Tuhan Menolong Orang Yang Ingin Berhenti Menyakiti Dirinya Sendiri

Senin, Juni 01, 2020

Lukisan Daud dan Mefiboset



Semua orang punya blackhole. (Makrus)

Tetapi, pilihan mereka untuk tetap di dalam blackhole atau keluar dari blackhole yang membuat perbedaan. (Meike)



Saya merupakan salah satu orang-orang yang disebut Harold S Kushner, seorang Rabbi Yahudi dan teolog, sebagai “orang-orang yang masih ingin tetap percaya pada Tuhan meskipun telah disakiti oleh kehidupan”. Ia menulis sebuah buku spiritualitas berjudul Why Bad Things Happen to Good People yang ditujukan untuk orang-orang seperti kami ini. Buku itu mempertanyakan mengapa hal-hal buruk menimpa orang-orang yang “baik”. 

Ya, tidak bisa dipungkiri kita hidup dalam dunia yang kejam dan tidak adil. Namun, ada konflik disini. Kami adalah golongan orang-orang yang dibesarkan dengan mengimani ajaran agama untuk berbuat baik. Jika kita baik pada orang, orang akan baik pada kita. Jika kita melakukan sesuatu dengan tulus, hal itu juga akan sampai ke hati orang itu. Hidup sesederhana apa yang kamu tabur, itu yang akan kamu tuai. Entah cepat atau lambat. 

Hal ini ternyata membentuk kami seperti anak baik dan Tuhan sebagai orang tua yang memberi hadiah atau hukuman. Bila kamu jadi anak baik, maka Tuhan akan memberikan ganjaran yang baik pula. Bila kamu melanggar dan melawan Tuhan, kamu akan menerima hukuman. Maka, bila terjadi sesuatu yang menyakiti kita padahal kita merasa tidak berbuat salah atau jahat, Tuhan seharusnya bisa dong mencegah hal itu. Namun, kenyataannya penderitaan tetap terjadi. Dan kita pun seperti Ayub (dalam tradisi Yahudi-Kristen) menggugat Tuhan dengan pertanyaan abadi: Mengapa? 

*** 

Pada dasarnya kita percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta. Ialah yang menciptakan alam semesta dengan hukum-hukumnya, segala makhluk ciptaan, termasuk manusia, dan bahkan bagaimana dunia ini bekerja. Saya tidak akan banyak menjelaskan tentang persoalan ini yang bisa dikaji dari berbagai sudut pandang teologi, filsafat, kosmologi, ilmu-ilmu alam, dan ilmu sosial-humaniora. Saya mau bercerita tentang penderitaan dan rasa sakit yang ditimbulkannya dan peran Tuhan ketika hal ini terjadi. 

*** 

Saya lahir dan dibesarkan dalam tradisi Kristen. Ayah saya Katolik dan ibu saya Protestan. Dua jenis aliran yang memiliki sejarah pertikaian yang panjang. Konflik internal pertama saya dengan Tuhan adalah karena melihat orang tua saya bertengkar hebat tentang di gereja mana saya akan dibaptis. Saya termasuk dibaptis di usia yang cukup besar, kelas 2 SD. Usia yang katakanlah telat untuk ukuran anak yang dibesarkan Kristen karena biasanya mereka dibaptis di usia balita. Lalu, pertanyaan itu muncul dari Ibu saya,“Meike, mau dibaptis di gereja mana?”. Saya diharuskan memilih (suatu kebebasan yang saya syukuri di kemudian hari bahwa orang tua saya demokratis). Tapi persoalannya, saya tidak ingin memilih. Tidak bisakah saya menjadi keduanya? Ibu saya menggeleng. Negara tidak mengizinkan itu. Maka, akhirnya saya memilih dibaptis di gereja Protestan, ikut tradisi Ibu saya. Alasannya, karena Ibulah yang lebih getol mengajari saya tentang Kekristenan. Dialah Imam yang sesungguhnya di dalam rumah. Ayah saya waktu itu tidak pernah dan tidak tahu cara memimpin hal-hal yang bersifat keagamaan di rumah. Sebagai kompensasi, saya akhirnya disekolahkan dari SD-SMA di sekolah Katolik. Keputusan yang membuat saya mendapatkan pengetahuan mengenai dua tradisi ini dengan imbang. Hal ini yang kusyukuri sekaligus membuatku banyak berkonflik dengan Tuhan.

