*Non Mihi, Non Tibi, Sed Nobis

Rabu, September 28, 2011


Kita selalu percaya bahwa apa yang kita alami sekarang adalah pendahuluan untuk mendapatkan hadiah itu. Hadiah yang kita yakini akan kita terima. Di antara semua kondisi itu, kau dan aku tidak merasa takut dan gentar. Tanganmu terus menggenggam tanganku meski kita berada di jalan yang berbeda.

Jarak itu memang kejam. Ia membuat kita tidak selalu bergandengan tangan. Ia membuat sesak sesekali di dada dan kadang-kadang menimbulkan cairan bening di pelupuk mata. Jarak sering membuatmu sedih, menyalahkan diri dan lemah. Jarak juga tak urung menjadikanku orang brengsek yang egois. Tapi bukankah kita harus berterima kasih pada jarak? Jarak mengajari kita seni dari mencinta. Disana ada kesetiaan meski kita tak saling melihat. Disana ada kepercayaan meski tak ada surat bertanda tangan notaris. Disana ada keyakinan yang memaksa kita saling berangkulan di saat kita berbeda pendapat.

Ingatkah saat kita bertemu? Lucu. Sangat lucu. Kita bagai dua orang yang baru saja bertemu. Kemana malam-malam panjang dan hari-hari yang terasa singkat dalam jarak itu? Maka, sependapatlah kita dengan Rumi yang dituliskan dalam rubaiyatnya:
"aku berpikir untuk katakan ini dan itu kalau kita ketemu Tetapi ketika akhirnya ketemu kau bernafas pun aku tak bisa."
Dalam romansa yang tak berkesudahan itu, kau akhirnya berhasil memasuki puri di hatiku. Kau berhasil menyibak kabut dan gelap yang menutupinya. Dan aku? akulah darahmu, yang akan memberimu kehidupan. Selalu ada darah baru untukmu, agar kau selalu sehat dan tidak sakit seperti dulu.

Harapan-harapan itu telah kita panjatkan kepada-Nya. Semua itu kita lakukan bersama-sama, *not for you, not for me, but for us.





PS: Ini postingan ke-300 pada meikemanalagi.blogspot.com

You Might Also Like

1 comments

  1. bagus bgt postingan yg ini
    "not for you, not for me, but for us..."

    BalasHapus