Arjuna pun berlatih keras demi bisa mengusai ilmu memanah). Kenyataannya, Arjuna yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari hanya sedikit yang memiliki kecerdasan dan ketekunan. Mereka memiliki keberuntungan lebih banyak dari Ekalaya-Ekalaya itu. Sebagian dari mereka adalah orang kaya, sebagian lagi adalah keturunan raja atau pembesar, sebagian lagi karena tabungan koneksi dengan orang-orang penting. Sementara, mereka - para Ekalaya- yang berperang tanpa senjata-senjata itu kemudian terbuang dan tersisihkan. Dengan terpaksa, akhirnya mereka mengorbankan "ibu jari" untuk bertahan hidup, namun bukan demi bakti seperti Ekalaya pada Drona. 

Dalam hidup ini, kita semua pernah menjadi Ekalaya, Drona, bahkan Arjuna berdasarkan konteks cerita tadi. Saya pernah menjadi Ekalaya yang sakit hati karena pilih kasih seorang guru atau teman, tetapi saya pernah pula menjadi seperti Arjuna yang mengundang kecemburuan orang-orang. Dan saya diam-diam menulis di dalam hati tidak ingin seperti Drona jika kelak menjadi seorang guru. Saya harus bersikap adil pada semua murid saya. Tapi, saya pun meragu, apakah kelak keputusan menjadi adil pun tidak akan melukai hati murid-murid saya ? 

Apakah bersikap adil itu bisa menyenangkan semua pihak?

"Seorang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan," begitulah kata Pramoedya Ananta Toer. Ketika seseorang tidak bisa berbuat adil sejak dalam pikirannya, maka perbuatan apapun yang dilakukan orang lain yang dipilih kasihnya, akan selalu buruk dimatanya. Apapun yang dilakukannya, akan selalu dianggap lebih rendah. Kita tidak pernah tahu, setiap perbuatan kita akan menggoreskan luka di hati orang atau tidak. Dan kita pun tidak pernah tahu, siapa-siapa saja yang memiliki hati mengampuni atau yang setia mendendam. 

You Might Also Like

0 comments