 *** 

Saya terlahir sebagai anak tunggal. Pada awalnya, saya tidak tahu bagaimana caranya berbagi. Anak tunggal selalu merasa bahwa the world revolves around me. Ibu saya berusaha keras mengajari saya untuk berbagi dan punya empati pada orang lain. Ia mendidik saya untuk mengurangi keegoisan saya. Waktu kecil saya ingin sekali punya saudara: kakak atau adik. Mereka lahir dalam kumpulan saudara-saudara dari extended family. Saya juga punya banyak teman-teman sehingga saya tidak menjadi anak yang penyendiri dan kesepian. Tapi, diam-diam saya membangun kepercayaan bahwa saya memang sendirian. Diam-diam saya membentuk satu ruang kosong yang terletak di lubuk hati saya yang terdalam. Ruang kosong untuk diisi Tuhan sebagai sahabat paling setia saya. Tuhan adalah segalanya bagi saya. Sahabat tempat curhat. Pribadi tempat saya meminta apapun. Penjaga dan pelindung nomor satu. Bahkan sebagai Kekasih yang didamba. Dengan latar belakang ini, tampaknya jika terjadi turbulensi yang menyebabkan penderitaan dalam hidup saya, maka Tuhan adalah sosok pertama yang akan saya persalahkan. Sosok kedua? tentu diri saya sendiri. 

Rabbi Kushner mengatakan bahwa orang-orang yang menderita memang cenderung menyalahkan dirinya. Penyebabnya, pertama, karena orang-orang ini selalu berpikir sebab-akibat. Jika A memperlakukan saya dengan kejam, itu pasti akibat dari apa yang saya perbuat. Lalu, saya akan menyalahkan diri atas apa yang saya perbuat sebagai akibat dari perbuatan A kepada saya. Kedua, orang-orang seperti ini tidak bisa mengontrol pikirannya sendiri. Harap diingat bahwa nama tengah saya “overthinking” dan saya punya gangguan kepribadian yang disebut "obsessive compulsive disorder" yang meskipun tidak parah tetapi melahirkan sifat perfeksionis. Kasarnya, aku ingin sempurna (sesuai kehendakku) di dalam dunia yang tidak sempurna. Mati kan gue, hehehe. Saya akan terus-menerus memikirkan dan mencari penjelasan masuk akal tentang semua hal. Disinilah godaan untuk menyalahkan orang lain muncul. Tapi anehnya, saya cukup jarang menyalahkah orang yang membuat saya terluka. Saya jarang sekali memikirkan bahwa persoalannya bukan pada diri saya atau perbuatan saya, tetapi pada orang tersebut yang tidak mampu mempersepsi dan merespon interaksi dengan baik dan tepat. Subjek orang lain yang saya salahkan disini tak lain dan tak bukan adalah Tuhan. Rabbi Kushner bilang orang-orang seperti saya ini lupa atau mungkin tidak tahu bahwa ada fenomena-fenomena yang tidak ada hubungan sebab-akibat. Sometimes there is no reason. 

