Hubbell

Kamis, Juli 17, 2014

*Katie and Hubbell*


Kadang-kadang kalau saya sudah jenuh mengerjakan paper atau bahan presentasi, saya senang melarikan diri dengan nonton film. Dan pilihan saya sering jatuh pada serial Sex and The City, yang sudah saya nonton berulang-ulang dan menjadi panduan hidup saya setelah Alkitab. Bahkan serial ini secara tidak langsung adalah embrio skripsi saya dulu. Maka pada suatu malam, kira-kira jam 1 subuh, saya menonton episode 18 dari session 2 serial Sex and The City. Episode itu bercerita tentang Mr.Big yang akan bertunangan. Tapi klimaks dari episode itu adalah ketika Carrie dihantui pertanyaan besar mengapa bukan dia yang “dipilih” oleh Big untuk dinikahi? Mengapa harus si Natassya? Dan jawabannya adalah: Hubbell.

Who is Hubbell? Hubbell Gardiner adalah karakter yang diperankan Robert Redford dalam film The Way We Were (1973). Jauh sebelum generasi sekarang mengenal Brad Pitt, Hollywood pernah memiliki Robert Redford sebagai prince charming. Robert Redford dengan wajah amerika klasik, rambut yang berkibar, dan senyum menawan. Meskipun Umar Kayam menyebut senyum Robert Redford seperti senyum -orang yang lagi nahan sakit tapi tidak jadi- justru itulah yang bikin gemes. Apalagi rambutnya itu mengingatkan pada tokoh Julian di cerita Lima Sekawan. Sekarang sih Rob Redford sudah tua, meskipun sisa-sisa kegantengannya masih terlihat di film era 90-an macam Indecent Proposal dan Up and Close Personal.

Kembali pada Hubbell, dikisahkan dalam film itu Hubbell jatuh cinta setengah mati pada Katie (diperankan Barbara Streisand) dan begitu pula sebaliknya. Sayangnya, Hubbell tidak tahan bersama Katie karena Katie terlalu complicated baginya. Katie yang aktivis anti perang, berambut keriting, liar (yang dimaksud liar yaitu tidak bisa dikendalikan, sedangkan banyak laki-laki ingin sekali mengendalikan perempuan), optimis, too serious, dan berani mempertahankan apa yang ia percayai. Sayangnya, semuanya itu membuat Hubbell tidak sanggup menghadapi Katie. Ia pun meninggalkan Katie dan menikah dengan perempuan lain yang lebih “sederhana” dan berambut lurus.

Siapapun yang pernah menonton film ini pasti akan tersentuh pada adegan terakhirnya. Di scene itu, setelah berpisah bertahun-tahun, Katie berjumpa kembali dengan Hubbell di depan Plaza. Hubbell yang sudah menikah memperkenalkan istri barunya “si simple girl” pada Katie. Dan datanglah momen itu, ketika Katie seperti biasa mengusap-usap rambut Hubbell dan berkata, “You’re girl is lovely, Hubbell”. Sebelum berpisah, mereka berpelukan dan bertatapan tanpa kata, kemudian mengalunlah suara Barbara, “Memories light the corners of my mind...Misty water-colored memories of the way we were”. Sumpah ya, Sidney Pollack memang “sakit” kalau bikin film romance. *habis sudah tissue satu pack*.

Menyambung Carrie, dunia ini seolah menciptakan dua tipe perempuan: the simple girl dan Katie’s girl. The simple girl adalah perempuan yang cenderung tidak mau mempersulit dirinya untuk berpikir yang berat-berat, superficial, dan ikut arus saja. Mereka yang penting aman dan damai tanpa pernah mempertanyakan atau mengkritisi sesuatu. Sebaliknya Katie’s girl adalah lawan dari the simple girl. Ada memang perempuan yang senang mempersulit dirinya sendiri dengan berpikir yang berat-berat, melakukan hal-hal yang tidak dilakukan perempuan pada umumnya. Seperti kata Katie pada Hubbell, “I know I'm attractive. But I'm not attractive in the right way”. Saya tentu saja masuk dalam golongan Katie’s girl. Kalau tidak, untuk apa saya menuliskan ini?

Saya teringat Amdya, salah satu sahabat saya yang mengatakan betapa ia bersyukur tidak masuk dalam golongan perempuan kategori konstruksi cantik hari ini: kulit putih, kaki jenjang, rambut berkilauan, penampilan ala majalah Go Girl, Elle, dll. Amdya berkata, “Justru dengan menjadi objek saya menjadi lemah”. Saya sepakat dengan itu. Kita tidak hanya jadi lemah karena dijadikan objek seks cowok-cowok yang superficial alias cuma lihat fisik, tapi kita juga dilemahkan untuk tidak berpikir. Inilah yang mahal. Lagipula baik saya maupun Amdya dan tentu saja Katie’s girls lainnya, kami tidak pernah menyukai perasaan sebagai bunga yang dihampiri kumbang seperti perempuan kebanyakan. Kami lebih senang menjadi kumbang, menjadi subjek yang mencintai, seperti Katie yang berjuang untuk Hubbell, karena hanya Katie yang paling mengerti dan melihat ke dalam diri Hubbell. Katie selalu percaya Hubbell bisa menjadi lebih dari apa yang ia pikirkan. Saya ingat kata-kata Kak Emma, sebagai subjek yang mencintai, kita bisa melihat "lonely boy" yang terperangkap dalam tubuh laki-laki dewasa. Lonely boy dengan "sengak-sengak style" sebagai self defense agar dirinya tidak tersakiti. 

Sayangnya budaya tidak bisa menerima itu. Mengekspresikan perasaan adalah dosa bagi perempuan. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, dunia harus menerima kenyataan bahwa memang ada perempuan yang tidak ditakdirkan untuk ditaklukkan. Bila saatnya tepat, mereka akan bertemu seorang lelaki yang sama liarnya untuk berlari bersama.

Ah, sudahlah mungkin hal ini sulit diterima oleh nalar falus. Saya kembali melakoni peran saya menyelesaikan tugas-tugas yang belum selesai, ditemani sayup-sayup suara lirih Barbara Streisand....

Can it be that it was all so simple then
Or has time rewritten every line
If we had the chance to do it all again, tell me, would we, could we
Memories may be beautiful and yet
What's too painful to remember 
We simply choose to forget


You Might Also Like

2 comments