Jalan Salib

Minggu, Maret 27, 2016

sumber gambar: www.mysoulpurpose.org


1.     Yesus dihukum mati
    Ingatanku masih jelas mengingat hari itu, sejelas aku mengingat ulang tahunku sendiri. Aku memutuskan berjalan di jalan para Begawan. Aku ingin menjadi brahmani. Hidup tanpa pikat duniawi. Aku ingin mengabdi pada pengetahuan dan kemanusiaan. Hadiahku pasti. Jiwaku merdeka karena aku berdaulat atas tubuh dan pengetahuanku. Aku menerimanya dengan penuh iman dan bersandar pada Allah. Aku percaya Allah berjalan di depanku seperti ketika dulu Ia berjalan memimpin Israel ke luar dari tanah Mesir.

2.     Yesus memanggul salib
     Ternyata tidak mudah menjadi seorang brahmani. Kau harus berguru pada para Begawan. Kau harus mengabdi pada mereka. Kesunyian adalah kawanmu yang paling karib. Kadang kau merasa sendiri. Kadang kau tak dimengerti. Ada masa di mana aku merasa kesepian dan merindukan pelukan. Tubuhku lelah dan pikiranku seolah tak pernah beristirahat. Aku ingin menyerah, tetapi cita-cita mengalahkan kepengecutanku. Begitulah murid. Begitulah abdi. Manisnya memabukkan tetapi pahitnya membuat nyinyir. Inilah salibku. Aku mengenang masa-masa itu sebagai momen kedekatanku dengan Allah. Jika Ia di pihakku, siapakah yang mengalahkanku?. Seperti Yesus, aku juga memikul salibku dengan penuh cinta. Aku tahu ini berat. Aku tahu jalannya panjang dan berliku. Tapi cinta yang menguatkanku untuk bertahan.

3.     Yesus Jatuh Untuk Pertama Kalinya
     Kadang-kadang aku merasa Allah lupa bahwa manusia memiliki waktu yang lebih pendek dari waktu-Nya. Aku dianugerahi kehendak bebas. Aku tak mau menunggu dalam diam. Dan kesempatan-kesempatan pun datang menjelang. Aku kini berhadapan dengan persimpangan jalan. Semuanya terasa masuk akal, namun hanya satu yang memikat. Aku dan ukuran kemanusiawianku menilainya dan berharap inilah yang terbaik. Saat itu aku juga berpikir mungkin inilah jalan Tuhan. Rasanya waktu itu Roh Kudus bekerja di dalamku. Wajahku bersinar dan ada rasa optimis. Setiap proses kulalui dengan percaya diri. Aku merasa aku layak. Aku merasa niat tulusku akan membawaku ke puncak. Sayangnya, aku terjatuh. Aku berharap lebih pada salah satunya. Aku telah terpikat pada simbol-simbol dunia. Aku berdoa, “Tuhan izinkan aku marah pada-Mu.”

4.     Yesus Berjumpa dengan Ibunya
   Perjuanganmu akan terasa ringan jika orang tuamu mendukung. Ibuku adalah orang yang memberiku semangat dunia. Imannya mengagumkanku. Jika aku lemah, aku merasa iman ibuku yang menyelamatkanku. Namun, hari itu aku meragukan imanku, yang tampaknya tidak sebesar biji sesawi pun. Aku bahkan berpihak pada Kain, Anak Sulung, Lucifer, dan seluruh tokoh antagonis dalam dongeng-dongeng. Aku seakan memahami perasaan mereka. Perasaan kecewa terkhianati dan menuduh Allah memiliki kecenderungan untuk pilih kasih. Oh, dan jangan lupakan Ayub. Allah dan Ayub adalah pasangan BDSM paling legendaris sepanjang masa. Aku tak tahu lagi, apakah aku dikasihi oleh-Nya atau tidak. Aku tak tahu lagi apakah aku menikmati penderitaan ini, atau Allah senang menyiksaku sebagai tanda cinta. Ibuku melihatku seperti Anak Hilang. Ia memilih pergi dari kamarku begitu aku menyebut Lucifer dan aku berbagai nama tengah yang sama.