*** 

Lalu bagaimana ketika penderitaan itu terjadi? Bagaimana dengan rasa sakit yang ditanggung? Orang yang menyalahkan dirinya cenderung untuk menyakiti dirinya. Kadang-kadang saya bingung mengapa dengan segala peristiwa sedih yang saya alami saya belum juga melakukan upaya bunuh diri. Lalu, saya teringat bahwa saya selalu punya “si setan” yaitu sisi pikiran negatif saya yang terus-menerus menyakiti saya dengan pikiran-pikiran jahat. Jahat karena ia mendukakan hati. Ia merampok semua sukacita saya. “Si Setan” inilah yang menyalahkan saya terus-menerus dan membunuh jiwa saya secara psikologis. Saya memang tidak melakukan bunuh diri secara fisik, tetapi secara psikis, saya sudah mati berkali-kali. Psikolog yang membantu saya dulu pernah bilang bahwa tampaknya berbagai peristiwa yang saya alami membuat saya menskip beberapa fase berkabung. Jadi, harusnya saya ada di fase “marah”, tetapi oleh keadaan, saya dipaksa ke fase “menerima”. Tampaknya, luka-luka yang terendap itu bisa muncul begitu saja ke permukaan begitu suatu peristiwa memicunya. Disinilah, pembantaian terhadap diri sendiri dimulai dan terjadi berulang-ulang. Inilah blackhole saya. 

*** 

Orang yang menyakiti diri sendiri cenderung akan mengisolasi dirinya. Ia tidak mau ditolong oleh orang lain. Salah satu residu yang tercipta adalah timbulnya rasa iri pada orang lain yang ia anggap hidupnya lebih beruntung dari hidupnya sendiri. Padahal, ia tidak tahu bahwa orang tersebut juga memiliki blackhole-nya sendiri. Di saat seperti ini, manakala dunia terasa kejam dan tidak adil. Tuhan hadir dan mau menolong orang-orang seperti kami ini. 

Tuhan menjelma seperti dalam kisah Daud dan Mefiboset. Melalui Daud, Tuhan menunjukkan cintanya dengan tidak melupakan Mefiboset yang hidupnya penuh dengan penderitaan: priviledge-nya diambil, kakek dan orang tuanya meninggal, kedua kakinya pincang, miskin sampai harus tinggal di rumah orang lain, dan dilupakan. Tuhan mengangkat Mefiboset yang seperti anjing yang mati untuk hidup sederajat dengan Raja Daud. 

Bagaimana caranya? 

Hal pertama yang dilakukan adalah doa. Doa bukan untuk meminta Tuhan menghentikan atau mengubah penderitaan ini. Doa disini adalah sebuah pengakuan bahwa kita lemah dan tak berdaya dengan keadaan yang kita alami. Doa meminta Tuhan memberi kekuatan untuk membuat kita berani menjalani hidup setelah ini. Doa untuk mengampuni diri sendiri, orang yang menyakiti kita atau keadaan yang membuat kita tidak berdaya, serta terutama Tuhan yang menciptakan dunia yang tidak sempurna ini. Dunia yang di dalamnya ada kebaikan dan kejahatan. Doa untuk menerima dan mengampuni. Orang yang beriman kadang menantikan jawaban Tuhan untuk penderitannya. 

Menurut Rabbi Kushner, “jawaban” bisa berarti dua hal: penjelasan dan respon. Penjelasan bisa diperoleh dengan kepandaian kita. Kita bisa menemukan penjelasan mengenai mengapa semua ini bisa terjadi, tetapi itu ternyata tidak meringankan rasa sakit dan rasa ketidakadilan yang kita rasakan. Maka, kita perlu melihat cara yang kedua yaitu respon kita terhadap penderitaan. Respon ini berarti kita mengampuni dunia yang tidak sempurna, kita mengampuni Tuhan atas segala yang terjadi, kita menggapai orang-orang lain: keluarga, teman, dan orang-orang yang menawarkan bantuan untuk menemani kita menghadapi penderitaan ini, dan terakhir respon kita untuk melanjutkan hidup meskipun semuanya terjadi. 

*** 

Ada penjelasan menarik bahwa Tuhan tidak bisa mencegah penderitaan terjadi karena ia meninggalkan “ruang” untuk manusia menjadi manusia. Dalam kitab Kejadian 1:26, Tuhan bersabda, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…”. Menurut Rabbi Kushner, “Kita” disini adalah Tuhan dan binatang. Manusia punya insting yang sama seperti binatang. Manusia dan hewan bisa makan, tidur, mati, berhubungan seks, dan menemukan pasangan. Manusia dan hewan bisa bereaksi terhadap sesuatu di dalam maupun di luar dirinya. Tetapi, ada yang membedakan manusia dengan hewan. Misalnya, manusia dan hewan bisa berhubungan seks, namun seks bisa menjadi problem buat manusia. Dalam penciptaan, Tuhan menyediakan ruang bagi manusia yang bahkan Tuhan sendiri mengatur agar Dia tidak ikut campur yaitu ruang untuk memilih (freewill).

Tuhan adalah sang Pencipta. Tetapi, Dia menciptakan pula aturan main untuk diriNya dan ciptaanNya. Tuhan tidak bisa mengendalikan hukum-hukum alam, evolusi, dan kebebasan moral manusia. Segala penderitaan di bumi ini terjadi karena residu dari mekanisme hukum-hukum tersebut. Residu yang harus dihadapi semua ciptaan. Penderitaan yang disebabkan oleh seseorang terhadap orang lain dipahami sebagai bagian dari pilihan yang dipilih orang tersebut. Penderitaan bisa karena nasib buruk, konsekuensi atau resiko dari pilihan, atau bahkan hukum alam yang tidak fleksibel. Rabbi Kushner menolak Tuhan sebagai pribadi yang mahakuasa yang tega melihat anaknya menderita untuk suatu alasan yang hanya Dia sendiri yang tahu meskipun itu konon untuk hal yang baik. Rabbi Kushner memilih melihat Tuhan sebagai sosok yang baik dan penuh kasih. Tuhan yang tidak menghukum atau memberi ganjaran. Tuhan sebagai sosok yang sedih dan ikut menangis ketika melihat kita terluka. Konsep Tuhan seperti ini sejalan dengan konsep Tuhan yang terproyeksikan dalam diri Yesus. 

Lalu bagaimana kita bisa melanjutkan hidup?

Semua tergantung pada pilihan hidup kita akhirnya. Disinilah agama, moral, dan etika membantu kita menemukan panduan untuk bisa membedakan mana yang baik dan jahat. Kamu bisa memilih untuk tetap berkubang dengan deritamu dan menjadi sosok pemarah, pendendam, dan menjahati orang lain karena kamu memang punya hak untuk jahat sebab kamu telah menjadi korban dari ketidakadilan dunia. Namun, kamu juga bisa memilih menjadi sosok yang meskipun telah menderita tetapi kamu memilih menerima ketidaksempurnaan hidup ini dan berusaha mencari ke dalam diri apakah masih ada cinta disana? Kamu bisa memilih untuk mengasihi. Ini dapat membantumu meredakan rasa sakit dan lebih berani menjalani hidup.

Cinta adalah anugerah Tuhan. Anugerah yang membutuhkan respon manusia. Cinta inilah yang akan meniup arang yang menyelimuti hatimu sehingga tampaklah cahaya. Cinta yang membuatmu tidak melakukan upaya bunuh diri dan justru sebaliknya menjadi kreatif dalam kegelapan. Penciptaan lahir bukan dari kekosongan tetapi dari kehancuran. Kamu akan menjadi lebih peka dan lebih efektif menolong orang lain karena kamu tahu rasanya menjadi orang yang menderita. Kamu memutuskan menjadi orang yang menginspirasi dengan mengasihi dan menolong orang lain. Kita bisa memilih menjadi "language of God", orang-orang yang membantu Tuhan eksis dan aktif di dunia, sehingga Tuhan tidak sekedar menjadi Pencipta. Hidup tidak mungkin tanpa penderitaan. Tetapi, kamu selalu bisa memilih.

Respon saya? 

Ya Tuhan, susah amat jadi homo sapiens ya. Tapi, ini akan menjadi jalan ninjaku… hehehe.

You Might Also Like

0 comments