5.     Yesus ditolong oleh Simon dari Kirene
     Ketidakmampuanku memahami Allah membuatku marah dan sedih. Aku tidak tahu lagi: mana iman, mana cita-cita, atau mana kehendak Allah dan mana hawa nafsuku. Aku menjelma orang yang tidak aku sukai. Aku menjadi nyinyir. Banyak orang nyinyir saat ini. Mereka memposting kebencian mereka ke jagat dunia maya. Tak ada orang baik di mata mereka. Tapi nyinyirku berbeda. Seperti kata temanku, Afif, mereka nyinyir karena benci, tetapi aku nyinyir karena sedih. Aku bertemu Simone sebagai bagian dari perjalanan panjangku di sebuah kota tempatku memuridkan diri. Simone, gadis manis dengan hati devosi pada Yesus dan Bunda Maria. Ia adalah Platonian di dunia yang modern. Seperti semua pengikut Kristus, kami memikul salib kami dengan penuh cinta. Sampai suatu ketika, kami berpapasan di jalan salib yang kami lalui. Kami merasa terkhianati. Kami merasa ditinggal sendiri. Kami merasa tak berdaya. Aku dan Simone memikul salib masing-masing sambil saling menguatkan. Seperti ada tertulis, seorang sahabat menaruh kasih setiap saat dan menjadi saudara dalam setiap kesukaran.

6.     Wajah Yesus diusap oleh Veronica
    Mereka adalah oase di tengah gurun gersang. Setiap pagi aku mengawali hariku dan bermain bersama mereka. Mereka membantuku menata kembali keinginanku yang sudah berkeping-keping. Mereka –seperti sedang bermain puzzle- mencocokkan kembali potongan demi potongan agar gambar mimpiku kembali utuh. Kita akan memulainya lagi dari awal. Kamu tidak sendiri memikulnya. Berkata mereka kepadaku. Veronica menghapus kegelisahanku. Ia memantik harapanku kembali. Waktu itu aku tak tahu harus kemana. Jalan di depanku terasa gelap. Veronika datang membawa sapu tangan putih dan menghapus air mataku. Ia menancapkan kembali mimpi yang pernah kutunda. Ia meyakinkan aku untuk mencoba kembali. Bangkit dan berjuang demi sebuah harapan di Tanah Perjanjian.

7.     Yesus jatuh untuk kedua kalinya
     Aku bertemu kembali dengan serangkaian proses untuk mewujudkan mimpiku itu. Betapa berat sesungguhnya memulai kembali mimpi yang baru di atas puing-puing mimpi yang retak. Dalam proses itu, aku perlahan-lahan melangkah tahap demi tahap. Tahap pertama begitu. Tahap kedua begini. Aku lalui dengan setia. Seringkali aku dihantui kegagalan seperti mimpiku yang sebelumnya. Aku takut. Tapi api harapanku masih menyala. Dan aku tak mau kalah sebelum berperang. Aku ingin seperti Paulus, aku ingin melakukan pertarungan yang  baik.

8.     Yesus menghibur perempuan-perempuan yang menangisi-Nya
     Aku berusaha menjadi lilin meskipun saat ini aku tak yakin apakah aku mampu bersinar. Dalam perjalananku, aku bertemu banyak orang. Ada orang-orang yang mendukungku. Ada orang-orang yang menantikan kejatuhanku. Ada yang mencintaiku. Ada pula yang diam-diam menyimpan dengki. Mereka datang dan pergi. Mereka berlaku sesuai perannya masing-masing. Hidup ini memang berat. Perjalananku juga tidak mudah. Mereka yang berdarah-darah kemudian melahirkan diri mereka yang baru. Seorang yang berhati malaikat, yang menyediakan pelukan bagi siapapun yang berbeban berat. Seorang lagi menjelma iblis yang menyimpan bara di hatinya. Luka-luka itu mengeras serupa kerak di panic-panci gosong. Setiap orang bisa memilih ingin menjadi apa. Aku memilih menjadi malaikat. Aku memilih mengeluarkan dendam di hatiku. Aku tahu lagi-lagi itu tak mudah. Tapi aku mau berusaha. Aku mau belajar. Aku sudah memilih.  Cinta.

9.     Yesus jatuh untuk ketiga kalinya
    Kejatuhanku dimulai lagi dari rasa iri. Iri yang membakar hati Kain dan Anak Sulung yang menggugat Bapanya. Setiap kali aku melihat mereka datang, hatiku diliputi rasa sedih. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang memiliki kapital yang lebih banyak. Di dunia ini, orang-orang yang kalah adalah mereka yang tidak punya kapital. Kapital datang melalui relasi yang banyak, lahir dari keluarga terpandang, teraplikasi melalui hidup di luar negeri yang sekaligus juga mengasah kemampuan berbahasa, dan kemudian menjadi primadona di mata laki-laki selevelnya. Tak sulit bagi mereka untuk menjadi ideal. Kapitalnya kuat. Dan aku terpaksa merunduk, karena modalku hanyalah sebuah niat tulus. Niat tulus ternyata tak cukup untuk hidup di dunia ini. Aku bertanya-tanya benarkah semuanya kembali pada nasib? Tuhan atau negara-kah yang memilah nasib manusia sehingga yang satu berbeda dengan yang lain? Lalu mengapa ada yang hidupnya sempurna dan beruntung sementara ada yang hidupnya penuh penderitaan sejak ia dilahirkan ke dunia?

10. Pakaian Yesus ditanggalkan
    Ia datang tanpa semarak. Begitulah sang Mesias dilukiskan dalam kitab Yesaya. Ia mengambil rupa seorang hamba sehingga barangsiapa yang melihatnya akan memalingkan muka. Aku mengenalnya karena itu aku mencintaiNya. Setiap kali aku menangis aku memanggil namanya. Setiap kali aku berbahagia, aku mengucap namanya. Jika aku marah aku juga menyalahkanNya. Tapi Ia tetap mengasihiku. Ia berbicara padaku dengan caraNya. Ia kekasihku dan sahabatku. Kau tahu kan, kalau kau punya sahabat atau orang dekat kau tak akan sungkan untuk menceritakan apa saja atau mengumpat apa saja. Ia bersama dengan aku sejak semula. Namun, ada kalanya aku merasa Ia tega padaku yaitu ketika aku melihat ada orang lain yang mendapatkan apa yang sebenarnya hatiku mau. Mengapa Ia dengan mudah menghampiri doa orang lain, sementara doaku ia lewati?

11. Yesus disalibkan
   Jantungku tak lagi merah terbakar dan berduri. Jantungku tinggal berduri. Baranya padam bersama airmata. Aku merasa tidak berdaya. Disana, aku melihat Yesus berusaha menyangkali dirinya, bersusah payah membuat dirinya tiada berdaya. Ia toh bisa saja mengedipkan mata dan cawan itu berlalu dari-Nya. Tapi Ia tidak melakukannya. Anak Manusia tetap teguh pada cinta-Nya. Kami berdua serempak berteriak “Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku” namun dengan motivasi berbeda.

12. Yesus wafat di kayu salib
     Aku ingat doaku malam itu. Dalam perasaan gelisah dan tak berdaya, aku berujar, “ kehendakMu saja Bapa, apa yang kau pandang baik”. Dan Tuhan berkata tidak. Aku seperti anak kecil yang merengek pada ibunya untuk dibelikan sebuah boneka beruang yang dipajang di etalase toko mainan. Boneka beruang itu berukuran sedang dan tampak nyaman untuk dipeluk. Aku menginginkannya karena boneka itulah yang mampu aku gapai. Harganya toh tak mahal-mahal amat. Tapi ibuku tak mau membelikannya. Ibu berpikir, tak semua keinginan anak harus dituruti. Anak itu akan menjadi manja dan tak memiliki karakter kuat. Bila badai datang ia tak mampu menjadi nakhoda yang mengendalikan kapal di tengah lautan luas. Ia nanti mudah terombang-ambing, terbawa arus, dan pada akhirnya karam. Maka, ibu memilih mendidik anaknya, anak satu-satunya itu supaya menjadi batu karang yang teguh. Lagipula ibunya merasa anaknya tidak butuh bermain boneka beruang lagi. Anaknya sudah beranjak besar dan lebih membutuhkan buku-buku ensiklopedia yang akan cocok dan memang dibutuhkan anak itu untuk mengasah dirinya. Boneka beruang itu tidak mendewasakan anaknya. Aku memandang salib Yesus. Hari itu aku tahu keinginanku tersalib disana.

13. Yesus diturunkan dari salib
     Biarlah kehendak Bapa yang jadi. Meskipun aku frustasi tak mengerti rencana-Nya. Meskipun aku tak tahu kapan waktu-Nya. Aku belajar berserah dan bersabar. Sudut-sudut egoisku dibentuk, dilas dengan pergumulan. Karena kuk yang Kupasang itu ringan, begitu kataNya. Akhir-akhir ini ketika bulan sedang merah, aku senang memperhatikan darah yang perlahan-lahan menuruni selangkanganku menuju ke paha, betis, dan kakiku. Aku  teringat darahnya yang juga mengalir menuruni paha, betis, dan kakiNya. Aku teringat darimana aku berasal. Siapakah aku itu.

14. Yesus dimakamkan
     Ada masa menabur, ada masa menuai. Segala sesuatu ada waktunya. Dalam hening aku berdoa. Memohon agar hatiku dipulihkan. Rasa kecewa dan marah masih ada. Tapi aku merasa, seperti pintu kubur batu yang perlahan terbuka, kecewa dan marah itu perlahan memudar, ditembusi cahaya iman, pengharapan, dan kasih. Dan paling besar di antara semuanya itu adalah kasih. 


You Might Also Like

0 comments